Senin, 06 Februari 2017

Apakah Berbohong di Depan Publik, Dapat Dipidana?


Foto ilustrasi: lakeybanget.com

Saya ingin menanyakan ketika seseorang (sebut saja A) mengeluarkan statement di hadapan pers dan media yang mengakui bahwa dirinya adalah pelaku dari suatu tindak pidana, sedangkan pelaku sebenarnya (sebut saja B) adalah orang lain. Hal ini dilakukan untuk melindungi kesalahan B sebagai pelaku materil dari tindak pidana tersebut. Setelah dilakukan penyidikan, A baru mengakui kepada polisi bahwa pelaku sebenarnya adalah B. Apakah terhadap A (orang yang mengaku-ngaku sebagai pelaku tindak pidana di hadapan pers dan media) dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana dan bagaimana pertanggungjawaban pidananya? Terima kasih.

Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pada dasarnya, berkata bohong bukanlah suatu tindak pidana. Sepanjang penelusuran kami, tidak ada satupun pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menyatakan bahwa seseorang yang berkata bohong dapat dijerat pidana. Lain halnya apabila kebohongan itu dibarengi dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Misalnya dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya. Tindak pidana ini dikenal dengan nama penipuan yang diatur dalam Pasal 378 KUHP:

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Mengenai tindak pidana ini dapat Anda simak dalam artikel Jerat Hukum Penipuan Bermodus Info Lowongan Kerja.
Jadi, pada dasarnya jika si A hanya berkata bohong di hadapan pers dan media, dan perbuatannya tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 378 KUHP, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana.
Akan tetapi menjadi berbeda jika perbuatan si A, yaitu memberikan pernyataan tidak benar tersebut, diberikan di atas sumpah. Jika pernyataan yang tidak benar tersebut diberikan di atas sumpah, maka A dapat dipidana berdasarkan Pasal 242 KUHP.
Pasal 242 KUHP mengatur mengenai pemberian sumpah palsu dan keterangan palsu:

(1) Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(2) Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(3) Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan yang diharuskan menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah.
(4) Pidana pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 4 dapat dijatuhkan.
Terkait pasal ini, menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa supaya dapat dihukum harus memenuhi unsur-unsur:
a)    keterangan itu harus atas sumpah;
b)    keterangan itu harus diwajibkan menurut undang-undang atau menurut peraturan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu;
c)    keterangan itu harus palsu (tidak benar) dan kepalsuan ini diketahui oleh pemberi keterangan.
Pasal 242 KUHP ini berhubungan dengan pemberian keterangan seseorang di persidangan yang memang diwajibkan menurut undang-undang, yakni saksi di persidangan. Dengan demikian, sebenarnya keterangan yang diberikan oleh A di hadapan media meskipun sifatnya palsu namun tidak dilakukan atas sumpah dan tidak memiliki keterkaitan dengan pemberian keterangan yang diwajibkan menurut undang-undang, maka menurut hemat kami, perbuatan A yang mengaku sebagai pelaku pidana demi melindungi B bukan merupakan tindak pidana.
Dalam artikel berjudul Mengurai Kebenaran di Antara Kebohongan yang Berserakan yang kami akses dari laman resmi Pengadilan Negeri Palopo Sulawesi Selatan dikatakan bahwa untuk menerapkan Pasal 242 KUHAP harus memperhatikan ketentuan dalam Pasal 174 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”):

(1) Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu;
(2) Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu;
(3) Dalam hal yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang ini;
(4) Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.
Lebih lanjut dalam artikel tersebut diketahui sebuah contoh kasus penerapan Pasal 242 ayat (1) KUHP jo. Pasal 174 KUHAP karena saksi mengingkari keterangannya. Kasus tersebut tentang Hakim Pengadilan Negeri Makassar, pada tahun 1994, yang memerintahkan kepada polisi untuk menahan salah seorang saksi “kasus Karunrung” (pembunuhan terhadap satu keluarga di Kelurahan Karunrung, Makassar) yang mengingkari keterangannya di depan sidang pengadilan dengan alasan ditekan secara psikis dan fisik oleh penyidik saat diperiksa. Hakim Ketua meminta kepada Jaksa Penuntut Umum pada sidang berikutnya menghadirkan penyidik yang memeriksa saksi (saksi verbalis).
Ternyata, setelah dikonfrontir di depan sidang pengadilan antara saksi yang mengingkari keterangannya dengan penyidik (saksi verbalis), hakim yakin bahwa penyidik tidak melakukan penyiksaan atau tekanan psikis atau fisik terhadap saksi saat diperiksa, sehingga Hakim Ketua memerintahkan polisi agar menahan saksi dan memprosesnya karena diduga melanggar Pasal 242 ayat (1) KUHP. Akhirnya, saksi bersangkutan lebih dahulu dijatuhi pidana penjara satu tahun tiga bulan sebelum terdakwa pada perkara pokok dijatuhi pidana. (Sumber: www.hukumonline.com)

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum: 
  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Referensi: 
  1. R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
  2. http://www.pn-palopo.go.id/index.php/publikasi/artikel/142-mengurai-kebenaran-diantara-kebohongan-yang-berserakan, diakses pada 4 Desember 2013 pukul 15.08 WIB

TEORI THOMAS AQUINAS KAITAN DENGAN KASUS PENODAAN AGAMA



Foto ilustrasi: Radar Banjarmasin

  1. Pendahuluan
Sudah sekian lama Indonesia berdiri gagah sebagai suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetapi konflik agama sering terjadi dan sampai memakan korban melayangnya jiwa manusia. Malangnya, nyawa yang terbuang sia-sia itu terjadi atas nama agama dan yang menjadi korban dianggap mati syahid. Kejadian yang lebih ringan adalah peledakan/pembakaran tempat ibadah, pengucilan sesorang yang menganut agama berbeda di suatu lingkungan masyarakat, penyediaan tempat atau fasilitas/ layanan untuk yang beragama tertentu. Barangkali, hanya tempat pelacuran yang, pada akhirnya, tidak akan menyediakan layanan berbasis agama.
Sekalipun pada awal persiapan NKRI ini persoalan agama telah muncul dan menjadi perdebatan yang hangat tetapi sesungguhnya belum pernah diciptakan suatu defenisi hokum mengenai agama. Dari tingkat SD sampai perguruan tinggi pelajaran agama diberikan kepada pelajar/ mahasiswa dan merupakan mata pelajaran/kuliah yang ada dalam setiap jenjang pendidikan. Bahkan banyak sekolah/perguruan tinggi agama didirikan, tetapi tidak pernah persoalan agama ini terumuskan dengan baik
Saya hanya ingin menuliskan betapa perlunya membuat suatu undang-undang tentang agama yang akan mengatur secara komprehensif mengenai Agama dan kalau memang diperlukan sistem kepercayaan. Pengaturan soal agama ini dalam undang-undang sangat perlu untuk memberikan kepastian hukum menyangkut agama dan sistem keagamaan supaya rakyat dapat bertindak sesuai dengan rambu-rambu yang ada.
Misalnya, dengan memberikan defenisi agama dapat dicari unsur-unsur yang membangun suatu pengertian mengenai agama. Jika unsur-unsur tidak memenuhi, maka suatu sistem kepercayaan tertentu tidak dapat disebut sebagai agama. Dengan merujuk pada defenisi, kita juga dapat menentukan syarat-syarat untuk disebut sebagai agama dan untuk mendirikan suatu agama. Kreatifitas manusia tidak terbatas sehingga mungkin ada orang Indonesia yang mampu menciptakan suatu agama baru, yang pantas dihargai juga, terutama dalam kerangka kebebasan berekspresi yang diatur dalam UUD 1945. Bagaimanapun juga, agama di Indonesia adalah agama impor. Pemerintah dapat mendorong warganya untuk menciptakan agama tertentu sesuai dengan budaya Indonesia.
Silang pendapat mengenai ajaran agama sering juga terjadi sehingga menimbulkan lahirnya varian-varian dari suatu agama. Hal ini juga perlu diatur agar kreatifitas manusia dalam memberikan tafsir tidak terhambat dan disisi lain juga tidak mengganggu stabilitas. Tidak perlu, misalnya, suatu penyimpangan dari tafsir atas ajaran yang mapan, menjadikan tafsir yang belakangan menjadi terbuang atau menjadikan pengikut tafsir yang belakangan menjadi terganggu kemanusiaannya karena diburu-buru pengikut tafsir yang mapan.
Penyebaran agama juga perlu menjadi perhatian karena ini merupakan bagian paling hitam dari perkembangan agama. Saya katakan bagian paling hitam karena penyebaran agama ini yang menimbulkan banyak goncangan di masyarakat. Misalnya, suatu komunitas tertentu yang sudah lama menganut agama tertentu tiba-tiba di datangi oleh penyebar agama dari agama yang lain. Apakah hal seperti ini dapat dibenarkan? Apakah perlu izin dalam hal penyebaran izin dan apakah penyebar izin ini harus juga terdaftar? Jika hal ini dirumuskan dengan baik dalam undang-undang tentu konflik dapat dieliminir sedemikian rupa. Dalam hal terjadi konflik tentu harus ada penyelesaian sengketanya.
Perlu juga diatur mengenai tata cara dan akibat-akibat hukum jika terjadi perpindahan agama. Undang-undang tidak akan lengkap tanpa adanya sanksi pidana. Maka perlu diatur pelanggaran-pelanggaran apa yang dapat disebut sebagai tindak pidana agama.
Selama ini ketentuan mengenai agama belum sepenuhnya diatur dan kalaupun diatur tersebar dalam berbagai instrumen hukum. Apa yang disampaikan di atas hanya sekelumit soal mengenai sistem keagamaan di Indonesia yang tidak teratur dengan baik. Persoalan yang saat ini panas menyangkut pembantaian Jemaah Ahmadiyah merupakan buah dari keengganan menata kehidupan keberagamaan di Indonesia.

  1. Permasalahan
Kalau kita melihat permasalahan yang muncul dari konflik agama ini memang cukup banyak dan sangat mengiris hati, karena masalah ini bukan saja masalah ajaran yang baru dibawa, tapi lebih dari pada itu, yaitu kehilangan nyawa yang bukan satu dua bakan bisa puluhan bahkan ratusan seperti di ambon. Adanya Undang-Undang Penodaan Agama Nomor 1 Tahun 1965 bukan berarti masalah akan berhaenti atau berkurang, justru masalah kian bertambah dan menjamur,artinya apakah bangsa ini membutuhkan undang-undang yang jauh lebih mengatur agama?
Selaku penulis, dalam hal ini sangat tidak sepaham dengan beberapa kalangan yang menilai bahwa negara tak patut tak ada kaitanya dengan agama, coba sejenak kita lihat tentang beberapa hal diantaranya kurikulum sekolah dari jenjang SD sampai kuliah yang dengan tersistem meletakkan pelajaran agama didalamnya, termasuk undang-undang penodaan agama, juga adanya pengadilan agama, apakah dari hal ini masih bisa dikatakan bahwa negara jauh dari  agama?, hal ini justru menekankan bahwa negara dengan malu-malu ikut serta akan hadirnya agama didalamnya, termasuk keberadaan MUI yang sangat dominan dalam hal hukumya. Bahkan agama Islam yang dianaut lebih dari 85% rakyat Indonesia dapat menjadi sumber hukum, sekalipun bukan sumber hukum formal namun sebagai sumber hukum materiil.[1]
Memahami situasi di Indonesia bukanlah hal mudah, Indonesia memiliki keaneka ragaman sejarah, budaya, suku, dan agama yang begitu komplek. Problematika msyarakat bisa diobservasi, tetapi tidak bisa diperlakukan sebagaimana obyek yang mati. Adakalnya reaksi yang ditimbulkan akibat adanya suatu investigasi tidak mudah diukur validitasnya, sehingga obeyktifitas dari informasi yang diperoleh secara pasti, kohesi dan koherensi tidak semudah data kealaman yang dikumpulkan melalui suatu proses dan metode penelitian tertentu.[2]
Kasus-kasus yang terjadi beberapa tahun ini seperti, aliran-aliran yang atas nama Islam, kekerasan atas nama agama, terrorisme, bengunan ibadah, dan segala permasalahan berkaitan dengan agama membuat Undang-Undang Nomor 1 Tahuan 1965 ini diajukan judicial review oleh beberapa kalangan ke Mahkamah Konstitusi
Pendapat MK yang dibacakan dalam persidangan menyatakan bahwa negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan masyarakat diberikan hak untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah serta ajaran agamanya masing-masing sesuai dengan kepercayaannya. Negara sesuai amanat konstitusi juga turut bertanggung jawab meningkatkan ketakwaan dan akhlaq mulia. Domain agama adalah konsekuensi penerimaan ideologi Pancasila.
Adanya pendapat oleh salah satu hakim konstitusi bahwa “Dalam negara Pancasila tidak boleh diadakan kegitan yang menjauhkan nilai religiusitas dan keagamaan. Jadi negara tidak memberikan peluang untuk menodai agama lain. Kebebasan agama adalah hak mendasar yang telah disepakati oleh kesepakatan dunia dan dilindungi oleh negara demi harkat martabat manusia," adalah hal yang sangat penting.
Meskipun demikian, Arsyad juga menegaskan bahwa negara juga boleh membatasai kebebasan sesuai dengan UUD dan tunduk kepada pembatasan atas penghormatan hak asasi orang lain berdasarkan nilai agama dan sesuai dengan bentuk negara demokratis. Negara memberikan kewajiban dasar atas tegaknya HAM. Secara integral UUD mengatur setiap elemen negara dan masyarakat untuk menghormati HAM itu sendiri. Hal itu harus berlaku dan dilaksanakan dan tanpa melukai yang lainnya.
MK berpendapat bahwa pada hakikatnya ide pengujian konstitusionalitas oleh Pemohon adalah mencari tafsir kebebasan beragama di Indonesia kepada MK dan bagaimana bentuk pencegahan atas penodaan terhadap agama. Selain itu, pengujian UU ini secara substansi dimohonkan ke MK apakah relevan saat dibentuknya UU ini apabila dikontekskan dengan kondisi sosial masyarakat saat ini.
MK menilai bahwa UU pencegahan agama masih tetap sah secara formil, MK tak sependapat kalau UU yang dibuat pada masa demokrasi terpimpin semua tidak sah dan cacat dalam proses pembentukannya. MK juga tidak sependapat dengan pendapat UU Penodaan Agama cacat formal dan tidak sesuai dengan UUD 1945. MK memberikan pandangannya bahwa pasal 1 UU Penodaan Agama ini memberikan kepastian setiap orang dilarang dengan sengaja menyebarkan dan menganjurkan untuk melakukan penafsiran terhadap kegiatan yang menyimpang dari pokok agama.
"UU Penodaan Agama ini tidak membatasi kebebasan beragama dan penafsiran terhadap agama, UU ini menurut MK adalah untuk membatasi penyimpangan dan  penodaan agama. Jadi yang melakukan dengan sengaja dimuka umum mengajarkan agama yang menyimpang terhadap pokok ajaran agama dan menganjurkan penodaan itu yang dilarang. Oleh sebab itu pembatasan ini sesuai dengan UUD diperbolehkan untuk menjaga ketertiban umum dan menghormati hak asasi orang lain. UU Penodaan Agama ini diperlukan dan tidak melanggar HAM. UU Penodaan Agama bukan merupakan UU kebebasan beragama. UU ini mencegah untuk melakukan tindakan anarki. Jadi ketika timbul permasalahan dapat diselesaikan dengan pendekatan hukum. Ini merupakan perlindungan preventif karena agama merupkan isu sensitif dalam masyarakat.[3]
MK menimbang bahwa terhadap kepentingan masyarakat penganut kepercayaan yang sudah lama hidup di Indonesia, MK berpendapat, masyarakat penganut kepercayaan adalah masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini kepercayaannya sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi dan bukan merupakan permasalahan pertentangan norma UU Pencegahan Penodaan Agama terhadap UUD 1945. Oleh sebab itu dalil para Pemohon tidak beralasan hukum
Dalam putusan ini, terdapat concurring opinion (alasan berbeda) dari Hakim Konstitusi Harjono. Harjono berpendapat hak asasi manusia memang tidak bisa dibatasi namun dalam memanivestasikan dalam agama dapat dibatasi terutama menyangkut aspek forum externum dan harus ditetapkan oleh UU dengan menjamin kebebasan orang lain. Pengujian UU yang diujikan Pemohon setelah perubahan UUD adalah tentang perlindungan agama yang tidak berdasarkan hanya pada agama tertentu saja. "Rumusan Pasal 1 apabila ada kekurangan maka bisa dilakukan revisi oleh lembaga yang berwenang. Namun untuk mencegah kondisi yang tidak dikehendaki dalam masyarakat UU ini masih tetap konstitusional.
Sementara itu, dissenting opinion (pendapat berbeda) disampaikan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida, bahwa Penyempurnaan terhadap UU ini harus dilakukan dengan pandangan dan nilai baru yang sesuai dengan kondisi saat ini. "Kebebasan beragama di indonesia dilandasi dengan hukum dan negara wajib menjamin kebebasan beragama. Ada dua aspek yang diperhatikan yakni internum dan externum. Pasal 1 dan penjelasannya terdapat ketidak-sesuaian karena agama hanya terbatas enam yang diakui. Selanjutnya, untuk aliran kepercayaan cenderung diarahkan kepada salah satu agama yang kemudian menyentuh eksistensi setiap kepercayaan agar diarahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa," tutur Hakim Konstitusi perempuan pertama ini.[4]
Selain itu, ketentuan Pasal 2 tidak konsisten antara penyebutan barang siapa yang dalam bahasa hukum adalah orang dan badan hukum, tapi kemudian terdapat pula penjelasan hanya menyebut organisasi. Begitu juga rumusan pasal 3 ada perbedaan alamat subjek hukum yang dituju. Eksistensi UU ini perlu ditinjau kembali karena sering menimbulkan berbagai permasalahan dalam prakteknya karena hanya mengakui enam agama saja. Dampak langsung bisa dilihat pada contoh pencatatan perkawinan, KTP dan pembuatan surat kematian.
Perkara No.140/PUU-VII/2009 ini dimohonkan tujuh Pemohon badan hukum (organisasi non pemerintah), yakni Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara (Desantara Foundation), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan tiga Pemohon perorangan, yakni, (Alm) K.H. Abdurahman Wahid, Prof. DR. Musdah Mulia, Prof. M. Dawam Rahardjo, dan KH. Maman Imanul Haq.[5]

  1. Teori
Teori Thomas Aquinas dirasa mampu meredaksikan apa yang terjadi dalam kasus ini, hal ini berkaitan tidak hanya dengan ilahi saja, tapi kekuatan ilahiyahlah yang mempunyai kekuatan lebih untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hidup ini mengejar kebaikan, dan mengihindar dari kejahatan, maka kebaikan yang tercermin dalam hal ini adalah mempertahankan hidup, cinta, berkeluarga, mengenal tuhan dan hidup yang bersahabat.
Doktrin Thomas Aquinas ini melihat konfigurasi tata hukum dimuali dari:
1)    Lex aeterna = hukum dan kehendak Tuhan
2)    Lex naturalis = prinsip umum (hukum alam)
3)    Lex devina = hukum Tuhan yang dalam kitab suci
4)    Lex humane = hukum buatan manusia yang sesuai dengan hukum alam.[6]
Tidak jauh berbeda dengan agustinus, Thomas Aquinas juga mengaitkan hukum dengan agama, ini tidak perlu diulangi lagi. Hal  yang perlu dicatat disini adalah pemikiran Aquinas tentang keadilan hukum. Melalui teorinya tentang keadilan hukum betapa pentinganya mutu dari suatu aturan hukum.[7]

  1. Solusi
Kasus diatas jelas menarik perhatian banyak kalanagn, dan hal ini membuat adanya upaya hukum baru agar masalah yang terus menerus dan tak kunjung henti ini dapat disalesaiakan sekalipun tidak secara menyeluruh dan adil, namun setidaknya dapat mengurangi permalashan yang ada, dan solusi yang tawarkan dari beberapa pemerhati melalui tulisan- tu.lisannya yaitu berupa undang undang perlindungana agama.
Dalam hal ini saya melakukan penelitian kecil-kecilan dalam arti sekedar berdiskusi dengan beberapa teman-teman sekeliling yang juga berasal dari non Islam diantaranya, hal yang menarik dari perbincangan tersebuat adalah, adanya rasa kekhawatiran atas fenomena agama yang seharusnya damai jusrtu ada rasa saling curiga satu sama lain, sekalipun tidak dengan gamblang hal ini diperlihatkan, namun rasa itu tak mungkin diabaikan setelah adanya kasus beberapa tahun terakhir ini, dan yang justru menarik dalam hal ini aldah islam yang menjadi tontonan kesalahan itu, dan merekapun mengamini konflik islam yang jusrtu menjadi sorotan dari kasus teroris, pembantain dibeberapa daerah, juga berbagai aliran yang dikatan sesat juga islam, artinya dalam hal ini Islam benar-benar menjadi “ajang” perhatian sekaligus konflik yang berkepanjangan, keinginan mereka sekalipun tidak terlalu memahami masalah hirarkie ataupun aturan hukum yang ada, namun ada asas yang diletakkan pada negara agar mampu menyelesaikan masalah yang tak kunjung selesai, yang malah jusrtu makin sensitif belakangan ini.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sekarang ini sudah seharusnya membuat Undang-Undang tentang Perlindungan Agama. Hal tersebut diperlukan mengingat sampai sekarang ini belum ada ketentuan hukum atau peraturan yang pasti tentang perlindungan kesucian/ kemurnian suatu agama dari perilaku penistaan/ penodaan suatu agama oleh sekelompok orang/ organisasi. Dalam KUHAP sudah ada pasal yang mengatur tentang ketentuan penistaan/ penodaan suatu agama. Tetapi, pasal tersebut menjadi mandul ketika dihadapkan pada suatu masalah tertentu. Misalnya pro-kontra keberadaan aliran Ahmadiyah.[8]
Ada beberapa hal yang patut diperhatikan dalam hal ini:
1) Sekalipun keberadaaan undang-undang penodaan agama masih bersifat kontroversi dalam penerapannya, namun hal ini bukan berarti keberadaannya ditiadakan, justru harus adanya undang-undang penguat atau dapat dikatakan undang-undang pendukung dalam hal ini yaitu undang-undang perlindungan agama.
2) Fenomena pemikiran yang yang beraganggapan bahwa negara tak patut ikut serta dalam hal agama, hal ini justru bertentangan dengan beberapa pokok penting yang dijelaskan diatas, seperti Undang-Undang itu sendiri, MUI, pengadilan, dan adanya Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 yang butuh penjelasan lebih luas, dan mungkin dapat pada kesempatan lain, seperti bagaiman negara berketuhanan dan kemerdekaan agama itu seperti apa.
3) Teori apapun yang ada dalam kehidupan negara, hukum dan sosial tentulah teori itu patutnya mementingkan kehidupan yang kesejahteraan, tidak menyakiti, adil, tentram, damai, tidak mengadu domba dan tentunya beretika juga berlogika alam dan ilahiyah.
4) Dari hasil penelitian kecil yang saya utarakan diatas, dapat disimpulkan bahwa mereka yang dari manapun asal agamanya menaruh harapan yang besar pada negara agar masalah agama yang seharusnya semua agama percaya akan damai ini tidak lagi menjadi ancaman satu sama lain, dan hal ini tentunya menentang juga menangkis beberapa anggapa yang mengatakan bahwa negara tak perlu ikut campur dalam masalah agama itu jelas salah besar, karena kalau bukan pada Negara, pada siapa lagi masalah ini dapat diselesaikan, sekalipun beberapa ormas dan juga LSM masyarakat ada didalamnya, tapi kita negara hukum yang mana melalui jalan hukumlah suatu masalah dengan jelas bisa diselesaikan.

Daftar Pustaka:
Bernand dkk, teori hukum, Yogyakarta, Genta publishing 2006
Moh Mahfud MD, Membagun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Rajawali pers, 2010
Prof Jawahir Tantowi. islam politik dan hukum, Yogyakarta: madyan press Yogyakarta, 2002


[1] Moh Mahfud MD, membagun politik hukum, menegakkan konstitusi, Jakarta: Rajawali pers, 2010, hlm 100
[2] Prof Jawahir Tantowi. islam politik dan hukum, Yogyakarta: madyan press Yogyakarta, 2002, hlm 288
[3] http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=3941, akses rabu 11 Januri 2017
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Bernand dkk, teori hukum, Yogyakarta, Genta publishing 2006, hlm 59
[7] Ibid, hlm 61
[8] http://www.detiknews.com/read/2008/05/16/081736/940406/471/perlunya-undang-undang-perlindungan-agama, akses 11 januari 2017

TINJAUAN HUKUM DUGAAN PENODAAN AGAMA OLEH BASUKI TJAHAJA PURNAMA ALIAS AHOK




Ada 3 (tiga) jenis sanksi yang berlaku dalam delik penodaan agama, yakni: 1). Sanksi Administratif, 2). Sanksi Administratif berujung Pidana, dan 3). Sanksi Pidana. Ketiga jenis sanksi tersebut dapat ditemukan dalam Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Pada umumnya analisis atau kajian Delik penodaan agama ini sering kali didekati dari berbagai aspek, terutama yg paling umum atau sering dibicarakan adalah aspek hukum, Hak Asasi Manusia dan Konstitusi. Demi kemudahan dalam pembacaan tulisan ini, maka penulis mencoba menguraikan terlebih dahulu aspek sejarah keberlakuan Delik tersebut sejak diberlakukan hingga kini, kemudian berlanjut dengan konstruksi dan analisis hukumnya.

Tinjauan Sejarah
KUHP Indonesia yang diadopsi Wetboek van Strafrecht (WvS) dari Belanda tidak mengenal Tindak Pidana Penodaan Agama. Oleh sebab itu, dilatarbelakangi desakan Golongan Umat Islam yang pada saat itu kuatir dengan maraknya kelompok-kelompok keyakinan yang sembarangan menafsirkan ajaran agama, terutama agama Islam dengan Al-Quran sebagai rujukan utama pedoman hukum dan kehidupan lainnya, selanjutnya Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang ditandatangani 27 Januari 1965, akan tetapi baru tanggal 5 Juli 1969 dinyatakan sebagai Undang-Undang melalui Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang- Undang oleh Presiden Soeharto.
 
Tujuan diterbitkannya Penpres a quo adalah agar segenap rakyat diseluruh wilayah Indonesia ini dapat menikmati ketentraman beragama dan jaminan untuk menunaikan ibadah menurut Agamanya masing-masing. Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para tokoh agama dari agama yang bersangkutan. Jadi, dari awal UU ini memang sengaja dibuat untuk melindungi “kemurnian” ajaran agama yang diakui di Indonesia dan BerKetuhanan Yang Maha Esa”.

Masalahnya justu pada permasalahan: menjaga kemurnian. Pertanyaannya adalah tokoh agama yang memiliki kriteria seperti apa yang kemudian berhak atau otoritatif dapat mengatakan sebuah ajaran agama itu murni atau tidak? Padahal di Indonesia ini hampir semua agama sekarang banyak ragam penafsiran tentang bagaimana menjalankan agama yg murni atau yang tidak menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

Dalam rentang waktu 2005-2014, menurut catatan Amnesty International ada 39 kasus penodaan agama yg melibatkan invidu sebagai terpidana. Lima diantaranya adalah 1). Kasus Tajul Muluk di Sampang, Madura (penodaan ajaran agama Islam), 2). Andreas Guntur di Klaten Jawa Tengah (Penodaan ajaran agama Islam), 3). Herison Riwu di Nusa Tenggara Timur (penodaan ajaran agama Katolik), 4). Sebastian Joe di Ciamis Jawa Barat (penodaan ajaran agama Islam), dan 5). Alexander An di Sumatera Barat (Atheist).

Oleh sebab itulah, dari aspek HAM, banyak kelompok-kelompok dan aktivitis HAM yg kemudian menentang pemberlakuan Delik Penodaan agama ini karena dianggap bertentangan dengan Konstitusi atau Konsep dan Pasal yang ada di UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan setiap orang berhak meyakini agama dan kepercayaan yang diyakininya. Sehingga tidak boleh orang dipidana karena keyakinannya tersebut.

Permasalahan ini kemudian diuji di Mahkamah Konsitusi, yg kemudian melahirkan Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 jo. Nomor 84/PUU-X/2012 tanggal 19 September 2013  yang intinya Delik Penodaan Agama yang diatur Penpres a quo tetap berlaku dengan pertimbangan untuk menjaga ketertiban masyarakat dan perlindungan ajaran agama.

Konstruksi Hukum Delik Penodaan Agama
Pasal 1 Penpres a quo menyebutkan bahwa: “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.” Jika delik tersebut diuraikan, maka ada 2 jenis tindak pidana yang terdiri beberapa unsur yang menyusun konstruksi Pasal tersebut, yakni:

Unsur Delik  Pertama
  1. Setiap orang;
  2. Dilarang;
  3. Sengaja;
  4. Di muka umum;
  5. Melakukan kegiatan: a) menceritakan, b) mengajurkan atau c) mengusahakan dukungan umum;
  6. Penafsiran tentang sesuatu agama di Indonesia;
  7. Penafsiran tersebut menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. 
Unsur Delik Kedua
  1. setiap orang;
  2. Dilarang;
  3. Sengaja;
  4. Di muka umum;
  5. Melakukan kegiatan: yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari suatu agama;
  6. Kegiatan tersebut menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama.
Jadi jelas, dari sudut pembuktian Pidana, unsur yang paling penting dari Pasal 1 ini adalah kesengajaan dan kemurnian ajaran agama dengan masing-masing perbuatan berupa Melakukan Kegiatan Penafsiran dan Kegiatan yang menyerupai kegiatan keagamaan.

Ada tingkatan sanksi yang dijatuhkan atas pelanggaran Pasal 1 ini, yakni jika terbukti melanggar maka akan diberikan sanksi administatif berupa peringatan (Pasal 2 ayat 1 Penpres a quo) dan sanksi Administratif berupa pembubaran organisasi apabila pelakunya berbentuk organisasi (Pasal 2 ayat 2 Penpres a quo). Apabila setelah diberikan Sanksi Administatif masih tetap melakukan pelanggaran, maka akan dijatuhkan sanksi pidana penjara maksimum 5 (lima) tahun (Pasal 3 Penpres a quo).

Selain jenis Tindak Pidana yang diatur dalam Pasal 1 Penpres a quo, ada juga jenis tindak pidana penodaan agama yang lain, sebagaimana yang diatur pada Pasal 4 Penpres a quo.

Pasal 4 Penpres a quo menyebutkan bahwa: “Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
  • yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; 
  • dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”
Jika delik tersebut diuraikan, maka ada 4 jenis tindak pidana yang terdiri beberapa unsur yang menyusun konstruksi Pasal tersebut, yakni: mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
1). permusuhan, 2). penyalahgunaan, 3). penodaan, 4). mengajak orang tidak menganut agama yang bersendikan Tuhan YME.
Dilihat dari aspek kesejarahannya, delik tindak pidana antara huruf a dengan b masing-masing berdiri sendiri sebagai tindak pidana sebagaimana yang dimaksud Penjelasan Pasal 4 Penpres a quo. Huruf a dikenal dengan tindak pidana penistaan agama, sedangkan b tindak pidana mengajak orang menjadi atheis atau tidak beragama.

Coba diperhatikan unsur-unsur Pasal 156a KUHP tersebut:

Unsur Delik  Pasal 156a huruf a
  1. Barang siapa;
  2. Sengaja;
  3. Di muka umum;
  4. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a). permusuhan, b). penyalahgunaan, atau penodaan;
  5. Kemurnian ajaran agama atau pokok-pokok ajaran agama. Delik Tindak Pidana Pasal 156a huruf b
Unsur  Pasal 156a huruf b
  1. barang siapa;
  2. Sengaja;
  3. Di muka umum;
  4. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: dengan maksud agar orang tidak menganut agama (atheis).
Jadi jelas, dari sudut pembuktian Pidana, unsur yang paling penting dari Pasal 156a KUHP ini juga sama dengan Pasal 1 Penpres a quo yakni unsur kesengajaan dan kemurnian ajaran agama

Unsur Kesengajaan
Bagaimana seseorang bisa dianggap sengaja melakukan suatu perbuatan atau tindakan? Mengacunya pada Teori Ilmu Hukum dalam menetapkan apakah sebuah perbuatan disengaja atau tidak, yakni: 1. Teori Perbuatan tersebut diketahui dan dikehendaki (Teori gabungan), 2. Teori Perbuatan tersebut dikehendaki (willen), dan. 3. Teori Perbuatan tersebut diketahui (weten). Kalo analisis saya, memang konstruksi hukum delik Penodaan Agama, menggunakan Teori Gabungan, sengaja dalam arti willen dan weten, sama dengan delik tindak pidana lainnya pada umumnya.

Pencarian untuk memenuhi unsur Kesengajaan ini hendaknya juga memperhatikan Penjelasan Pasal 156a KUHP Huruf a, yakni tindak pidana yang dimaksudkan disini, ialah yang semata- mata  (pada  pokoknya)  ditujukan  kepada  niat  untuk   memusuhi  atau   menghina.  Dengan demikian, maka, uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana menurut pasal ini.

Unsur Kemurnian Ajaran Agama.
Dalam konteks MvT, maka yg berhak dan dimintai pendapat adalah tokoh agama. Pertanyaannya bagaimana jika aparat penegak hukum diperdengarkan banyak penafsiran yang berbeda mengenai “kemurnian agama”? maka yg terjadi selanjutnya adalah “kewenangan subyektif aparat yang menentukan dengan segala resiko hukumnya.

Sehingga dari sudut pembuktian hukum pidana, Delik penodaan agama ini memang agak sulit pembuktiannya dan selalu menimbulkan kontroversi dalam penegakan hukumnya jika melibatkan kasus-kasus perorangan yangg sifatnya insidentil dan tidak masif serta terencana, maupun yang sifatnya organisatoris.

Dari uraian jenis delik tindak pidana yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, yang paling memungkinkan adalah penggunaan Pasal 156a huruf a KUHP. Dengan kata lain ucapan- ucapan Ahok  yang disampaikan pada 27 September 2016 di Kepulauan Seribu haruslah memenuhi unsur-unsur Pasal 156a huruf a KUHP jika ingin disebut sebagai sebuah tindak pidana penodaan atau penistaan agama.

Terlebih dahulu Penulis ingin menguraikan bagaimana cara bekerja di level penyelidikan dalam menindaklanjuti sebuah laporan pidana.

Pasal 1 angka 5 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa: ”Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.” Jadi, langkah pertama Penyelidik adalah menentukan apakah laporan yang diadukan kepada pihak Polisi mengenai ucapan-ucapan Ahok tersebut merupakan suatu tindak pidana atau bukan.

Cara menentukan bagaimana?
  1. Periksa Pelapor dan meminta barang bukti yang dimiliki pelapor;
  2. Cari barang bukti pembanding: dalam hal ini video rekaman utuh pernyataan Ahok;
  3. Periksa orang-orang yang mendengar langsung ucapan tersebut atau ikut kegiatan tersebut untuk memastikan benar adanya kegiatan acara di Kepulauan Seribu dan benar adanya ucapan Ahok sama dengan yang ada di video rekaman;
  4. Penguraian kalimat dari sudut bahasa atas kalimat yang dilontarkan Ahok dengan 2 kunci pertanyaan: Yang dilakukan Ahok itu apakah memusuhi orang atau memusuhi/menodai Agama? Oleh sebab itu perlu diperiksa ahli tata bahasa Indonesia.
  5. Jika kemudian, dianggap konstruksi kalimatnya justru memusuhi orang atau kelompok orang, maka penggunaan Pasal 156a KUHP ini tidak memenuhi unsur atau dengan kata lain kasus ditutup karena tidak ditemukan peristiwa pidana pada Pasal 156a KUHP. Akan tetapi jika kesimpulannya Ahok dianggap memusuhi/ menodai Agama, maka perlu dibuktikan unsur kesengajaan dan kemurnian agamanya;
  6. Untuk membuktikan kesengajaan, maka perlu ditelusuri konteks kegiatan tersebut dan mencari tau apakah ucapan tersebut memang dihendaki dan diketahui Ahok untuk melakukan atau mengeluarkan perasaan untuk permusuhan agama atau penodaan agama;
  7. Untuk membuktikan unsur pemurnian agama, maka perlu dipanggil tokoh atau pemuka agama Islam, yang dapat berasal dari Majelis Ulama Indonesia, NU, Muhammadiyah, dan lain- lain tergantung kebutuhan Penyelidik. Pihak Terlapor dan Pelapor juga berhak untuk mengajukan ahli masing-masing;
  8. Minta keterangan Ahli Pidana mengenai materi hukum pidananya;
  9. Pelajari kasus-kasus yang pernah menggunakan Pasal 156a KUHP;
  10. Penyelidik mengambil kesimpulan apakah ada peristiwa tindak pidana penistaan agama atau tidak. Jika tidak, maka kasus ditutup. Jika ada maka Ahok dijadikan Tersangka.
Adapun mengenai kasus-kasus lain yang menggunakan Pasal 156a KUHP hanya sekedar dijadikan referensi penanganan perkara yang bersifat tidak mengikat. Sebagaimana dipahami bersama, tipologi setiap kasus berbeda dan Indonesia juga tidak menganut sistem common law. Di Indonesia, hakimnya punya “ego” untuk menafsirkan sebuah perkara, karena memang haknya dijamin UU Kekuasaan Kehakiman.

Catatan saya adalah mengenai penggunaan Pasal 156a KUHP ini memang termasuk Pasal yang penggunaannya subyektif dan bisa “memakan” siapa saja yang berbeda dalam menafsirkan agama yang kebenarannya sudah diakui tokoh agama maupun umatnya, sehingga kalau ada tafsiran lain maka bisa jadi dianggap menodai tapi jangan lupa unsur kesengajaan juga salah elemen unsur yang tidak bisa diabaikan.

Apakah Ahok terbukti melakukan tindak pidana? dari uraian tulisan ini anda bisa simpulkan sendiri hasilnya.