Senin, 06 Februari 2017

TEORI THOMAS AQUINAS KAITAN DENGAN KASUS PENODAAN AGAMA



Foto ilustrasi: Radar Banjarmasin

  1. Pendahuluan
Sudah sekian lama Indonesia berdiri gagah sebagai suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetapi konflik agama sering terjadi dan sampai memakan korban melayangnya jiwa manusia. Malangnya, nyawa yang terbuang sia-sia itu terjadi atas nama agama dan yang menjadi korban dianggap mati syahid. Kejadian yang lebih ringan adalah peledakan/pembakaran tempat ibadah, pengucilan sesorang yang menganut agama berbeda di suatu lingkungan masyarakat, penyediaan tempat atau fasilitas/ layanan untuk yang beragama tertentu. Barangkali, hanya tempat pelacuran yang, pada akhirnya, tidak akan menyediakan layanan berbasis agama.
Sekalipun pada awal persiapan NKRI ini persoalan agama telah muncul dan menjadi perdebatan yang hangat tetapi sesungguhnya belum pernah diciptakan suatu defenisi hokum mengenai agama. Dari tingkat SD sampai perguruan tinggi pelajaran agama diberikan kepada pelajar/ mahasiswa dan merupakan mata pelajaran/kuliah yang ada dalam setiap jenjang pendidikan. Bahkan banyak sekolah/perguruan tinggi agama didirikan, tetapi tidak pernah persoalan agama ini terumuskan dengan baik
Saya hanya ingin menuliskan betapa perlunya membuat suatu undang-undang tentang agama yang akan mengatur secara komprehensif mengenai Agama dan kalau memang diperlukan sistem kepercayaan. Pengaturan soal agama ini dalam undang-undang sangat perlu untuk memberikan kepastian hukum menyangkut agama dan sistem keagamaan supaya rakyat dapat bertindak sesuai dengan rambu-rambu yang ada.
Misalnya, dengan memberikan defenisi agama dapat dicari unsur-unsur yang membangun suatu pengertian mengenai agama. Jika unsur-unsur tidak memenuhi, maka suatu sistem kepercayaan tertentu tidak dapat disebut sebagai agama. Dengan merujuk pada defenisi, kita juga dapat menentukan syarat-syarat untuk disebut sebagai agama dan untuk mendirikan suatu agama. Kreatifitas manusia tidak terbatas sehingga mungkin ada orang Indonesia yang mampu menciptakan suatu agama baru, yang pantas dihargai juga, terutama dalam kerangka kebebasan berekspresi yang diatur dalam UUD 1945. Bagaimanapun juga, agama di Indonesia adalah agama impor. Pemerintah dapat mendorong warganya untuk menciptakan agama tertentu sesuai dengan budaya Indonesia.
Silang pendapat mengenai ajaran agama sering juga terjadi sehingga menimbulkan lahirnya varian-varian dari suatu agama. Hal ini juga perlu diatur agar kreatifitas manusia dalam memberikan tafsir tidak terhambat dan disisi lain juga tidak mengganggu stabilitas. Tidak perlu, misalnya, suatu penyimpangan dari tafsir atas ajaran yang mapan, menjadikan tafsir yang belakangan menjadi terbuang atau menjadikan pengikut tafsir yang belakangan menjadi terganggu kemanusiaannya karena diburu-buru pengikut tafsir yang mapan.
Penyebaran agama juga perlu menjadi perhatian karena ini merupakan bagian paling hitam dari perkembangan agama. Saya katakan bagian paling hitam karena penyebaran agama ini yang menimbulkan banyak goncangan di masyarakat. Misalnya, suatu komunitas tertentu yang sudah lama menganut agama tertentu tiba-tiba di datangi oleh penyebar agama dari agama yang lain. Apakah hal seperti ini dapat dibenarkan? Apakah perlu izin dalam hal penyebaran izin dan apakah penyebar izin ini harus juga terdaftar? Jika hal ini dirumuskan dengan baik dalam undang-undang tentu konflik dapat dieliminir sedemikian rupa. Dalam hal terjadi konflik tentu harus ada penyelesaian sengketanya.
Perlu juga diatur mengenai tata cara dan akibat-akibat hukum jika terjadi perpindahan agama. Undang-undang tidak akan lengkap tanpa adanya sanksi pidana. Maka perlu diatur pelanggaran-pelanggaran apa yang dapat disebut sebagai tindak pidana agama.
Selama ini ketentuan mengenai agama belum sepenuhnya diatur dan kalaupun diatur tersebar dalam berbagai instrumen hukum. Apa yang disampaikan di atas hanya sekelumit soal mengenai sistem keagamaan di Indonesia yang tidak teratur dengan baik. Persoalan yang saat ini panas menyangkut pembantaian Jemaah Ahmadiyah merupakan buah dari keengganan menata kehidupan keberagamaan di Indonesia.

  1. Permasalahan
Kalau kita melihat permasalahan yang muncul dari konflik agama ini memang cukup banyak dan sangat mengiris hati, karena masalah ini bukan saja masalah ajaran yang baru dibawa, tapi lebih dari pada itu, yaitu kehilangan nyawa yang bukan satu dua bakan bisa puluhan bahkan ratusan seperti di ambon. Adanya Undang-Undang Penodaan Agama Nomor 1 Tahun 1965 bukan berarti masalah akan berhaenti atau berkurang, justru masalah kian bertambah dan menjamur,artinya apakah bangsa ini membutuhkan undang-undang yang jauh lebih mengatur agama?
Selaku penulis, dalam hal ini sangat tidak sepaham dengan beberapa kalangan yang menilai bahwa negara tak patut tak ada kaitanya dengan agama, coba sejenak kita lihat tentang beberapa hal diantaranya kurikulum sekolah dari jenjang SD sampai kuliah yang dengan tersistem meletakkan pelajaran agama didalamnya, termasuk undang-undang penodaan agama, juga adanya pengadilan agama, apakah dari hal ini masih bisa dikatakan bahwa negara jauh dari  agama?, hal ini justru menekankan bahwa negara dengan malu-malu ikut serta akan hadirnya agama didalamnya, termasuk keberadaan MUI yang sangat dominan dalam hal hukumya. Bahkan agama Islam yang dianaut lebih dari 85% rakyat Indonesia dapat menjadi sumber hukum, sekalipun bukan sumber hukum formal namun sebagai sumber hukum materiil.[1]
Memahami situasi di Indonesia bukanlah hal mudah, Indonesia memiliki keaneka ragaman sejarah, budaya, suku, dan agama yang begitu komplek. Problematika msyarakat bisa diobservasi, tetapi tidak bisa diperlakukan sebagaimana obyek yang mati. Adakalnya reaksi yang ditimbulkan akibat adanya suatu investigasi tidak mudah diukur validitasnya, sehingga obeyktifitas dari informasi yang diperoleh secara pasti, kohesi dan koherensi tidak semudah data kealaman yang dikumpulkan melalui suatu proses dan metode penelitian tertentu.[2]
Kasus-kasus yang terjadi beberapa tahun ini seperti, aliran-aliran yang atas nama Islam, kekerasan atas nama agama, terrorisme, bengunan ibadah, dan segala permasalahan berkaitan dengan agama membuat Undang-Undang Nomor 1 Tahuan 1965 ini diajukan judicial review oleh beberapa kalangan ke Mahkamah Konstitusi
Pendapat MK yang dibacakan dalam persidangan menyatakan bahwa negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan masyarakat diberikan hak untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah serta ajaran agamanya masing-masing sesuai dengan kepercayaannya. Negara sesuai amanat konstitusi juga turut bertanggung jawab meningkatkan ketakwaan dan akhlaq mulia. Domain agama adalah konsekuensi penerimaan ideologi Pancasila.
Adanya pendapat oleh salah satu hakim konstitusi bahwa “Dalam negara Pancasila tidak boleh diadakan kegitan yang menjauhkan nilai religiusitas dan keagamaan. Jadi negara tidak memberikan peluang untuk menodai agama lain. Kebebasan agama adalah hak mendasar yang telah disepakati oleh kesepakatan dunia dan dilindungi oleh negara demi harkat martabat manusia," adalah hal yang sangat penting.
Meskipun demikian, Arsyad juga menegaskan bahwa negara juga boleh membatasai kebebasan sesuai dengan UUD dan tunduk kepada pembatasan atas penghormatan hak asasi orang lain berdasarkan nilai agama dan sesuai dengan bentuk negara demokratis. Negara memberikan kewajiban dasar atas tegaknya HAM. Secara integral UUD mengatur setiap elemen negara dan masyarakat untuk menghormati HAM itu sendiri. Hal itu harus berlaku dan dilaksanakan dan tanpa melukai yang lainnya.
MK berpendapat bahwa pada hakikatnya ide pengujian konstitusionalitas oleh Pemohon adalah mencari tafsir kebebasan beragama di Indonesia kepada MK dan bagaimana bentuk pencegahan atas penodaan terhadap agama. Selain itu, pengujian UU ini secara substansi dimohonkan ke MK apakah relevan saat dibentuknya UU ini apabila dikontekskan dengan kondisi sosial masyarakat saat ini.
MK menilai bahwa UU pencegahan agama masih tetap sah secara formil, MK tak sependapat kalau UU yang dibuat pada masa demokrasi terpimpin semua tidak sah dan cacat dalam proses pembentukannya. MK juga tidak sependapat dengan pendapat UU Penodaan Agama cacat formal dan tidak sesuai dengan UUD 1945. MK memberikan pandangannya bahwa pasal 1 UU Penodaan Agama ini memberikan kepastian setiap orang dilarang dengan sengaja menyebarkan dan menganjurkan untuk melakukan penafsiran terhadap kegiatan yang menyimpang dari pokok agama.
"UU Penodaan Agama ini tidak membatasi kebebasan beragama dan penafsiran terhadap agama, UU ini menurut MK adalah untuk membatasi penyimpangan dan  penodaan agama. Jadi yang melakukan dengan sengaja dimuka umum mengajarkan agama yang menyimpang terhadap pokok ajaran agama dan menganjurkan penodaan itu yang dilarang. Oleh sebab itu pembatasan ini sesuai dengan UUD diperbolehkan untuk menjaga ketertiban umum dan menghormati hak asasi orang lain. UU Penodaan Agama ini diperlukan dan tidak melanggar HAM. UU Penodaan Agama bukan merupakan UU kebebasan beragama. UU ini mencegah untuk melakukan tindakan anarki. Jadi ketika timbul permasalahan dapat diselesaikan dengan pendekatan hukum. Ini merupakan perlindungan preventif karena agama merupkan isu sensitif dalam masyarakat.[3]
MK menimbang bahwa terhadap kepentingan masyarakat penganut kepercayaan yang sudah lama hidup di Indonesia, MK berpendapat, masyarakat penganut kepercayaan adalah masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini kepercayaannya sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi dan bukan merupakan permasalahan pertentangan norma UU Pencegahan Penodaan Agama terhadap UUD 1945. Oleh sebab itu dalil para Pemohon tidak beralasan hukum
Dalam putusan ini, terdapat concurring opinion (alasan berbeda) dari Hakim Konstitusi Harjono. Harjono berpendapat hak asasi manusia memang tidak bisa dibatasi namun dalam memanivestasikan dalam agama dapat dibatasi terutama menyangkut aspek forum externum dan harus ditetapkan oleh UU dengan menjamin kebebasan orang lain. Pengujian UU yang diujikan Pemohon setelah perubahan UUD adalah tentang perlindungan agama yang tidak berdasarkan hanya pada agama tertentu saja. "Rumusan Pasal 1 apabila ada kekurangan maka bisa dilakukan revisi oleh lembaga yang berwenang. Namun untuk mencegah kondisi yang tidak dikehendaki dalam masyarakat UU ini masih tetap konstitusional.
Sementara itu, dissenting opinion (pendapat berbeda) disampaikan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida, bahwa Penyempurnaan terhadap UU ini harus dilakukan dengan pandangan dan nilai baru yang sesuai dengan kondisi saat ini. "Kebebasan beragama di indonesia dilandasi dengan hukum dan negara wajib menjamin kebebasan beragama. Ada dua aspek yang diperhatikan yakni internum dan externum. Pasal 1 dan penjelasannya terdapat ketidak-sesuaian karena agama hanya terbatas enam yang diakui. Selanjutnya, untuk aliran kepercayaan cenderung diarahkan kepada salah satu agama yang kemudian menyentuh eksistensi setiap kepercayaan agar diarahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa," tutur Hakim Konstitusi perempuan pertama ini.[4]
Selain itu, ketentuan Pasal 2 tidak konsisten antara penyebutan barang siapa yang dalam bahasa hukum adalah orang dan badan hukum, tapi kemudian terdapat pula penjelasan hanya menyebut organisasi. Begitu juga rumusan pasal 3 ada perbedaan alamat subjek hukum yang dituju. Eksistensi UU ini perlu ditinjau kembali karena sering menimbulkan berbagai permasalahan dalam prakteknya karena hanya mengakui enam agama saja. Dampak langsung bisa dilihat pada contoh pencatatan perkawinan, KTP dan pembuatan surat kematian.
Perkara No.140/PUU-VII/2009 ini dimohonkan tujuh Pemohon badan hukum (organisasi non pemerintah), yakni Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara (Desantara Foundation), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan tiga Pemohon perorangan, yakni, (Alm) K.H. Abdurahman Wahid, Prof. DR. Musdah Mulia, Prof. M. Dawam Rahardjo, dan KH. Maman Imanul Haq.[5]

  1. Teori
Teori Thomas Aquinas dirasa mampu meredaksikan apa yang terjadi dalam kasus ini, hal ini berkaitan tidak hanya dengan ilahi saja, tapi kekuatan ilahiyahlah yang mempunyai kekuatan lebih untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hidup ini mengejar kebaikan, dan mengihindar dari kejahatan, maka kebaikan yang tercermin dalam hal ini adalah mempertahankan hidup, cinta, berkeluarga, mengenal tuhan dan hidup yang bersahabat.
Doktrin Thomas Aquinas ini melihat konfigurasi tata hukum dimuali dari:
1)    Lex aeterna = hukum dan kehendak Tuhan
2)    Lex naturalis = prinsip umum (hukum alam)
3)    Lex devina = hukum Tuhan yang dalam kitab suci
4)    Lex humane = hukum buatan manusia yang sesuai dengan hukum alam.[6]
Tidak jauh berbeda dengan agustinus, Thomas Aquinas juga mengaitkan hukum dengan agama, ini tidak perlu diulangi lagi. Hal  yang perlu dicatat disini adalah pemikiran Aquinas tentang keadilan hukum. Melalui teorinya tentang keadilan hukum betapa pentinganya mutu dari suatu aturan hukum.[7]

  1. Solusi
Kasus diatas jelas menarik perhatian banyak kalanagn, dan hal ini membuat adanya upaya hukum baru agar masalah yang terus menerus dan tak kunjung henti ini dapat disalesaiakan sekalipun tidak secara menyeluruh dan adil, namun setidaknya dapat mengurangi permalashan yang ada, dan solusi yang tawarkan dari beberapa pemerhati melalui tulisan- tu.lisannya yaitu berupa undang undang perlindungana agama.
Dalam hal ini saya melakukan penelitian kecil-kecilan dalam arti sekedar berdiskusi dengan beberapa teman-teman sekeliling yang juga berasal dari non Islam diantaranya, hal yang menarik dari perbincangan tersebuat adalah, adanya rasa kekhawatiran atas fenomena agama yang seharusnya damai jusrtu ada rasa saling curiga satu sama lain, sekalipun tidak dengan gamblang hal ini diperlihatkan, namun rasa itu tak mungkin diabaikan setelah adanya kasus beberapa tahun terakhir ini, dan yang justru menarik dalam hal ini aldah islam yang menjadi tontonan kesalahan itu, dan merekapun mengamini konflik islam yang jusrtu menjadi sorotan dari kasus teroris, pembantain dibeberapa daerah, juga berbagai aliran yang dikatan sesat juga islam, artinya dalam hal ini Islam benar-benar menjadi “ajang” perhatian sekaligus konflik yang berkepanjangan, keinginan mereka sekalipun tidak terlalu memahami masalah hirarkie ataupun aturan hukum yang ada, namun ada asas yang diletakkan pada negara agar mampu menyelesaikan masalah yang tak kunjung selesai, yang malah jusrtu makin sensitif belakangan ini.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sekarang ini sudah seharusnya membuat Undang-Undang tentang Perlindungan Agama. Hal tersebut diperlukan mengingat sampai sekarang ini belum ada ketentuan hukum atau peraturan yang pasti tentang perlindungan kesucian/ kemurnian suatu agama dari perilaku penistaan/ penodaan suatu agama oleh sekelompok orang/ organisasi. Dalam KUHAP sudah ada pasal yang mengatur tentang ketentuan penistaan/ penodaan suatu agama. Tetapi, pasal tersebut menjadi mandul ketika dihadapkan pada suatu masalah tertentu. Misalnya pro-kontra keberadaan aliran Ahmadiyah.[8]
Ada beberapa hal yang patut diperhatikan dalam hal ini:
1) Sekalipun keberadaaan undang-undang penodaan agama masih bersifat kontroversi dalam penerapannya, namun hal ini bukan berarti keberadaannya ditiadakan, justru harus adanya undang-undang penguat atau dapat dikatakan undang-undang pendukung dalam hal ini yaitu undang-undang perlindungan agama.
2) Fenomena pemikiran yang yang beraganggapan bahwa negara tak patut ikut serta dalam hal agama, hal ini justru bertentangan dengan beberapa pokok penting yang dijelaskan diatas, seperti Undang-Undang itu sendiri, MUI, pengadilan, dan adanya Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 yang butuh penjelasan lebih luas, dan mungkin dapat pada kesempatan lain, seperti bagaiman negara berketuhanan dan kemerdekaan agama itu seperti apa.
3) Teori apapun yang ada dalam kehidupan negara, hukum dan sosial tentulah teori itu patutnya mementingkan kehidupan yang kesejahteraan, tidak menyakiti, adil, tentram, damai, tidak mengadu domba dan tentunya beretika juga berlogika alam dan ilahiyah.
4) Dari hasil penelitian kecil yang saya utarakan diatas, dapat disimpulkan bahwa mereka yang dari manapun asal agamanya menaruh harapan yang besar pada negara agar masalah agama yang seharusnya semua agama percaya akan damai ini tidak lagi menjadi ancaman satu sama lain, dan hal ini tentunya menentang juga menangkis beberapa anggapa yang mengatakan bahwa negara tak perlu ikut campur dalam masalah agama itu jelas salah besar, karena kalau bukan pada Negara, pada siapa lagi masalah ini dapat diselesaikan, sekalipun beberapa ormas dan juga LSM masyarakat ada didalamnya, tapi kita negara hukum yang mana melalui jalan hukumlah suatu masalah dengan jelas bisa diselesaikan.

Daftar Pustaka:
Bernand dkk, teori hukum, Yogyakarta, Genta publishing 2006
Moh Mahfud MD, Membagun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Rajawali pers, 2010
Prof Jawahir Tantowi. islam politik dan hukum, Yogyakarta: madyan press Yogyakarta, 2002


[1] Moh Mahfud MD, membagun politik hukum, menegakkan konstitusi, Jakarta: Rajawali pers, 2010, hlm 100
[2] Prof Jawahir Tantowi. islam politik dan hukum, Yogyakarta: madyan press Yogyakarta, 2002, hlm 288
[3] http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=3941, akses rabu 11 Januri 2017
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Bernand dkk, teori hukum, Yogyakarta, Genta publishing 2006, hlm 59
[7] Ibid, hlm 61
[8] http://www.detiknews.com/read/2008/05/16/081736/940406/471/perlunya-undang-undang-perlindungan-agama, akses 11 januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar