Minggu, 26 April 2015

Kepastian Hukum dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)

Oleh: Darius Lekalawo

Kasus Posisi

Khabar yang mengecewakan bagi banyak pihak (umat dan para donatur) di sebuah gereja (SP) di Depok-Jawa Barat ketika seorang gembala gereja mengumumkan batalnya transaksi jual beli tanah antara seorang penjual inisial (W) terhadap pihak gereja yang disebabkan oleh adanya persoalan hukum.

Dari informasi yang bisa dipercaya, proses negosiassi hingga mendapatkan kata sepakat adalah dengan harga jual sebesar Rp. 13 milyar berlangsung sejak September 2014. Memorandum of Understanding ("MoU") dan pembayaran hingga kini memang belum dilakukan. Namun untuk menghimpun dana sebesar itu umat/ jemaat setempat diajak untuk bekerja keras (mereka sudah membuka pikiran, membuka dompet) dengan harapan untuk bisa membeli tanah seluas tanah seluas 6.682 M2 untuk kepentingan keagamaan. Hasilnya mereka harus ‘gigit jari’ karena kuasa hukum dari pembeli pertama melayangkan somasi kepada pemilik tanah karena akte jual beli dari obyek tanah yang sama hingga kini belum dibatalkan.

Pokok Permasalahan

Apakah pihak gereja dapat melakukan upaya hukum dengan delik penipuan?
Apakah sanksi yang diberikan kepada pemilik tanah hanya berupa sanksi moral atau harus dilakukan ganti rugi karena yang bersangkutan telah melakukan wanprestasi?


Dari kasus diatas, berikut ini sedikit edukasi mengenai pemahaman hukum dalam perjanjian (kontrak).

Berdasarkan teori lahirnya perjanjian, maka jual beli termasuk perjanjian yang bersifat konsensuil atau mengenal Asas Konsensualisme (Pasal 1320 ayat (1) KUHPer), dimana perjanjian lahir saat kedua belah pihak sepakat mengenai barang dan harga, walaupun pada saat itu barang belum diserahkan dan harga belum dibayarkan (1458 KUHperdata). Unsur esensial dari perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Harga haruslah diartikan sebagai sejumlah uang yang digunakan (diakui) sebagai alat pembayaran yang sah sebab apabila tidak demikian, maka tidak ada perjanjian jual beli melainkan yang ada adalah perjanjian tukar menukar. Sedangkan barang yang menjadi obyek perjanjian jual beli adalah haruslah barang yang berada dalam lalu lintas perdagangan sebagaimana diatur dalam pasal 1332 KUHPerdata. Berdasarkan BW barang yang menjadi obyek perjanjian dapat diklasifikasikan menjadi barang yang sudah ada dan barang yang akan ada (relative dan absolut).

Jual beli diatur dalam buku III KUHPerdata, bab ke lima tentang “jual beli”. Dalam pasal 1457 KUHPerdata dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu (penjual) mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain (pembeli) untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikemukankan lebih lanjut bahwa perjanjian jual beli merupakan perjanjian timbal balik sempurna, dimana kewajiban penjual merupakan hak dari pembeli dan sebaliknya kewajiban pembeli merupakan hak dari penjual. Dalam hal ini, penjual berkewajiban untuk menyerahkan suatu kebendaan serta berhak untuk menerima pembanyaran, sedang pembeli berkewajiban untuk melakukan pembayaran dan berhak untuk menerima suatu kebendaan. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, maka tidak akan terjadi perikatan jual beli. KUHPerd mengenal tiga macam barang sebagai obyek Jual-Beli yaitu : barang bergerak, barang tidak bergerak (barang tetap), dan barang tidak berwujud seperti piutang, penagihan, atau claim.

Perjanjian jual beli saja tidak lantas menyebabkan beralihnya hak milik atas barang dari tangan penjual ke tangan pembeli sebelum dilakukan penyerahan (levering). Pada hakekatnya perjanjian jual beli itu dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap kesepakatan kedua belah pihak mengenai barang dan harga yang ditandai dengan kata sepakat (Jual beli) dan yang kedua, tahap penyerahan (levering) benda yang menjadi obyek perjanjian, dengan tujuan untuk mengalihkan hak milik dari benda tersebut.

Kesepakatan para pihak dalam perjanjian jual beli sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata melahirkan dua macam perjanjian, yaitu perjanjian obligatoir (perjanjian yang menimbulkan perikatan) dan perjanjian kebendaan (perjanjian untuk mengadakan, mengubah dan menghapuskan hak-hak kebendaan). Akibat pembedaan perjanjian tersebut, maka dalam perjanjian jual beli harus disertai dengan perjanjian penyerahan (levering), yaitu sebenarnya merupakan perjanjian untuk melaksanakan perjanjian jual beli

Pasal 1253 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perikatan adalah bersyarat, apabila digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan sehingga terjadinya peristiwa tersebut (syarat tangguh, Pasal 1263-1264 dan 1463 KUHPerdata) maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidaknya peristiwa itu (syarat batal, Pasal 1265-1266 KUHPerdata). Menurut hartono berdasarkan ketentuan pasal 1253 KUHPerdata tersebut, maka dapat diketahui bahwa ukuran dari pelaksanaan perikatan adalah adanya syarat terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi. Apabila peristiwa itu merupakan peristiwa yang pasti akan terjadi, maka perikatan tersebut merupakan perikatan bersyarat dengan ketepatan waktu (syarat Positif, Pasal 1258 KUHPerdata).

Jadi Perjanjian Pengikatan jual Beli merupakan perikatan bersyarat seperti yang telah diketahui adalah bukan perjanjian Pendahuluan karena dalam perjanjian Pendahuluan sifatnya seperti MOU dan belum masuk dalam perjanjian pokok serta dalam perjanjian Pendahuluan belum ada kata sepakat. sedangkan dalam perjanjian jual-beli mengenal asas Konsensualisme arti bahwa perjanjian cukup dengan kata sepakat saja sudah lahir atau dilahirkan suatu perikatan. Pada detik tersebut perjanjian sudah mengikat, dan bukannya pada detik-detik lain yang terkemudian atau sebelumnya.

Kesimpulan

Secara hukum pihak gereja bisa melakukan tuntutan kepada pemilik tanah karena telah melakukan wanprestasi. Jika ada unsur pidana dalam kasus ini, tidak menutup kemungkinan terhadap pemilik tanah selain mendapatkan sanksi moral juga bisa dijerat pasal 378 KUHP tentang penipuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar