Minggu, 12 April 2015

Pentingnya Pendaftaran HAKI Untuk Mendapatkan Perlindungan Hukum

HAKI yang meliputi Paten, Merek, Desain Industri dan Tata Letak, Hak Cipta, Indikasi Geografis, Rahasia Dagang, Varietas Tanaman merupakan ruang lingkup yang ada dalam Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Keberadaan Direktorat ini adalah untuk mengaplikasikannya dalam bentuk hukum HAKI dengan tujuan mendapatkan perlindungan hukum atas hak dan atau memberikan hak eksklusifnya kepada orang lain agar aman dan legal.

Dalam dinamika perubahan masyarakat dewasa ini membawa munculnya berbagai masalah hukum. Globalisasi juga menjadi salah satu dampak dari perubahan hubungan antara negara-negara di dunia. Dalam rangka mengantisipasi berbagai perkembangan baik yang terjadi akibat perubahan masyarakat maupun karena tuntutan globalisasi, maka tidak sedikit mahasiswa yang melakukan kunjungan ke Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.



Salah satunya adalah mahasiswa yang didampingi Dr. Sufiarina, SH, MH, Erna Emalia, SH, MH, Elianta Ginting, SH, MH dari Fakultas Hukum Jagakarsa-Jakarta yang melakukan kunjungan serta tatap muka bersama Muhammad Fauzy, SH, MH, Agung Damarsasongko, SH, MH, Achmad Iqbal Taufiq, SH, MH, Ardiansah Hariwardana, SH, MH dari  Ditjen HAKI, Kamis (13/11/2014) di kawasan Rasuna Said, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

Agung Damarsasongko, SH, MH yang menyampaikan prihal tinjauan perlindungan hak cipta, dalam kesempatan itu mengatakan bahwa Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang baru disahkan, isi dan konteksnya disusun serta disesuaikan dengan perkembangan seperti yang ada di negara lain. Artinya banyak mengalami kemajuan.

“Misalnya dalam UU No 19 tahun 2002 sebelumnya disebutkan perlindungan atas hak cipta adalah seumur hidup ditambah 50 tahun namun dalam UU Hak Cipta yang baru menjadi seumur hidup pencipta ditambah 70 tahun. Jadi lebih lama 20 tahun. Selain itu hak cipta seperti benda bergerak tidak berwujud bisa dijadikan sebagai objek jaminan fidusia”, ungkapnya.

Lanjut Kepala Seksi Pertimbangan Hukum dan Litigasi Ditjen HAKI itu bahwa bagi pelaku seni akan memiliki jangka waktu perlindungan hak cipta selama 50 tahun, sejak pertama kali karyanya dipertunjukkan. Produser rekaman juga memiliki perlindungan selama 50 tahun sejak pertama kali produknya diperbanyak, dan lembaga penyiaran memiliki jangka waktu perlindungan selama 20 tahun sejak karyanya pertama kali disiarkan. Diharapkan hal ini pemilik hak cipta bisa mendapatkan perlindungan terhadap hak ekonomi dan hak moral yang dimilikinya.

“Hak cipta tersebut berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta. Ciptaan tersebut mencakup diantaranya seperti puisi, drama, karya tulis, film, karya-karya koreografi, komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, software, siaran radio dan televisi, serta desain industri. Bagi pencipta, pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait dapat menerima imbalan royalty melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Terhadap Hak Cipta yang ciptaannya sudah dicatatkan apabila melanggar norma-norma, ketertiban umum, pertahanan dan keamanan negara, serta ketentuan peraturan perundang-undangan, Menkumham diberi wewenang untuk menghapusnya”, jelas Agung.

Banyak Yang Belum Mengerti HAKI
Ditempat yang sama, Ardiansah Hariwardana, SH, MH juga mengatakan soal pembajakan hak cipta yang kini masih marak di masyarakat ternyata banyak masyarakat yang belum mengerti HAKI. Selain itu belum banyak masyarakat yang mendaftarkan HAKI-nya agar bisa mendapatkan perlindungan hukum.

“Dari hasil penyidikan kita di beberapa tempat, memang banyak terjadi. Masyarakat lebih memilih dan menjual produk-produk yang menyerupai asli, yang ternyata palsu atau bajakan dengan alasan murah. Kalau yang asli itu mahal. Kembali lagi, ternyata banyak orang yang belum mengerti HAKI. Yang mereka tahu bahwa ketika ada pihak lain yang menggunakan hak cipta atau mereknya tanpa izin, mereka berharap, itu sudah tugasnya para penegak hukum. Padahal hak cipta atau merek mereka belum didaftarkan secara resmi. Untuk itu pendaftaran HAKI merupakan sebuah keharusan, jika tidak maka konsekuensi pengalihan hak atas HAKI tidak berakibat hukum pada pihak lain. Hal ini penting untuk mempermudah pengawasan dan terwujudnya kepasitian hukum,” ujar Ardian.

Usai acara Ardian yang kini menjabat sebagai Kepala Seksi Adminitrasi Penyidik itu dalam wawancara dengan wartawan menuturkan terkait dengan masalah HAKI, tentu tidak mudah seperti membalikan telapak tangan. Namun yang terus dilakukan adalah mesosialisasikan kepada masyarakat hingga ke pelosok. Dan ini menjadi tugas dan pekerjaan rumah Ditjen HAKI untuk memiminimalisir persoalan pelanggaran HAKI yaitu dengan melakukan tindakan preventif.

“Tindakan preventif yang kita lakukan dengan mengedepankan apakah orang itu mengerti HAKI atau tidak. Memang tidak mudah. Karena tidak hanya masalah penegekan hukum yang kita kedepankan tetapi berbagai masalah seperti bahasa, budaya, adat istiadat, dan lain-lain. Dari 250 juta jiwa masyarakat Indonesia, banyak yang kita temukan, tidak mengerti HAKI. Kita berharap masyarakat dapat mengerti HAKI seperti halnya mereka memahami dalam mengendarai sebuah kendaraan. Misalnya ketika lampu merah, mereka harus berhenti. Jika 70% saja yang paham akan hal itu maka akan berjalan dengan sendirinya”.


Mendorong Kreativitas Anak Bangsa
Soal perlindungan HAKI bagi karya anak bangsa dalam menghadapi perdagangan bebas ASEAN 2015 mendatang sebagai warga dunia, pasti Indonesia juga menerima dampaknya. Tapi bagaimana caranya agar barang-barang yang melanggar HAKI itu tidak masuk ke Indonesia secara illegal. Dengan adannya PERMA No. 2012, Ditjen HAKI sudah memikirkan bagaimana caranya untuk mengantisipasi persoalan itu, jangan sampai Indonesia menjadi pasar barang-barang pelanggaran.

“Dan saat ini saya bersama teman-teman Bea Cukai, duduk bersama untuk mencari solusi dalam mensinergikan dua peraturan yang berbeda itu. Karena wilayah kepabeanan adalah bea cukai yang melakukan tindakan terhadap pihak lain sementara di HAKI yang bisa melakukan tindakan hukum atau upaya hukum terhadap pelanggaran hanya POLRI dan Ditjen HAKI dan tidak bisa masuk ke wilayah kepabeanan. Nah sekarang pelanggaran yang terjadi Indonesia sekitar 70% itu datangnya dari luar. Mudah-mudahan dengan PERMA No. 2012 kita bisa menghindari barang-barang yang boleh dikatakan dalam tanda petik ‘sampah’ dan kita akan terus mendorong kreativitas dari bangsa kita sendiri”, ujar pria campuran Ambon-Sunda ini.

Pesan Ardian “Kami akan terus mendorong DPR-RI untuk merevisi lagi UU lain yang terkait dengan HAKI. Hal ini perlu dalam rangka melindungi karya anak bangsa melalui sebuah Undang-Undang. Dalam beberapa kasus, setiap melakukan tindakan terhadap pelanggaran HAKI, kita selalu dikaitkan dengan HAM. Namun dengan dirubahnya delik biasa menjadi delik aduan seperti dalam UU No. 28 Tahun 2014, kita sangat berharap bahwa kita bisa keluar dari peristiwa sulit itu. Undang-Undang ini juga sedikit memberikan peringatan kepada pihak luar bahwa kalau merasa dirugikan, aktif dong dan laporkan kepada kami. Karena kami tidak tahu barang-barang mana yang dilanggar. Yang tahu adalah Anda sebagai pemegang hak”, harapnya. (Darius Lekalawo; Artikel ini pernah terbit di modernkawai.co.id dan beberapa media cetak. Keterangan foto: Ardiansah Hariwardana, SH, MH, Penyidik HAKI (kedua dari kanan))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar