JAKARTA - Pelaksanaan hukuman mati di negara manapun kerap kali menuai pro-kontra, tak terkecuali di Indonesia. Terlebih, proses hukum di Indonesia dianggap belum memenuhi prinsip peradilan yang adil (fair trial) sehingga penjatuhan dan pelaksanaan hukuman terhadap terpidana mati tak perlu dipaksakan seperti yang terjadi belakangan ini.
"Meningkatnya penerapan hukuman mati di Indonesia terjadi dalam situasi peradilan yang tidak adil (unfair trial), dari penyiksaan, kesalahan prosedur, sampai dengan kesalahan aturan. Maka pertanyaannya apakah seluruh terpidana mati diadili secara fair?" kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono dalam acara diskusi bertajuk "Hukuman Mati Vs Fair Trial, di Jakarta, seperti dilansir beritasatu.com, Kamis (8/9/2016).
Supriyadi menilai, permasalahan pelaksanaan hukuman mati dapat dilihat dari eksekusi terpidana mati Jilid III di LP Nusakambangan terhadap Sack Osmane, Freddy Budiman, Humprey Ejike Jefferson. Ketiganya dieksekusi saat mengajukan grasi yang secara prosedur jelas bertentangan dengan UU Grasi.
Belum lagi pemeriksaan perkara dalam penyidikan dan tahap penuntutan yang menyisakan banyak pertanyaan seputar kelayakan terpidana dijatuhi hukuman mati. Tak sedikit pihaknya menemukan fakta adanya penyiksaan yang dilakukan terhadap tersangka untuk mengaku melakukan kesalahan yang tidak dilakukannya hingga diadili dan dijatuhi hukuman mati.
Dikatakan, sejak Presiden Jokowi menegakan hukuman mati terhadap terpidana narkoba, tuntutan dan vonis mati menjadi tren di beberapa pengadilan. Tahun 2015 saja pengadilan menjatuhkan sedikitnya 76 vonis mati padahal pada 2014 hanya enam terpidana yang divonis mati. Tahun 2016 ini, sudah 17 orang divonis mati, sedangkan 26 orang dituntut mati.
Kebanyakan pelaku yang dituntut dan divonis mati merupakan terpidana atau terdakwa perkara narkoba. Tren tersebut tidak sehat karena dalam prosesnya banyak terpidana yang tidak layak dijatuhi hukuman mati karena bukan otak peredaran narkoba.
Mantan Ketua Komnasham Ifdhal Kasim menyebut, penerapan hukuman mati di Indonesia sebaiknya dihentikan. Kendati masih menjadi hukum positif, hukuman mati dianggap tidak mencerminkan konstitusi dan Pancasila. Apalagi, banyak negara yang telah menghapus hukuman mati.
"Dalam Revisi KUHP sebaiknya hukuman mati tidak diatur lagi," kata Ifdhal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar