Foto ilustrasi: lakeybanget.com |
Saya
ingin menanyakan ketika seseorang (sebut saja A) mengeluarkan statement di
hadapan pers dan media yang mengakui bahwa dirinya adalah pelaku dari suatu
tindak pidana, sedangkan pelaku sebenarnya (sebut saja B) adalah orang lain.
Hal ini dilakukan untuk melindungi kesalahan B sebagai pelaku materil dari
tindak pidana tersebut. Setelah dilakukan penyidikan, A baru mengakui kepada
polisi bahwa pelaku sebenarnya adalah B. Apakah terhadap A (orang yang
mengaku-ngaku sebagai pelaku tindak pidana di hadapan pers dan media) dapat
dikatakan telah melakukan tindak pidana dan bagaimana pertanggungjawaban
pidananya? Terima kasih.
Jawaban:
Terima
kasih atas pertanyaan Anda.
Pada dasarnya, berkata bohong bukanlah suatu tindak pidana.
Sepanjang penelusuran kami, tidak ada satupun pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(“KUHP”) yang menyatakan bahwa seseorang yang berkata bohong dapat
dijerat pidana. Lain halnya apabila kebohongan itu dibarengi dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Misalnya
dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya. Tindak pidana ini dikenal dengan nama penipuan
yang diatur dalam Pasal 378 KUHP:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu
atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya
memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.”
Mengenai tindak pidana ini dapat Anda simak dalam artikel Jerat Hukum Penipuan Bermodus Info Lowongan Kerja.
Jadi, pada dasarnya jika si A hanya berkata bohong di
hadapan pers dan media, dan perbuatannya tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 378
KUHP, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana.
Akan tetapi menjadi berbeda jika perbuatan si A, yaitu
memberikan pernyataan tidak benar tersebut, diberikan di atas sumpah. Jika
pernyataan yang tidak benar tersebut diberikan di atas sumpah, maka A dapat
dipidana berdasarkan Pasal 242 KUHP.
Pasal 242 KUHP mengatur mengenai pemberian sumpah palsu dan
keterangan palsu:
(1) Barang siapa dalam keadaan
di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau
mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi
keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi
maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
(2) Jika keterangan palsu di
atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau
tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun.
(3) Disamakan dengan sumpah
adalah janji atau penguatan yang diharuskan menurut aturan-aturan umum atau
yang menjadi pengganti sumpah.
(4) Pidana pencabutan hak
berdasarkan pasal 35 No. 1 - 4 dapat dijatuhkan.
Terkait pasal ini, menurut R. Soesilo dalam bukunya
yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa supaya dapat
dihukum harus memenuhi unsur-unsur:
a)
keterangan
itu harus atas sumpah;
b)
keterangan
itu harus diwajibkan menurut undang-undang atau menurut peraturan yang
menentukan akibat hukum pada keterangan itu;
c)
keterangan
itu harus palsu (tidak benar) dan kepalsuan ini diketahui oleh pemberi
keterangan.
Pasal 242 KUHP ini berhubungan dengan pemberian keterangan
seseorang di persidangan yang memang diwajibkan menurut undang-undang, yakni
saksi di persidangan. Dengan demikian, sebenarnya keterangan yang diberikan
oleh A di hadapan media meskipun sifatnya palsu namun tidak dilakukan atas
sumpah dan tidak memiliki keterkaitan dengan pemberian keterangan yang
diwajibkan menurut undang-undang, maka menurut hemat kami, perbuatan A yang
mengaku sebagai pelaku pidana demi melindungi B bukan merupakan tindak pidana.
Dalam artikel berjudul Mengurai Kebenaran di Antara
Kebohongan yang Berserakan yang kami akses dari laman resmi Pengadilan Negeri Palopo Sulawesi Selatan
dikatakan bahwa untuk menerapkan Pasal 242 KUHAP harus memperhatikan ketentuan
dalam Pasal 174 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”):
(1) Apabila keterangan saksi di
sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh
kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman
pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan
palsu;
(2) Apabila saksi tetap pada
keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan
penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan
untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu;
(3) Dalam hal yang demikian oleh
panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan
saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah
palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta
panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut
ketentuan undang-undang ini;
(4) Jika perlu hakim ketua sidang
menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana
terhadap saksi itu selesai.
Lebih
lanjut dalam artikel tersebut diketahui sebuah contoh kasus penerapan Pasal 242
ayat (1) KUHP jo. Pasal 174 KUHAP karena saksi mengingkari keterangannya. Kasus
tersebut tentang Hakim Pengadilan Negeri Makassar, pada tahun 1994, yang
memerintahkan kepada polisi untuk menahan salah seorang saksi “kasus Karunrung”
(pembunuhan terhadap satu keluarga di Kelurahan Karunrung, Makassar) yang
mengingkari keterangannya di depan sidang pengadilan dengan alasan ditekan
secara psikis dan fisik oleh penyidik saat diperiksa. Hakim Ketua meminta
kepada Jaksa Penuntut Umum pada sidang berikutnya menghadirkan penyidik yang memeriksa
saksi (saksi verbalis).
Ternyata,
setelah dikonfrontir di depan sidang pengadilan antara saksi yang mengingkari
keterangannya dengan penyidik (saksi verbalis), hakim yakin bahwa penyidik
tidak melakukan penyiksaan atau tekanan psikis atau fisik terhadap saksi saat
diperiksa, sehingga Hakim Ketua memerintahkan polisi agar menahan saksi dan
memprosesnya karena diduga melanggar Pasal 242 ayat (1) KUHP. Akhirnya, saksi
bersangkutan lebih dahulu dijatuhi pidana penjara satu tahun tiga bulan sebelum
terdakwa pada perkara pokok dijatuhi pidana. (Sumber: www.hukumonline.com)
Demikian jawaban dari kami, semoga
bermanfaat.
Dasar hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915
- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Referensi:
- R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
- http://www.pn-palopo.go.id/index.php/publikasi/artikel/142-mengurai-kebenaran-diantara-kebohongan-yang-berserakan, diakses pada 4 Desember 2013 pukul 15.08 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar