|
Foto ilustrasi: Radar Banjarmasin |
- Pendahuluan
Sudah
sekian lama Indonesia berdiri gagah sebagai suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetapi konflik agama sering
terjadi dan sampai memakan korban melayangnya jiwa manusia. Malangnya, nyawa
yang terbuang sia-sia itu terjadi atas nama agama dan yang menjadi korban
dianggap mati syahid. Kejadian yang lebih ringan adalah peledakan/pembakaran
tempat ibadah, pengucilan sesorang yang menganut agama berbeda di suatu
lingkungan masyarakat, penyediaan tempat atau fasilitas/ layanan untuk yang
beragama tertentu. Barangkali, hanya tempat pelacuran yang, pada akhirnya,
tidak akan menyediakan layanan berbasis agama.
Sekalipun
pada awal persiapan NKRI ini persoalan agama telah muncul dan menjadi
perdebatan yang hangat tetapi sesungguhnya belum pernah diciptakan suatu
defenisi hokum mengenai agama. Dari tingkat SD sampai perguruan tinggi
pelajaran agama diberikan kepada pelajar/ mahasiswa dan merupakan mata
pelajaran/kuliah yang ada dalam setiap jenjang pendidikan. Bahkan banyak
sekolah/perguruan tinggi agama didirikan, tetapi tidak pernah persoalan agama
ini terumuskan dengan baik
Saya
hanya ingin menuliskan betapa perlunya membuat suatu undang-undang tentang
agama yang akan mengatur secara komprehensif mengenai Agama dan kalau memang
diperlukan sistem kepercayaan. Pengaturan soal agama ini dalam undang-undang
sangat perlu untuk memberikan kepastian hukum menyangkut agama dan sistem
keagamaan supaya rakyat dapat bertindak sesuai dengan rambu-rambu yang ada.
Misalnya, dengan memberikan defenisi agama dapat dicari unsur-unsur yang
membangun suatu pengertian mengenai agama. Jika unsur-unsur tidak memenuhi,
maka suatu sistem kepercayaan tertentu tidak dapat disebut sebagai agama.
Dengan merujuk pada defenisi, kita juga dapat menentukan syarat-syarat untuk
disebut sebagai agama dan untuk mendirikan suatu agama. Kreatifitas manusia
tidak terbatas sehingga mungkin ada orang Indonesia yang mampu menciptakan
suatu agama baru, yang pantas dihargai juga, terutama dalam kerangka kebebasan
berekspresi yang diatur dalam UUD 1945. Bagaimanapun juga, agama di Indonesia
adalah agama impor. Pemerintah dapat mendorong warganya untuk menciptakan agama
tertentu sesuai dengan budaya Indonesia.
Silang
pendapat mengenai ajaran agama sering juga terjadi sehingga menimbulkan
lahirnya varian-varian dari suatu agama. Hal ini juga perlu diatur agar
kreatifitas manusia dalam memberikan tafsir tidak terhambat dan disisi lain
juga tidak mengganggu stabilitas. Tidak perlu, misalnya, suatu penyimpangan
dari tafsir atas ajaran yang mapan, menjadikan tafsir yang belakangan menjadi
terbuang atau menjadikan pengikut tafsir yang belakangan menjadi terganggu
kemanusiaannya karena diburu-buru pengikut tafsir yang mapan.
Penyebaran
agama juga perlu menjadi perhatian karena ini merupakan bagian paling hitam
dari perkembangan agama. Saya katakan bagian paling hitam karena penyebaran
agama ini yang menimbulkan banyak goncangan di masyarakat. Misalnya, suatu
komunitas tertentu yang sudah lama menganut agama tertentu tiba-tiba di datangi
oleh penyebar agama dari agama yang lain. Apakah hal seperti ini dapat
dibenarkan? Apakah perlu izin dalam hal penyebaran izin dan apakah penyebar
izin ini harus juga terdaftar? Jika hal ini dirumuskan dengan baik dalam
undang-undang tentu konflik dapat dieliminir sedemikian rupa. Dalam hal terjadi
konflik tentu harus ada penyelesaian sengketanya.
Perlu
juga diatur mengenai tata cara dan akibat-akibat hukum jika terjadi perpindahan
agama. Undang-undang tidak akan lengkap tanpa adanya sanksi pidana. Maka perlu
diatur pelanggaran-pelanggaran apa yang dapat disebut sebagai tindak pidana
agama.
Selama
ini ketentuan mengenai agama belum sepenuhnya diatur dan kalaupun diatur
tersebar dalam berbagai instrumen hukum. Apa yang disampaikan di atas hanya
sekelumit soal mengenai sistem keagamaan di Indonesia yang tidak teratur dengan
baik. Persoalan yang saat ini panas menyangkut pembantaian Jemaah Ahmadiyah merupakan
buah dari keengganan menata kehidupan keberagamaan di Indonesia.
- Permasalahan
Kalau
kita melihat permasalahan yang muncul dari konflik agama ini memang cukup
banyak dan sangat mengiris hati, karena masalah ini bukan saja masalah ajaran
yang baru dibawa, tapi lebih dari pada itu, yaitu kehilangan nyawa yang bukan
satu dua bakan bisa puluhan bahkan ratusan seperti di ambon. Adanya Undang-Undang Penodaan Agama Nomor 1 Tahun 1965 bukan berarti masalah akan
berhaenti atau berkurang, justru masalah kian bertambah dan menjamur,artinya
apakah bangsa ini membutuhkan undang-undang yang jauh lebih mengatur agama?
Selaku
penulis, dalam hal ini sangat tidak sepaham dengan beberapa kalangan yang
menilai bahwa negara tak patut tak ada kaitanya dengan agama, coba sejenak kita
lihat tentang beberapa hal diantaranya kurikulum sekolah dari jenjang SD sampai
kuliah yang dengan tersistem meletakkan pelajaran agama didalamnya, termasuk
undang-undang penodaan agama, juga adanya pengadilan agama, apakah dari hal ini
masih bisa dikatakan bahwa negara jauh dari agama?, hal ini justru
menekankan bahwa negara dengan malu-malu ikut serta akan hadirnya agama
didalamnya, termasuk keberadaan MUI yang sangat dominan dalam hal hukumya.
Bahkan agama Islam yang dianaut lebih dari 85% rakyat Indonesia dapat menjadi
sumber hukum, sekalipun bukan sumber hukum formal namun sebagai sumber hukum
materiil.
Memahami
situasi di Indonesia bukanlah hal mudah, Indonesia memiliki keaneka ragaman
sejarah, budaya, suku, dan agama yang begitu komplek. Problematika msyarakat
bisa diobservasi, tetapi tidak bisa diperlakukan sebagaimana obyek yang mati.
Adakalnya reaksi yang ditimbulkan akibat adanya suatu investigasi tidak mudah
diukur validitasnya, sehingga obeyktifitas dari informasi yang diperoleh secara
pasti, kohesi dan koherensi tidak semudah data kealaman yang dikumpulkan
melalui suatu proses dan metode penelitian tertentu.
Kasus-kasus
yang terjadi beberapa tahun ini seperti, aliran-aliran yang atas nama Islam,
kekerasan atas nama agama, terrorisme, bengunan ibadah, dan segala permasalahan
berkaitan dengan agama membuat Undang-Undang Nomor 1 Tahuan 1965 ini diajukan
judicial review oleh beberapa kalangan ke Mahkamah Konstitusi
Pendapat
MK yang dibacakan dalam persidangan menyatakan bahwa negara Indonesia
berdasarkan Pancasila dan berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan
masyarakat diberikan hak untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah serta
ajaran agamanya masing-masing sesuai dengan kepercayaannya. Negara sesuai
amanat konstitusi juga turut bertanggung jawab meningkatkan ketakwaan dan
akhlaq mulia. Domain agama adalah konsekuensi penerimaan ideologi Pancasila.
Adanya
pendapat oleh salah satu hakim konstitusi bahwa “Dalam negara Pancasila tidak
boleh diadakan kegitan yang menjauhkan nilai religiusitas dan keagamaan. Jadi
negara tidak memberikan peluang untuk menodai agama lain. Kebebasan agama
adalah hak mendasar yang telah disepakati oleh kesepakatan dunia dan dilindungi
oleh negara demi harkat martabat manusia," adalah hal yang sangat penting.
Meskipun
demikian, Arsyad juga menegaskan bahwa negara juga boleh membatasai kebebasan
sesuai dengan UUD dan tunduk kepada pembatasan atas penghormatan hak asasi
orang lain berdasarkan nilai agama dan sesuai dengan bentuk negara demokratis.
Negara memberikan kewajiban dasar atas tegaknya HAM. Secara integral UUD
mengatur setiap elemen negara dan masyarakat untuk menghormati HAM itu sendiri.
Hal itu harus berlaku dan dilaksanakan dan tanpa melukai yang lainnya.
MK
berpendapat bahwa pada hakikatnya ide pengujian konstitusionalitas oleh Pemohon
adalah mencari tafsir kebebasan beragama di Indonesia kepada MK dan bagaimana
bentuk pencegahan atas penodaan terhadap agama. Selain itu, pengujian UU ini
secara substansi dimohonkan ke MK apakah relevan saat dibentuknya UU ini
apabila dikontekskan dengan kondisi sosial masyarakat saat ini.
MK
menilai bahwa UU pencegahan agama masih tetap sah secara formil, MK tak
sependapat kalau UU yang dibuat pada masa demokrasi terpimpin semua tidak sah
dan cacat dalam proses pembentukannya. MK juga tidak sependapat dengan pendapat
UU Penodaan Agama cacat formal dan tidak sesuai dengan UUD 1945. MK memberikan
pandangannya bahwa pasal 1 UU Penodaan Agama ini memberikan kepastian setiap
orang dilarang dengan sengaja menyebarkan dan menganjurkan untuk melakukan
penafsiran terhadap kegiatan yang menyimpang dari pokok agama.
"UU
Penodaan Agama ini tidak membatasi kebebasan beragama dan penafsiran terhadap
agama, UU ini menurut MK adalah untuk membatasi penyimpangan dan penodaan
agama. Jadi yang melakukan dengan sengaja dimuka umum mengajarkan agama yang
menyimpang terhadap pokok ajaran agama dan menganjurkan penodaan itu yang
dilarang. Oleh sebab itu pembatasan ini sesuai dengan UUD diperbolehkan untuk
menjaga ketertiban umum dan menghormati hak asasi orang lain. UU Penodaan Agama
ini diperlukan dan tidak melanggar HAM. UU Penodaan Agama bukan merupakan UU
kebebasan beragama. UU ini mencegah untuk melakukan tindakan anarki. Jadi
ketika timbul permasalahan dapat diselesaikan dengan pendekatan hukum. Ini
merupakan perlindungan preventif karena agama merupkan isu sensitif dalam
masyarakat.
MK
menimbang bahwa terhadap kepentingan masyarakat penganut kepercayaan yang sudah
lama hidup di Indonesia, MK berpendapat, masyarakat penganut kepercayaan adalah
masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini
kepercayaannya sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam Pasal 28E ayat (2)
UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut
kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum
administrasi dan bukan merupakan permasalahan pertentangan norma UU Pencegahan
Penodaan Agama terhadap UUD 1945. Oleh sebab itu dalil para Pemohon tidak
beralasan hukum
Dalam
putusan ini, terdapat concurring opinion (alasan berbeda) dari Hakim
Konstitusi Harjono. Harjono berpendapat hak asasi manusia memang tidak bisa
dibatasi namun dalam memanivestasikan dalam agama dapat dibatasi terutama
menyangkut aspek forum externum dan harus ditetapkan oleh UU dengan menjamin
kebebasan orang lain. Pengujian UU yang diujikan Pemohon setelah perubahan UUD
adalah tentang perlindungan agama yang tidak berdasarkan hanya pada agama
tertentu saja. "Rumusan Pasal 1 apabila ada kekurangan maka bisa dilakukan
revisi oleh lembaga yang berwenang. Namun untuk mencegah kondisi yang tidak
dikehendaki dalam masyarakat UU ini masih tetap konstitusional.
Sementara
itu, dissenting opinion (pendapat berbeda) disampaikan oleh Hakim
Konstitusi Maria Farida, bahwa Penyempurnaan terhadap UU ini harus dilakukan
dengan pandangan dan nilai baru yang sesuai dengan kondisi saat ini.
"Kebebasan beragama di indonesia dilandasi dengan hukum dan negara wajib
menjamin kebebasan beragama. Ada dua aspek yang diperhatikan yakni internum dan
externum. Pasal 1 dan penjelasannya terdapat ketidak-sesuaian karena agama
hanya terbatas enam yang diakui. Selanjutnya, untuk aliran kepercayaan
cenderung diarahkan kepada salah satu agama yang kemudian menyentuh eksistensi
setiap kepercayaan agar diarahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa," tutur Hakim
Konstitusi perempuan pertama ini.
Selain
itu, ketentuan Pasal 2 tidak konsisten antara penyebutan barang siapa yang
dalam bahasa hukum adalah orang dan badan hukum, tapi kemudian terdapat pula
penjelasan hanya menyebut organisasi. Begitu juga rumusan pasal 3 ada perbedaan
alamat subjek hukum yang dituju. Eksistensi UU ini perlu ditinjau kembali
karena sering menimbulkan berbagai permasalahan dalam prakteknya karena hanya
mengakui enam agama saja. Dampak langsung bisa dilihat pada contoh pencatatan
perkawinan, KTP dan pembuatan surat kematian.
Perkara
No.140/PUU-VII/2009 ini dimohonkan tujuh Pemohon badan hukum (organisasi non
pemerintah), yakni Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi
Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),
Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan
Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat
Setara, Yayasan Desantara (Desantara Foundation), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI), dan tiga Pemohon perorangan, yakni, (Alm) K.H. Abdurahman
Wahid, Prof. DR. Musdah Mulia, Prof. M. Dawam Rahardjo, dan KH. Maman Imanul
Haq.
- Teori
Teori
Thomas Aquinas dirasa mampu meredaksikan apa yang terjadi dalam kasus ini, hal
ini berkaitan tidak hanya dengan ilahi saja, tapi kekuatan ilahiyahlah yang
mempunyai kekuatan lebih untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hidup
ini mengejar kebaikan, dan mengihindar dari kejahatan, maka kebaikan yang
tercermin dalam hal ini adalah mempertahankan hidup, cinta, berkeluarga,
mengenal tuhan dan hidup yang bersahabat.
Doktrin
Thomas Aquinas ini melihat konfigurasi tata hukum dimuali dari:
1) Lex aeterna = hukum dan kehendak Tuhan
2) Lex naturalis = prinsip umum (hukum
alam)
3) Lex devina = hukum Tuhan yang dalam
kitab suci
4) Lex humane = hukum buatan manusia
yang sesuai dengan hukum alam.
Tidak
jauh berbeda dengan agustinus, Thomas Aquinas juga mengaitkan hukum dengan
agama, ini tidak perlu diulangi lagi. Hal yang perlu dicatat disini
adalah pemikiran Aquinas tentang keadilan hukum. Melalui teorinya tentang
keadilan hukum betapa pentinganya mutu dari suatu aturan hukum.
- Solusi
Kasus
diatas jelas menarik perhatian banyak kalanagn, dan hal ini membuat adanya
upaya hukum baru agar masalah yang terus menerus dan tak kunjung henti ini
dapat disalesaiakan sekalipun tidak secara menyeluruh dan adil, namun
setidaknya dapat mengurangi permalashan yang ada, dan solusi yang tawarkan dari
beberapa pemerhati melalui tulisan- tu.lisannya yaitu berupa undang undang
perlindungana agama.
Dalam
hal ini saya melakukan penelitian kecil-kecilan dalam arti sekedar berdiskusi
dengan beberapa teman-teman sekeliling yang juga berasal dari non Islam
diantaranya, hal yang menarik dari perbincangan tersebuat adalah, adanya rasa
kekhawatiran atas fenomena agama yang seharusnya damai jusrtu ada rasa saling
curiga satu sama lain, sekalipun tidak dengan gamblang hal ini diperlihatkan,
namun rasa itu tak mungkin diabaikan setelah adanya kasus beberapa tahun
terakhir ini, dan yang justru menarik dalam hal ini aldah islam yang menjadi
tontonan kesalahan itu, dan merekapun mengamini konflik islam yang jusrtu
menjadi sorotan dari kasus teroris, pembantain dibeberapa daerah, juga berbagai
aliran yang dikatan sesat juga islam, artinya dalam hal ini Islam benar-benar
menjadi “ajang” perhatian sekaligus konflik yang berkepanjangan, keinginan
mereka sekalipun tidak terlalu memahami masalah hirarkie ataupun aturan hukum
yang ada, namun ada asas yang diletakkan pada negara agar mampu menyelesaikan
masalah yang tak kunjung selesai, yang malah jusrtu makin sensitif belakangan
ini.
Pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sekarang ini sudah seharusnya membuat
Undang-Undang tentang Perlindungan Agama. Hal tersebut diperlukan mengingat
sampai sekarang ini belum ada ketentuan hukum atau peraturan yang pasti tentang
perlindungan kesucian/ kemurnian suatu agama dari perilaku penistaan/ penodaan
suatu agama oleh sekelompok orang/ organisasi. Dalam KUHAP sudah ada pasal yang
mengatur tentang ketentuan penistaan/ penodaan suatu agama. Tetapi, pasal
tersebut menjadi mandul ketika dihadapkan pada suatu masalah tertentu. Misalnya
pro-kontra keberadaan aliran Ahmadiyah.
Ada
beberapa hal yang patut diperhatikan dalam hal ini:
1) Sekalipun keberadaaan undang-undang
penodaan agama masih bersifat kontroversi dalam penerapannya, namun hal ini
bukan berarti keberadaannya ditiadakan, justru harus adanya undang-undang
penguat atau dapat dikatakan undang-undang pendukung dalam hal ini yaitu
undang-undang perlindungan agama.
2) Fenomena pemikiran yang yang
beraganggapan bahwa negara tak patut ikut serta dalam hal agama, hal ini justru
bertentangan dengan beberapa pokok penting yang dijelaskan diatas, seperti Undang-Undang itu sendiri, MUI, pengadilan, dan adanya Undang-Undang Dasar
1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 yang butuh penjelasan lebih luas, dan mungkin dapat pada
kesempatan lain, seperti bagaiman negara berketuhanan dan kemerdekaan agama itu
seperti apa.
3) Teori apapun yang ada dalam
kehidupan negara, hukum dan sosial tentulah teori itu patutnya mementingkan
kehidupan yang kesejahteraan, tidak menyakiti, adil, tentram, damai, tidak
mengadu domba dan tentunya beretika juga berlogika alam dan ilahiyah.
4) Dari hasil penelitian kecil yang
saya utarakan diatas, dapat disimpulkan bahwa mereka yang dari manapun asal
agamanya menaruh harapan yang besar pada negara agar masalah agama yang
seharusnya semua agama percaya akan damai ini tidak lagi menjadi ancaman satu
sama lain, dan hal ini tentunya menentang juga menangkis beberapa anggapa yang
mengatakan bahwa negara tak perlu ikut campur dalam masalah agama itu jelas
salah besar, karena kalau bukan pada Negara, pada siapa lagi masalah ini dapat
diselesaikan, sekalipun beberapa ormas dan juga LSM masyarakat ada didalamnya,
tapi kita negara hukum yang mana melalui jalan hukumlah suatu masalah dengan
jelas bisa diselesaikan.
Daftar
Pustaka:
Bernand
dkk, teori hukum, Yogyakarta, Genta publishing 2006
Moh
Mahfud MD, Membagun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta:
Rajawali pers, 2010
Prof
Jawahir Tantowi. islam politik dan hukum, Yogyakarta: madyan press
Yogyakarta, 2002