Ada
3 (tiga) jenis sanksi yang berlaku dalam delik penodaan agama, yakni: 1). Sanksi
Administratif, 2). Sanksi Administratif berujung Pidana, dan 3). Sanksi Pidana.
Ketiga jenis sanksi tersebut dapat ditemukan dalam Penetapan Presiden Nomor
1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dan Pasal
156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pada
umumnya analisis atau kajian Delik penodaan agama ini sering kali didekati dari
berbagai aspek, terutama yg paling umum atau sering dibicarakan adalah aspek
hukum, Hak Asasi Manusia dan Konstitusi. Demi kemudahan dalam pembacaan tulisan
ini, maka penulis mencoba menguraikan terlebih dahulu aspek sejarah keberlakuan
Delik tersebut sejak diberlakukan hingga kini, kemudian berlanjut dengan
konstruksi dan analisis hukumnya.
Tinjauan
Sejarah
KUHP
Indonesia yang diadopsi Wetboek van Strafrecht (WvS) dari Belanda tidak
mengenal Tindak Pidana Penodaan Agama. Oleh sebab itu, dilatarbelakangi desakan
Golongan Umat Islam yang pada saat itu kuatir dengan maraknya kelompok-kelompok
keyakinan yang sembarangan menafsirkan ajaran agama, terutama agama Islam
dengan Al-Quran sebagai rujukan utama pedoman hukum dan kehidupan lainnya,
selanjutnya Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS/1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang ditandatangani 27
Januari 1965, akan tetapi baru tanggal 5 Juli 1969
dinyatakan sebagai Undang-Undang melalui Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang
Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden Presiden dan Peraturan Presiden sebagai
Undang- Undang oleh Presiden Soeharto.
Tujuan
diterbitkannya Penpres a quo adalah agar segenap rakyat diseluruh
wilayah Indonesia ini dapat menikmati ketentraman beragama dan jaminan untuk
menunaikan ibadah menurut Agamanya masing-masing. Penetapan Presiden ini
pertama-tama mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan
dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para tokoh
agama dari agama yang bersangkutan. Jadi, dari awal UU ini memang sengaja
dibuat untuk melindungi “kemurnian” ajaran agama yang diakui di Indonesia dan
BerKetuhanan Yang Maha Esa”.
Masalahnya
justu pada permasalahan: menjaga kemurnian. Pertanyaannya adalah tokoh agama
yang memiliki kriteria seperti apa yang kemudian berhak atau otoritatif dapat
mengatakan sebuah ajaran agama itu murni atau tidak? Padahal di Indonesia ini
hampir semua agama sekarang banyak ragam penafsiran tentang bagaimana
menjalankan agama yg murni atau yang tidak menyimpang dari pokok-pokok ajaran
agama itu.
Dalam
rentang waktu 2005-2014, menurut catatan Amnesty International ada 39 kasus
penodaan agama yg melibatkan invidu sebagai terpidana. Lima diantaranya adalah
1). Kasus Tajul Muluk di Sampang, Madura (penodaan ajaran agama Islam), 2).
Andreas Guntur di Klaten Jawa Tengah (Penodaan ajaran agama Islam), 3). Herison
Riwu di Nusa Tenggara Timur (penodaan ajaran agama Katolik), 4). Sebastian Joe
di Ciamis Jawa Barat (penodaan ajaran agama Islam), dan 5). Alexander An di
Sumatera Barat (Atheist).
Oleh
sebab itulah, dari aspek HAM, banyak kelompok-kelompok dan aktivitis HAM yg
kemudian menentang pemberlakuan Delik Penodaan agama ini karena dianggap
bertentangan dengan Konstitusi atau Konsep dan Pasal yang ada di UU Nomor 39
Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan setiap orang berhak meyakini agama dan
kepercayaan yang diyakininya. Sehingga tidak boleh orang dipidana karena
keyakinannya tersebut.
Permasalahan
ini kemudian diuji di Mahkamah Konsitusi, yg kemudian melahirkan Putusan Nomor
140/PUU-VII/2009 jo. Nomor 84/PUU-X/2012 tanggal 19 September 2013
yang intinya Delik Penodaan Agama yang diatur Penpres a quo tetap
berlaku dengan pertimbangan untuk menjaga ketertiban masyarakat dan
perlindungan ajaran agama.
Konstruksi
Hukum Delik Penodaan Agama
Pasal
1 Penpres a quo menyebutkan bahwa: “Setiap orang dilarang dengan
sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan
umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia
atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan
keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari
pokok-pokok ajaran agama itu.” Jika delik tersebut diuraikan, maka ada 2
jenis tindak pidana yang terdiri beberapa unsur yang menyusun konstruksi Pasal
tersebut, yakni:
Unsur
Delik Pertama
- Setiap orang;
- Dilarang;
- Sengaja;
- Di muka umum;
- Melakukan kegiatan: a) menceritakan, b) mengajurkan atau c) mengusahakan dukungan umum;
- Penafsiran tentang sesuatu agama di Indonesia;
- Penafsiran tersebut menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama.
Unsur Delik Kedua
- setiap orang;
- Dilarang;
- Sengaja;
- Di muka umum;
- Melakukan kegiatan: yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari suatu agama;
- Kegiatan tersebut menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama.
Jadi
jelas, dari sudut pembuktian Pidana, unsur yang paling penting dari Pasal 1 ini
adalah kesengajaan dan kemurnian ajaran agama dengan masing-masing perbuatan
berupa Melakukan Kegiatan Penafsiran dan Kegiatan yang menyerupai kegiatan
keagamaan.
Ada
tingkatan sanksi yang dijatuhkan atas pelanggaran Pasal 1 ini, yakni jika
terbukti melanggar maka akan diberikan sanksi administatif berupa peringatan
(Pasal 2 ayat 1 Penpres a quo) dan sanksi Administratif berupa
pembubaran organisasi apabila pelakunya berbentuk organisasi (Pasal 2 ayat 2
Penpres a quo). Apabila setelah diberikan Sanksi Administatif masih
tetap melakukan pelanggaran, maka akan dijatuhkan sanksi pidana penjara
maksimum 5 (lima) tahun (Pasal 3 Penpres a quo).
Selain
jenis Tindak Pidana yang diatur dalam Pasal 1 Penpres a quo, ada juga
jenis tindak pidana penodaan agama yang lain, sebagaimana yang diatur pada
Pasal 4 Penpres a quo.
Pasal
4 Penpres a quo menyebutkan bahwa: “Pada Kitab Undang-undang Hukum
Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal
156a
Dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di
muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
- yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
- dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”
Jika
delik tersebut diuraikan, maka ada 4 jenis tindak pidana yang terdiri beberapa
unsur yang menyusun konstruksi Pasal tersebut, yakni: mengeluarkan perasaan
atau melakukan perbuatan:
Dilihat
dari aspek kesejarahannya, delik tindak pidana antara huruf a dengan b
masing-masing berdiri sendiri sebagai tindak pidana sebagaimana yang dimaksud
Penjelasan Pasal 4 Penpres a quo. Huruf a dikenal dengan tindak pidana
penistaan agama, sedangkan b tindak pidana mengajak orang menjadi atheis atau
tidak beragama.
Coba
diperhatikan unsur-unsur Pasal 156a KUHP tersebut:
Unsur
Delik Pasal 156a huruf a
- Barang siapa;
- Sengaja;
- Di muka umum;
- Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a). permusuhan, b). penyalahgunaan, atau penodaan;
- Kemurnian ajaran agama atau pokok-pokok ajaran agama. Delik Tindak Pidana Pasal 156a huruf b
Unsur Pasal 156a huruf b
- barang siapa;
- Sengaja;
- Di muka umum;
- Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: dengan maksud agar orang tidak menganut agama (atheis).
Jadi
jelas, dari sudut pembuktian Pidana, unsur yang paling penting dari Pasal 156a
KUHP ini juga sama dengan Pasal 1 Penpres a quo yakni unsur kesengajaan dan
kemurnian ajaran agama
Unsur
Kesengajaan
Bagaimana
seseorang bisa dianggap sengaja melakukan suatu perbuatan atau tindakan?
Mengacunya pada Teori Ilmu Hukum dalam menetapkan apakah sebuah perbuatan
disengaja atau tidak, yakni: 1. Teori Perbuatan tersebut diketahui dan
dikehendaki (Teori gabungan), 2. Teori Perbuatan tersebut dikehendaki (willen),
dan. 3. Teori Perbuatan tersebut diketahui (weten). Kalo analisis saya,
memang konstruksi hukum delik Penodaan Agama, menggunakan Teori Gabungan,
sengaja dalam arti willen dan weten, sama dengan delik tindak
pidana lainnya pada umumnya.
Pencarian
untuk memenuhi unsur Kesengajaan ini hendaknya juga memperhatikan Penjelasan
Pasal 156a KUHP Huruf a, yakni tindak pidana yang dimaksudkan disini, ialah
yang semata- mata (pada pokoknya) ditujukan kepada
niat untuk memusuhi atau menghina.
Dengan demikian, maka, uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan
secara obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu
agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau
susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak
pidana menurut pasal ini.
Unsur
Kemurnian Ajaran Agama.
Dalam
konteks MvT, maka yg berhak dan dimintai pendapat adalah tokoh agama.
Pertanyaannya bagaimana jika aparat penegak hukum diperdengarkan banyak
penafsiran yang berbeda mengenai “kemurnian agama”? maka yg terjadi selanjutnya
adalah “kewenangan subyektif aparat yang menentukan dengan segala resiko
hukumnya.
Sehingga
dari sudut pembuktian hukum pidana, Delik penodaan agama ini memang agak sulit
pembuktiannya dan selalu menimbulkan kontroversi dalam penegakan hukumnya jika
melibatkan kasus-kasus perorangan yangg sifatnya insidentil dan tidak masif
serta terencana, maupun yang sifatnya organisatoris.
Dari
uraian jenis delik tindak pidana yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya,
yang paling memungkinkan adalah penggunaan Pasal 156a huruf a KUHP. Dengan kata
lain ucapan- ucapan Ahok yang disampaikan pada 27 September 2016 di
Kepulauan Seribu haruslah memenuhi unsur-unsur Pasal 156a huruf a KUHP jika
ingin disebut sebagai sebuah tindak pidana penodaan atau penistaan agama.
Terlebih
dahulu Penulis ingin menguraikan bagaimana cara bekerja di level penyelidikan
dalam menindaklanjuti sebuah laporan pidana.
Pasal
1 angka 5 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan
bahwa: ”Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari
dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undang-undang ini.” Jadi, langkah pertama Penyelidik adalah
menentukan apakah laporan yang diadukan kepada pihak Polisi mengenai
ucapan-ucapan Ahok tersebut merupakan suatu tindak pidana atau bukan.
Cara
menentukan bagaimana?
- Periksa Pelapor dan meminta barang bukti yang dimiliki pelapor;
- Cari barang bukti pembanding: dalam hal ini video rekaman utuh pernyataan Ahok;
- Periksa orang-orang yang mendengar langsung ucapan tersebut atau ikut kegiatan tersebut untuk memastikan benar adanya kegiatan acara di Kepulauan Seribu dan benar adanya ucapan Ahok sama dengan yang ada di video rekaman;
- Penguraian kalimat dari sudut bahasa atas kalimat yang dilontarkan Ahok dengan 2 kunci pertanyaan: Yang dilakukan Ahok itu apakah memusuhi orang atau memusuhi/menodai Agama? Oleh sebab itu perlu diperiksa ahli tata bahasa Indonesia.
- Jika kemudian, dianggap konstruksi kalimatnya justru memusuhi orang atau kelompok orang, maka penggunaan Pasal 156a KUHP ini tidak memenuhi unsur atau dengan kata lain kasus ditutup karena tidak ditemukan peristiwa pidana pada Pasal 156a KUHP. Akan tetapi jika kesimpulannya Ahok dianggap memusuhi/ menodai Agama, maka perlu dibuktikan unsur kesengajaan dan kemurnian agamanya;
- Untuk membuktikan kesengajaan, maka perlu ditelusuri konteks kegiatan tersebut dan mencari tau apakah ucapan tersebut memang dihendaki dan diketahui Ahok untuk melakukan atau mengeluarkan perasaan untuk permusuhan agama atau penodaan agama;
- Untuk membuktikan unsur pemurnian agama, maka perlu dipanggil tokoh atau pemuka agama Islam, yang dapat berasal dari Majelis Ulama Indonesia, NU, Muhammadiyah, dan lain- lain tergantung kebutuhan Penyelidik. Pihak Terlapor dan Pelapor juga berhak untuk mengajukan ahli masing-masing;
- Minta keterangan Ahli Pidana mengenai materi hukum pidananya;
- Pelajari kasus-kasus yang pernah menggunakan Pasal 156a KUHP;
- Penyelidik mengambil kesimpulan apakah ada peristiwa tindak pidana penistaan agama atau tidak. Jika tidak, maka kasus ditutup. Jika ada maka Ahok dijadikan Tersangka.
Adapun
mengenai kasus-kasus lain yang menggunakan Pasal 156a KUHP hanya sekedar
dijadikan referensi penanganan perkara yang bersifat tidak mengikat.
Sebagaimana dipahami bersama, tipologi setiap kasus berbeda dan Indonesia juga
tidak menganut sistem common law. Di Indonesia, hakimnya punya “ego” untuk
menafsirkan sebuah perkara, karena memang haknya dijamin UU Kekuasaan
Kehakiman.
Catatan
saya adalah mengenai penggunaan Pasal 156a KUHP ini memang termasuk Pasal yang
penggunaannya subyektif dan bisa “memakan” siapa saja yang berbeda dalam
menafsirkan agama yang kebenarannya sudah diakui tokoh agama maupun umatnya,
sehingga kalau ada tafsiran lain maka bisa jadi dianggap menodai tapi jangan
lupa unsur kesengajaan juga salah elemen unsur yang tidak bisa diabaikan.
Apakah
Ahok terbukti melakukan tindak pidana? dari uraian tulisan ini anda bisa
simpulkan sendiri hasilnya.
Sumber: www.negarahukum.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar