Kasus kematian beruntun di komunitas Orang Rimba dinilai sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia oleh negara. Negara tidak hadir pada saat ada kebutuhan warganya atas perlindungan hidup, kesehatan, pendidikan, dan budaya.
“Kebutuhan mereka tidak tertangani dengan semestinya hingga menimbulkan kematian beruntun hingga sekarang,” ujar Maneger Nasution, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Rabu (8/4).
Komnas HAM mencatat ada enam pelanggaran atas hak-hak dasar Orang Rimba yang diakui secara universal. Pertama, pengabaian atas hak untuk hidup dan hak untuk mempertahankan hidup.
Ini terlihat dari pengalihan ratusan ribu hektar lahan, yang turun-temurun dimanfaatkan Orang Rimba sebagai ruang hidup dan sumber pangan mereka, kini menjadi milik perusahaan-perusahaan kebun sawit dan tanaman industri.
Kedua, hak untuk memperoleh kesehatan. Selama ini, negara tidak menjangkau layanan kesehatan bagi warga negara yang hidup di tengah hutan. Layanan terhadap mereka disamakan dengan layanan umum. Akibatnya, Orang Rimba yang sakit cenderung tak terurus.
Ketiga, hak bagi anak-anak. Sebagian besar warga yang sakit dan meninggal dari kalangan anak. “Di sini ada hak anak untuk memperoleh hidup layak tidak diberikan,” ujarnya.
Keempat, hak adat. Belum ada pengakuan dan perlindungan bagi komunitas di tengah hutan tersebut. Satu-satunya hanyalah bentuk pengakuan terhadap Taman Nasional Bukit Duabelas sebagai ruang hidup mereka.
Namun, lebih dari setengah masyarakat komunitas tersebut memiliki ruang jelajah di luar taman nasional. Tidak ada perlindungan atas hutan mereka yang telah beralih fungsi menjadi kebun, permukiman, dan jalan.
Kelima, hak atas tanahnya sendiri. Keenam adalah hak atas lingkungan.
Asisten Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Sukmareni, mengatakan, sejak Januari hingga April 2015, kematian warga selama masamelangun di wilayah Terab, Kabupaten Sarolangun-Batanghari, Jambi, sudah mencapai 14 jiwa. Melangun merupakan tradisi berpindah tempat hidup akibat kematian anggota kelompoknya.
Sejak sebulan terakhir, jumlah pasien Orang Rimba yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Hamba sebanyak 26 orang. Mayoritas pasien mengalami diagnosis demam 17 orang dan bronkopneumonia 15 pasien.
Selebihnya, ada pasien yang menderita anemia, disentri, dan demam. Sebagian besar pasien ini adalah anak-anak berusia di bawah 10 tahun. Selain itu, dari 13 orang yang meninggal selama masa melangun, 8 orang di antaranya anak balita. (Kompas.com/ucanews.com. Foto: walhi.or.id)
“Kebutuhan mereka tidak tertangani dengan semestinya hingga menimbulkan kematian beruntun hingga sekarang,” ujar Maneger Nasution, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Rabu (8/4).
Komnas HAM mencatat ada enam pelanggaran atas hak-hak dasar Orang Rimba yang diakui secara universal. Pertama, pengabaian atas hak untuk hidup dan hak untuk mempertahankan hidup.
Ini terlihat dari pengalihan ratusan ribu hektar lahan, yang turun-temurun dimanfaatkan Orang Rimba sebagai ruang hidup dan sumber pangan mereka, kini menjadi milik perusahaan-perusahaan kebun sawit dan tanaman industri.
Kedua, hak untuk memperoleh kesehatan. Selama ini, negara tidak menjangkau layanan kesehatan bagi warga negara yang hidup di tengah hutan. Layanan terhadap mereka disamakan dengan layanan umum. Akibatnya, Orang Rimba yang sakit cenderung tak terurus.
Ketiga, hak bagi anak-anak. Sebagian besar warga yang sakit dan meninggal dari kalangan anak. “Di sini ada hak anak untuk memperoleh hidup layak tidak diberikan,” ujarnya.
Keempat, hak adat. Belum ada pengakuan dan perlindungan bagi komunitas di tengah hutan tersebut. Satu-satunya hanyalah bentuk pengakuan terhadap Taman Nasional Bukit Duabelas sebagai ruang hidup mereka.
Namun, lebih dari setengah masyarakat komunitas tersebut memiliki ruang jelajah di luar taman nasional. Tidak ada perlindungan atas hutan mereka yang telah beralih fungsi menjadi kebun, permukiman, dan jalan.
Kelima, hak atas tanahnya sendiri. Keenam adalah hak atas lingkungan.
Asisten Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Sukmareni, mengatakan, sejak Januari hingga April 2015, kematian warga selama masamelangun di wilayah Terab, Kabupaten Sarolangun-Batanghari, Jambi, sudah mencapai 14 jiwa. Melangun merupakan tradisi berpindah tempat hidup akibat kematian anggota kelompoknya.
Sejak sebulan terakhir, jumlah pasien Orang Rimba yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Hamba sebanyak 26 orang. Mayoritas pasien mengalami diagnosis demam 17 orang dan bronkopneumonia 15 pasien.
Selebihnya, ada pasien yang menderita anemia, disentri, dan demam. Sebagian besar pasien ini adalah anak-anak berusia di bawah 10 tahun. Selain itu, dari 13 orang yang meninggal selama masa melangun, 8 orang di antaranya anak balita. (Kompas.com/ucanews.com. Foto: walhi.or.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar