Jumat, 07 Agustus 2015

Pluralisme Sistem Hukum Di Indonesia Kebertahanan Hukum Adat Menghadapi Arus Moderenisasi

Palangka Raya, Selasa 01 Juli 2014, Jurusan Hukum Agama Hindu STAHN-TP Palangkaraya menyelenggarakan Seminar Regional yang bertajuk “Pemberdayaan dan Kebertahanan Hukum Adat Menghadapi Arus Moderenisasi” Melalui Seminar Regional ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman peserta terhadap pluralisme sistem hukum di Indonesia.

Seminar Regional ini dilaksanakan bertempat di Ballroom Hotel Aquarius Palngkaraya yang dihadiri oleh 53 orang peserta, yang terdiri dari guru-guru agama Hindu dan para dosen serta mahasiswa STAHN TP Palangka Raya. Menurut ketua panitia seminar Armadiansyah,S.Ag,SH,MH bahwa kegiatan ini sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pemahaman dikalangan akademisi dan praktisi adat terkait pentingnya mempertahankan adat istiadat dan hukum adat melalui para narasumber yang telah memiliki pengalaman. Seminar ini pula diharapkan dapat menjadi salah satu motivasi, internalisasi dalam meningkatkan kepedulian para akademisi dan guru agama Hindu dalam meningkatkan profesionalitasnya.

Seminar regional dibuka secara resmi oleh Ketua STAHN-TP Palangkaraya, Prof. Drs. I Ketut Subagista, D.Phill. Dalam sambutannya Ketua STAHN-TP ini menjelaskan, seminar ini agar dapat dijadikan sebagai momentum dalam meningkatkan pemahaman dan ketaatan hukum terutama terhadap hukum adat, sebab hukum adat merupakan salah satu unsur budaya bangsa yang perlu kita lestarikan. Beliau memberikan apresiasi atas terlaksananya seminar ini. Terlebih narasumber yang dihadirkan adalah orang-orang yang sangat berkompeten dan merupakan pakar hukum adat, sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai landasan pemikiran, mempertajam dan memperluas cakrawala gagasan tentang arti pentingnya mentaati hukum adat sehingga kita hidup tentram dam damai.


Seminar regional menghadirkan para narasumber yaitu, 1). Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti, SH,MS (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar Bali), 2). Dr. Siun Jarias, SH,MH (Sekda Provinsi Kalimantan Tengah sekaligus sebagai Wakil Ketua I DAD Provinsi Kalimantan Tengah). Dalam paparannya Prof.Tjok Astiti, menjelaskan bahwa masalah Hukum Adat sebaiknya jangan dipertentangkan dengan hukum nasional (hukum positif) namun perlu sama-sama diberi ruang di dalam masyarakat. Sebab secara kenyataannya sampai saat ini masyarakat di seluruh pulau nusantara masih menjunjung tinggi hukum adat, dan kenyataannya hukum adat itu tidak akan pernah mati. Menurut Prof. Tjok Astiti, setidaknya terdapat empat peraturan perundang-undangan menjadi dasar hukum yang kuat atas berlakunya hukum adat, yaitu antara lain : 1).UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan bahwa negara mengakui kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah yang berlaku. 2). UU No 5 Tahun 1960 tentang Pertanahan (Undang-undang Pokok Agraria) dalam salah satu pasalnya menyebutkan bahwa UU Pokok Agraria Nasional adalah berdasarkan dan berlandaskan hukum adat. 3) UU No 1 Tahun 1974 (Undang-Undang Perkawinan) dalam salah satu pasalnya menyatakan bahwa setiap perkawinan baru dinyatakan sah apabila dilaksanakan sesuai dengan agama dan kepercayaan masyarakat itu sendiri. 4).UU Kehutanan juga dalam salah satu pasalnya menyatakan bahwa mengakui adanya hutan adat dan hak-hak masyarakat adat untuk memungut hasil hutan.

Sementara Dr. Siun Jarias, SH,MH memberikan pemaparan materi tentang Dinamika Perkembangan Hukum Adat Dayak di Kalimantan Tengah desawa ini. Menurut wakil ketua Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah ini bahwa hukum adat Dayak di Kalimantan Tengah saat ini benar-benar menunjukan peran yang sangat besar. Bahkan Siun Jarias menunjukan beberapa contoh kasus, seperti kasus kerusushan etnis pada tahun 2001 yang banyak menelan korban dari kedua belah pihak, selanjutnya kasus penembakan demo di bundaran besar pada tahun 2001 menyebabkan 4 orang warga mati tertembak oleh aparat kepolisian, kemudian kasus Prof.Tamrin Amala Tamagola telah melakukan penghinaan terhadap martabat suku Dayak. Dimana kasus-kasus tersebut diserahkan kepada lembaga adat untuk diselesaikan secara hukum adat yang berlaku, sehingga semua perkara dapat diselesaikan dengan baik dan hasilnyapun dapat diterima oleh seluruh warga dimasyarakat.

Dinamika juga terjadi dibidang konflik pertanahan yang benuansa adat seperti adanya penyerobotan atas tanah warga oleh pihak investor (perkebunan dan pertambangan) yang memasuki wilayah tanah adat masyarakat hukum adat setempat. Hal tersebut apabila diselesaikan menggunakan hukum positif dengan prinsip kepastian hukum maka masyarakat selalu dikalahkan, karena pendekatan hukum positis adalah berdasarkan bukti tertulis (surat) sementara masyarakat hukum adat tidak mengenal dengan bukti tertulis atau surat. Dari dulu hingga sekarang masih banyak tanah-tanah warga masyarakat yang tidak memiliki surat-surat kepemilikannya namun tanah tersebut dikuasai puluhan tahun bahkan ratusan tahun lamanya. Kata Siun Jarias, oleh karenanya pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Tengah telah memberikan payung hukum kepada masyarakat adat melalui Perda No.16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah dan melelui Pergub No.13 tahun 2009 yang memberi kewenangan kepada Damang kepala adat untuk membuat dan menerbitkan Surat Keterangan Tanah Adat dalam wilayah hukum adatnya. Tetapi kewenangan tersebut diberikan bukan untuk menerbitkan lahan yang masih hutan (hutan produksi) melainkan hanya bagi tanah-tanah warga masyarakat yang telah dikuasai dan dipelihara namun belum memiliki surat. Surat keterangan tanah adat yang dimaksud hanya sebagai bukti kepemilikan awal (sementara) sebagai syarat untuk mengajukan sertivikat tanah. Intinya SKTA sebagai bukti awal tidak melebihi atau mengalahkan sertivikat ucap Siun. (Sumber: http://stahntp.ac.id. Foto ilustrasi: mutiarazuhud.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar