Kamis, 15 September 2016

PR Komjen Budi Gunawan, Tangkal Gerakan Radikalisme

JAKARTA - Komjen Budi Gunawan secara resmi disetujui DPR menjadi kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1983 itu tinggal menunggu pelantikan oleh Presiden Joko Widodo memimpin lembaga intelijen menggantikan Sutiyoso.

Banyak pekerjaan rumah yang dipikul Budi Gunawan sebagai kepala BIN. Salah satu yang terpenting adalah menangkal bahaya laten berupa penyebaran gerakan radikalisme, yang ditengarai menjadi embrio terorisme dan ekstremisme di Tanah Air. Pasalnya, penyebaran radikalisme muncul di lembaga pendidikan tinggi, dilakukan oleh kalangan terdidik, dan menyasar kaum intelektual yakni mahasiswa. Kondisi ini menuntut penangkalan secara dini, terutama oleh aparat intelijen, dengan melibatkan semua pihak, antara lain tokoh agama.

Demikian rangkuman pandangan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti, mantan ketua umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafi’i Maarif, serta dua pakar intelijen Al Chaidar dan Wawan Hari Purwanto, di Jakarta, seperti dilansir beritasatu.com Jumat (9/9/2016).

Menurut Al Chaidar, radikalisme adalah salah satu masalah terpenting bangsa Indonesia yang harus segera diselesaikan. Radikalisme yang berhubungan dengan ideologi terorisme dan separatisme masih tumbuh subur di Indonesia.

“Ideologi terorisme dan separatisme masih sangat tumbuh subur di Indonesia. Dibutuhkan pendekatan kepada tokoh-tokoh radikal dan separatis, yang tentunya juga harus dilakukan kepala BIN yang baru,” kata Al Chaidar.

Mantan anggota Negara Islam Indonesia (NII) itu menambahkan, untuk menangkal dan mengikis radikalisme perlu peran serta semua elemen masyarakat, termasuk tokoh agama, sehingga memberi pemahaman agama secara tepat kepada umat. Terkait hal ini, peran BIN sangat penting untuk mendeteksi potensi ancaman secara dini.

Seorang kepala BIN, melalui aparat intelijen di lapangan, dituntut mampu membaca pola gerakan radikal, teror, dan separatisme yang terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di lingkungan global. Termasuk, tantangan mengubah tradisi lama intelijen ke penggalangan komunikasi interpersonal kepada para pemimpin kelompok-kelompok radikal dan fundamentalis.

“Radikalisme dan terorisme, juga penyebaran narkoba, adalah dua hal fundamental yang menjadi tantangan terberat kepala BIN yang baru Budi Gunawan,” ujar Al Chaidar.

Dia mengingatkan, gerakan radikalisme saat ini sudah mengarah pada pemanfaatan lembaga pendidikan tinggi sebagai tempat penyebaran paham-paham tersebut. Tidak jarang, gerakan tersebut melibatkan kalangan terdidik dan menyasar kalangan intelektual atau mahasiswa.
Senada dengan itu, Wawan Hari Purwanto menjelaskan, salah satu cara efektif yang bisa dilakukan untuk mencegah gerakan radikal, aksi teror, dan separatisme adalah dengan melakukan pendekatan kepada aktor-aktor yang terlibat.

“Supaya dengan pendekatan itu, bisa diketahui isi hatinya. Banyak yang hanya euforia, banyak juga yang hanya yakin tanpa melihat sebab dan akibatnya. Kedekatan ini perlu, baik itu melalui ormas, agen-agen yang ada, kementerian atau lembaga terkait, dan lain sebagainya,” kata Wawan.

Tugas tersebut, lanjutnya, juga menjadi ranah BIN yang segera berada di bawah komando Budi Gunawan. Berhasil tidaknya upaya pendekatan yang dilakukan, sangat bergantung pada upaya BIN mengumpulkan sekecil apapun informasi terkait potensi ancaman tersebut.

“Terlebih sekarang ini juga merupakan era proxy war (perang proksi, perang di mana lawan menggunakan pihak ketiga). Tantangan yang akan dihadapi seorang kepala BIN akan semakin kompleks. Sebab, perang ini bisa menjelma menjadi ancaman di bidang ideologi, politik, ekonomi, kamtibmas, termasuk radikalisme dan terorisme,” jelas Wawan.

Mengkhawatirkan
Potensi radikalisme di Indonesia bisa berkembang ke arah mengkhawatirkan jika benihnya tidak dideteksi dengan baik dan diatasi sejak dini. Hasil survei Wahid Institute yang diumumkan awal bulan lalu menunjukkan, 0,4% warga Indonesia pernah terlibat aksi radikalisme, dan 11 juta warga berpotensi besar melakukan tindakan radikalisme.

Untuk itulah, BIN diharapkan memberikan konsentrasi lebih besar pada upaya mencegah aksi radikalisme di Tanah Air, di samping aksi terorisme dan peredaran narkotika. Paham radikalisme sudah masuk ke kaum terdidik bahkan lembaga pendidikan yang semestinya menjadi kawah candradimuka menghasilkan warga negara yang Pancasilais.

Terkait hal itu, Abdul Mu'ti mengingatkan, BIN menjalankan tugas berat. Sebab, selain persoalan radikalisme, masalah narkoba dan terorisme perlu ditangani secara serius, di samping juga potensi ancaman akibat kerawanan sosial.

Sedangkan, Ahmad Syafi’i Maarif mengatakan, untuk menangkal radikalisme dan terorisme, selain BIN, peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mesti ditingkatkan dengan menjalin koordinasi dengan berbagai kementerian seperti pendidikan, agama, dan sosial.

“Selain BIN, BNPT juga harus berkoordinasi dengan kekuatan sipil masyarakat, seperti NU, Muhammadiyah, gereja, dan organisasi lainnya,” kata Maarif.

Menurutnya, penanggulangan radikalisme yang dilakukan selama ini masih kurang efektif, karena lebih banyak bergerak menangani masalah di hilir. Sedangkan, persoalan di hulu berupa tegaknya keadilan bagi masyarakat luas kurang dapat perhatian. Deteksi dini oleh aparat intelijen juga harus mengarah pada akar persoalan di hulu.

“Sebagian besar pelaku gerakan radikal dan teror berasal dari masyarakat miskin. Maka seharusnya penekanan masalah keadilan menjadi sangat penting,” ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar