Pemuatan prinsip-prinsip hukum (the principle of law) tersebut dalam KUHAP tidak lain untuk menjamin penegakan hukum dan hak asasi manusia yang telah digariskan baik dalam landasan konstitusional (baca: UUD 1945) maupun dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999. Pengaturan perlindungan hak asasi dalam wilayah/ konteks penegakan hukum ditegaskan dalam Pasal 28 D ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum.” Demikian juga secara jelas ditegaskan dalam Pasal 34 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang.”
KUHAP yang mengakomodasi kepentingan hak dan asasi/ privasi setiap orang, berarti dalam tindakan atau upaya paksa terhadap seseorang tidak dibenarkan karena merupakan perlakuan sewenang-wenang. Menurut Yahya Harahap (2002: 3) mengemukakan bahwa setiap upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan, pada hakikatnya merupakan perlakukan yang bersifat:
- Tindakan paksa yang dibenarkan Undang-undang demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka.
- Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan Undang-undang, setiap tindakan paksa yang dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi tersangka.
Tujuan dari praperadilan dapat diketahui dari penjelasan Pasal 80 KUHAP yang menegaskan “bahwa tujuan dari pada praperadilan adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal.” Esensi dari praperadilan, untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang, benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum, bukan merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum.
Tujuan/ maksud dari praperadilan adalah meletakkan hak dan kewajiban yang sama antara yang memeriksa dan yang diperiksa. Menempatkan tersangka bukan sebagai objek yang diperiksa, penerapan asas aqusatoir dalam hukum acara pidana, menjamin perlindungan hukum dan kepentingan asasi. Hukum memberi sarana dan ruang untuk menuntut hak-hak yang dikebiri melalui praperadilan. Secara detil Yahya Harahap (2002: 4) mengemukakan “lembaga peradilan sebagai pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atas penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan Undang-undang.”
Undang-undang telah memberi otoritas (kewenangan) kepada pejabat penyidik untuk melakukan tugas dan wewenangnya. Jika dalam pelaksanan tugas dan kewenangan itu melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum, maka lembaga praperadilan yang akan menilai dari pada tindakan pejabat tersebut apakah di luar atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang telah diberikan kepadanya.
Praperadilan layaknya sebuah institusi yang menguji, menilai, mencari benar/ salah, sah atau tidak tindakan pejabat yang melakukan upaya paksa terhadap tersangka. Kententuan hukum kewenangan praperadilan ditegaskan dalam Pasal 1 butir 10, praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-undang tentang:
- Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan penuntut atau penyidik demi tegaknya hukum dan keadilan.
- Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
- Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian, penyidikan atau penghentian penuntutan.
- Ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”
- Sah tidaknya penangkapan, penahan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (kecuali terhadap penyimpangan perkara untuk kepentingan umum dan Jaksa Agung).
- Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77)
- Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian (Pasal 82 ayat 1 dan ayat 3).
- Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri (Pasal 95 ayat 2).
- Perminataan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri.
- Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa berupa penangkapan dan penahanan.
- Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan penuntutan.
- Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi.
- Memeriksa permintaan rehabilitasi.
- Praperadilan terhadap tindakan penyitaan.
- Ada yang berpendirian, tindakan upaya paksa yang termasuk yurisdiksi praperadilan untuk menguji keabsahannya, hanya terbatas pada tindakan penangkapan dan penahanan yang undue process atau orang yang ditahan atau diatangkap salah orang (eror in persona).
- Sedang tindakan upaya paksa penggeledahan atau penyitaan dianggap berada dalam luar yurisdiksi praperadilan atas alasan, dalam penggeledahan atau penyitaan terkandung intervensi pengadilan berupa:
- Dalam proses biasa, harus lebih dahulu mendapat surat izin dari KPN (Pasal 32 ayat 1 dan Pasal 38 ayat 1 KUHAP).
- Dalam keadaan mendesak, boleh lebih dahulu bertindak, tetapi harus meminta persetujuan KPN (Pasal 34 ayat 1 dan Pasal 38 ayat 2 KUHAP) (Harahap, 2002b: 7)
Namun Yahya Harahap (ibid) memberi komentar atas pendapat tersebut, bahwa memungkinkan terjadinya penyimpangan di luar batas surat izin yang diberikan KPN. Terhadap penggeledahan dan penyitaanpun dapat diajukan ke forum praperadilan, baik yang berkenaan dengan tuntutan ganti kerugian maupun yang berkenaan dengan sah atau tidaknya penyitaan dengan acuan penerapan:
- Dalam hal penggeledahan atau penyitaan tanpa izin atau persetujuan KPN mutlak menjadi yurisdiksi praperadilan untuk memeriksa keabsahannya.
- Dalam hal, penggeledahan atau penyitaan telah mendapat izin atau surat persetujuan dari KPN, tetap dapat diajukan ke forum praperadilan, dengan lingkup kewenangan yang lebih sempit yakni:
- Praperadilan tidak dibenarkan menilai surat izin atau persetujuan yang dikeluarkan oleh KPN tentang hal itu.
- Yang dapat dinilai oleh praperadilan, terbatas pada masalah pelaksanaan surat izin atau surat persetujuan tersebut, dalam arti apakah pelaksanaannya sesuai atau melampaui surat izin atau tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar