Senin, 24 Oktober 2016

KEDUDUKAN ILMU HUKUM

Oleh:
Darius Leka (Magister Hukum Universitas Tama Jagakarsa-Jakarta)
PENDAHULUAN
Mungkin ini hanya sebuah hal yang sepele mengenai singkatan sebuah gelar akademik. Bila kita perhatikan gelar orang yang lulusan pendidikan S2 (strata dua) ilmu hukum maka ada yang unik, yaitu tidak seragamnya gelar mereka. Gelar-gelar itu diantaranya (S.H, M.H), (S.H., M.Hum), (S.H., M.S). Namun ada juga gelar akademiknya (S.H., S.U.) yang merupakan singkatan dari Sarjana Umum. Mengapa demikian? Ini karena ada perbedaan pendapat ilmu hukum ada dalam rumpun ilmu apa? Sarjana hukum yang gelas S2-nya Magister Sains (MS) berarti ilmu hukum dianggap rumpunya ilmu sosial, sementara yang gelar S2-nya Magister Humaniora (M.Hum) maka ilmu hukumnya berada pada rumpun ilmu humaniora.
Pertanyaan ini sangat penting diajukan bagi para penstudi ilmu hukum, namun sepertinya tidak menarik untuk dibahas oleh para pengkaji ilmu hukum karena pertanyaan demikian bisa menjadi biang penolakan bagi sebagian orang yang mengaku saintis untuk kemudian mengeluarkan ilmu hukum dari kerabat sains. Secara umum dinyatakan bahwa objek ilmu (sains) haruslah berupa fakta atau berangkat dari fakta. Sesuatu yang tidak faktual berarti fiktif. Sesuatu yang fiktif tidak layak untuk diperbincangkan dalam diskursus ilmiah.
Ilmu Hukum yang selama ini berparadigma ganda, yakni kubu normatif/ positivistis/ dogmatis dan kubu empiris/ sosiologis/ non-dogmatis dengan landasan ontologis dan epistemologis yang berbeda-beda pada dasarnya kurang menggembirakan dalam kaitannya pembangunan hukum. Untuk itu perlu diakhiri dengan melakukan suatu kesepakatan mengenai landasan ontologis dan epistemologisnya, yakni dengan cara mengkonvergensi dua paradigma tersebut.
Dengan dasar pemikiran bahwa hukum merupakan suatu gejala masyarakat yang mempunyai segi ganda, yakni (1) kaidah/ norma, dan (2) perilaku (yang ajeg/ unik/ khas), maka pengkajian Ilmu Hukum dapat dilakukan baik melalui penelitian hukum normatif mau pun empiris/ sosiologis. Kedua pengkajian hukum tersebut jika dilakukan secara seksama akan saling melengkapi dan menyempurnakan kekurangan yang ada dari masing-masing segi Ilmu Hukum.

PEMBAHASAN
Dunia penelitian hukum sejak lama seolah terpisah dalam dua kubu model penelitian normative dan model penelitian empirik Soerjono Soekanto, (et al, 1985). Kondisi ini ibarat orang bermain bulutangkis di lapangan voli. Meski sama-sama menguunakan jarring (net) dalam permainannya, tetapi tentu saja tidak akan pernah dapat berjalan dengan baik. Voli dan bulutangkis adalah dua permainan yang tidak saja berbeda tetapi juga sekaligus memiliki aturan main sendri-sendiri. Yoan Nursari Simanjuntak, (2004:203). Ketidaktegasan mengenai ontology ilmu hukum dengan sendirinya berdampak pada ketidakjelasan epistemologinya. Sampai saat ini, belum ada kata sepakat mengenai apakah pengetahuan atau teori hukum harus bersumber dari pertimbangan empirik ataukan hanya atas a priori belaka.
Sejak Organisation for Economic Coorperation and Development (OECD) menetapkan ilmu hukum dalam rumpun ilmu sosial (social science) pada Filed of Science and Technology (FOS) 2006. FOS, (26 Feb. 2007:10). Namun FOS sebelumnya yaitu FOS 2003 ilmu sosial hanya meliputi psikologi (psychology), ekonomi (economics), ilmu pendidikan (educational science) dan ilmu sosial lainnya (other social science). Tidak ada llmu hukum didalamnya. Baru pada FOS 2006 ada revisi yang termasuk kategori ilmu sosial yaitu ekonomi berubah menjadi ekonomi dan bisnis (economic anda business) dan ditambahkan sosiologi (sociology), hukum (law), ilmu politik (political science), sosial dan geografi ekonomi (social and economic geography), media dan komunikasi (media and communication) dan ilmu sosial lainnya (other social science).
Secara etimologi menurut Michael J. Murray dan Michael Rea, kata ilmu berasal dari bahasa Latin scientia yang berarti knowledge. James Ladyman, (2002:6). Ilmu atau science is the collective judgment of the professional scholars who aim to explain the workings of the natural world through empirically testable theories. Michael J. Murray & Michael Rea, (2008:194). Ilmu adalah kumpulan putusan-putusan dari para sarjana profesional (professional scholars) yang tujuannya untuk menjelaskan berkerjanya alam dunia atau alam kenyataan melalui teori-teori yang dapat diuji secara empiris.
Melihat ilmu adalah petunjuk-petunjuk tertentu yang berasal dari usaha manusia dan dalam hal tertentu seringkali gagal untuk menyelesaikannya, maka Vinai Kumar membaginya ilmu dalam tiga unsur penting, yaitu:
  1. Bukti dicari dengan eksperimen dan observasi (evidence that is gathering in experiments and observations)
  2. Bukti itu kemudian menuntun teori-teori dan teori itu bergerak dari yang khusus menuju umum (evidence the lead to theories and theories that move from spesific to the general)
  3. Mensyaratkan klasifikasi teori, membantah bukti diperlukan (the requirement that to falsify the theory, contradicting, evidence need to be placed), Vinay Kumar, (2016:18)
Syarat penting suatu ilmu menurut Vinai Kumar adalah bahwa pembuktiannya harus dapat dilakukan dengan kegiatan eksperimen dan observasi. Pembuktian itu tidak boleh ambigu dan dapat diulang serta harus objektif yaitu ketika dilakukan observasi lagi oleh orang lain maka akan menghasilkan kesimpulan yang sama. Pembuktian dalam ilmu tidak boleh berdasarkan dari alam (science does not require that evidence comes from nature).
Menurut Vinai Kumar, ilmu dapat dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu ilmu empiris (empirical science) dan ilmu formal (formal science). Ilmu empiris misalnya biologi, kimia, fisika, dan lain-lain yang disebut juga sebagai ilmu alam (natural science). Ilmu formal misalnya matematika, ilmu komputer dan statistik. Namun demikian, tidak hanya ilmu hukum dogmatik saja yang diragukan sifat keilmuannya. Ilmu ekonomi dan ilmu sejarah pun ada yang menggap bahwa keduanya bukanlah ilmu. “Economic is a discipline, not science”, Barry Ritholtz, 2012:493).
Menurut masalah status keilmuannya, ilmu hukum bukanlah ilmu formal (filsafat dan matematika) melainkan masuk ke dalam rumpun Geisteswissenschaf, Bernard A. Sidharta, (1996:131). Ilmu hukum adalah normatieve maatschapij wetenschap yaitu ilmu normatif tentang kenyataan tingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, sebenarnya penekanan ilmu hukum bukan hanya pada segi normatif aturan itu sebagai produk, melainkan juga pada mengapa bersifat normatif. Dengan kata lain bukan hanya hasil akhir sebagai aturan hukum melainkan juga proses mengapa dan bagaimana ia menjadi suatu aturan hukum. Bukan hanya pada aspek keharusan karena statusnya sebagai hukum melainkan juga apa, bagaimana dan mengapa ia mesti memperoleh status hukum.
Untuk itu suatu aturan hukum tidak hanya menjadi masalah tentang apa yang ditentukan secara formal melainkan juga masalah tentang bagaimana ia menjadi formal. Artinya ia tida mesti diperlakukan sebagai entitas formal yang esoteric dengan sekalian keharusan yuridisnya melainkan sebagai sub unit yang terintegrasi dengan nilai, makna dan tingka laku manusia yang terkonstruksi secara sosial dalam ranah struktur sosial dan intersinjektivitas manusia itu sendiri.
Persoalan hukum bukan hanya sekadar sistim normatif saja seperti diyakini penganut rechtslehre. Juga bukanlah tindakan atau keajegan sosial semata seperti dipahami penstudi sosial. Hukum adalah kedua-duanya. Meski aturan dan sistim hukum itu sendiri dari rumusan-rumusan norma dan aturan namun hukum juga harus dilihat sebagai hasil eksperimen manusia dalam hidup bermasyarakat.
Merujuk apa yang dikemukakan oleh Lawrence Friedman (Lawrence M. Friedman, 1975:11) hukum merupakan sebuah system yang terdiri dari legal substance, legal structure dan legal culture. Pada dasarnya, penelitian hukum meliputi tiga komponen tersebut maka hukum memang berobyekkan aturan/ norma. Ilmu hukum memang normatieve maatschapij wetenschap yaitu ilmu normatif tentang kenyataan tingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat. Hakekat aturan/ norma hukum sebagai obyek studi hukum adalah bahwa norma itu berkenaan dengan realitas manusia yang berhakekat sosial. Ini berarti tidak satu dimensi, tapi multi dimensi.

KESIMPULAN
Ilmu hukum bukan kerabat dari humaniora atau humanities. Humaniora di sini lebih dirujuk ke ilmu-ilmu liberal (septem artes liberals). Dalam hukum, dimensi penalaran sangat penting dan logika adalah tulang punggung dari kemampuan bernalar. Kendati demikian, logika adalah ilmu formal, sementara ilmu hukum adalah ilmu praktis. Ilmu hukum dalam arti yang paling sempit adalah ilmu praktis yang berkarakter normologis. Karakter normologis mengandung sifat preskriptif. Ini jelas bukan area bagi ilmu-ilmu kemanusiaan yang berkarakter deskriptif dan lazimnya bebas-nilai.
Posisi ilmu-ilmu kemanusiaan ada dalam satu laci dengan ilmu-ilmu alam, yaitu sebagai ilmu-ilmu empiris. Ilmu hukum tidak sama dengan sosiologi, psikologis, atau antropologi, yang semuanya adalah ilmu-ilmu empiris yang masuk ke dalam barisan ilmu-ilmu kemanusiaan, kendati diketahui ilmu-ilmu ini sangat meminati kajian tentang hukum, sehingga muncul kajian sosiologi hukum, psikologi hukum, antropologi hukum, dan lain sebagainya.
Mengenai perbedaan aliran pemikiran yang menganggap metode penelitian merekalah yang terbaik, benar, sah, ilmiah, sementara metode yang lain salah, lemah, tidak sah, tidak ilmiah. Hal ini sebenarnya disebabkan oleh beberapa hal yaitu Pertama, karena para ilmuwan kurang memahami landasan filsafat ilmu. Semestinya ilmuwan harus memahami benar landasan filsafat ilmu dari metode yang akan digunakan untuk sadar filsafat, teoritik maupun teknis. Sadar filsafat maksudnya sadar hendak menggunakan pendekatan filsafat ilmu yang mana, sadar teoritik berarti sadar akan teori penelitian yang digunakan, sedangkan sadar teknis berarti mampu memilih teknik penelitian yang tepat. Kedua, arogan dengan keyakinan yang dianut, seolah yang terbenar. Keangkuhan intelktual ini sebenarnya menunjukan bahwa mereka kurang sesuai sebagai ilmuwan karena sikap ilmuwan sejati sebenarnya rendah hati dan selalu bekeinginan untuk melakukan penjelajahan.

DAFTAR PUSTAKA
Aarnio Aulis, “Paradigm In Legal Dogmatics”, dalam Theory of Legal Science, Dordrecht, 1984
Barry Ritholtz, “10 Reasons Why Economics is an Art, Not Science” , www.washingtonpost.com, 9 Agustus 2013
Friedman Lawrence M., “The Legal System, Russel Sage Foundation”, New York, 1975
Kleden Ignas, “Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan”, Cetak 1, LP3ES, Jakarta: 1987
Muhadjir Noeng, “Metodologi Penelitian Kualitatif”, edisi ke-4, Rake Sarasin, Yogyakarta:2002
Mulyana Deddy, “Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya”, Remaja Rosdakarya, Bandung: 2002
Sidharta Bernard A., “Refleksi Tentang Fondasi Dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia”, Desertasi pada Universitas Padjajaran Bandung, 1996
Soekanto Soerjono, et al, Penelitian Hukum Normatif”, Jakarta Rajawali 1985
Suriasumantri Jujun S, “Ilmu dalam Perspekti: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Hukum”, Gramedia, Jakarta 1981
Yoan Nursari Simanjuntak, Dikotomi Penelitian Hukum, Sebuah Catatan Kritis”, Jurnal Yustika Volume 7 Nomor 1 Juli 2004
Wignjosoebroto Soetandoyo, “Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian & Metode Penelitiannya”, Bahan Penataran Metode Penelitia Hukum di UI Jakarta 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar