Oleh: Darius Leka (Magister Hukum Universitas Tama Jagakarsa-Jakarta) |
Mungkin
ini hanya sebuah hal yang sepele mengenai singkatan sebuah gelar akademik. Bila
kita perhatikan gelar orang yang lulusan pendidikan S2 (strata dua) ilmu hukum
maka ada yang unik, yaitu tidak seragamnya gelar mereka. Gelar-gelar itu
diantaranya (S.H, M.H), (S.H., M.Hum), (S.H., M.S). Namun ada juga gelar
akademiknya (S.H., S.U.) yang merupakan singkatan dari Sarjana Umum. Mengapa
demikian? Ini karena ada perbedaan pendapat ilmu hukum ada dalam rumpun ilmu
apa? Sarjana hukum yang gelas S2-nya Magister Sains (MS) berarti ilmu hukum
dianggap rumpunya ilmu sosial, sementara yang gelar S2-nya Magister Humaniora
(M.Hum) maka ilmu hukumnya berada pada rumpun ilmu humaniora.
Pertanyaan
ini sangat penting diajukan bagi para penstudi ilmu hukum, namun sepertinya
tidak menarik untuk dibahas oleh para pengkaji ilmu hukum karena pertanyaan
demikian bisa menjadi biang penolakan bagi sebagian orang yang mengaku saintis
untuk kemudian mengeluarkan ilmu hukum dari kerabat sains. Secara umum
dinyatakan bahwa objek ilmu (sains)
haruslah berupa fakta atau berangkat dari fakta. Sesuatu yang tidak faktual
berarti fiktif. Sesuatu yang fiktif tidak layak untuk diperbincangkan dalam
diskursus ilmiah.
Ilmu
Hukum yang selama ini berparadigma ganda, yakni kubu normatif/ positivistis/ dogmatis
dan kubu empiris/ sosiologis/ non-dogmatis dengan landasan ontologis dan
epistemologis yang berbeda-beda pada dasarnya kurang menggembirakan dalam kaitannya
pembangunan hukum. Untuk itu perlu diakhiri dengan melakukan suatu kesepakatan
mengenai landasan ontologis dan epistemologisnya, yakni dengan cara mengkonvergensi
dua paradigma tersebut.
Dengan
dasar pemikiran bahwa hukum merupakan suatu gejala masyarakat yang mempunyai
segi ganda, yakni (1) kaidah/ norma, dan (2) perilaku (yang ajeg/ unik/ khas),
maka pengkajian Ilmu Hukum dapat dilakukan baik melalui penelitian hukum
normatif mau pun empiris/ sosiologis. Kedua pengkajian hukum tersebut jika
dilakukan secara seksama akan saling melengkapi dan menyempurnakan kekurangan
yang ada dari masing-masing segi Ilmu Hukum.
PEMBAHASAN
Dunia
penelitian hukum sejak lama seolah terpisah dalam dua kubu model penelitian
normative dan model penelitian empirik Soerjono Soekanto, (et al, 1985). Kondisi
ini ibarat orang bermain bulutangkis di lapangan voli. Meski sama-sama menguunakan
jarring (net) dalam permainannya, tetapi tentu saja tidak akan pernah dapat
berjalan dengan baik. Voli dan bulutangkis adalah dua permainan yang tidak saja
berbeda tetapi juga sekaligus memiliki aturan main sendri-sendiri. Yoan Nursari
Simanjuntak, (2004:203). Ketidaktegasan mengenai ontology ilmu hukum dengan
sendirinya berdampak pada ketidakjelasan epistemologinya. Sampai saat ini,
belum ada kata sepakat mengenai apakah pengetahuan atau teori hukum harus
bersumber dari pertimbangan empirik ataukan hanya atas a priori belaka.
Sejak
Organisation for Economic Coorperation
and Development (OECD) menetapkan ilmu hukum dalam rumpun ilmu sosial (social science) pada Filed of Science and Technology (FOS)
2006. FOS, (26 Feb. 2007:10). Namun FOS sebelumnya yaitu FOS 2003 ilmu sosial
hanya meliputi psikologi (psychology),
ekonomi (economics), ilmu pendidikan (educational science) dan ilmu sosial
lainnya (other social science). Tidak
ada llmu hukum didalamnya. Baru pada FOS 2006 ada revisi yang termasuk kategori
ilmu sosial yaitu ekonomi berubah menjadi ekonomi dan bisnis (economic anda business) dan ditambahkan
sosiologi (sociology), hukum (law), ilmu politik (political science), sosial dan geografi ekonomi (social and economic geography), media
dan komunikasi (media and communication)
dan ilmu sosial lainnya (other social
science).
Secara
etimologi menurut Michael J. Murray dan Michael Rea, kata ilmu berasal dari
bahasa Latin scientia yang berarti knowledge. James Ladyman, (2002:6). Ilmu
atau science is the collective judgment
of the professional scholars who aim to explain the workings of the natural
world through empirically testable theories. Michael J. Murray &
Michael Rea, (2008:194). Ilmu adalah kumpulan putusan-putusan dari para sarjana
profesional (professional scholars)
yang tujuannya untuk menjelaskan berkerjanya alam dunia atau alam kenyataan
melalui teori-teori yang dapat diuji secara empiris.
Melihat
ilmu adalah petunjuk-petunjuk tertentu yang berasal dari usaha manusia dan
dalam hal tertentu seringkali gagal untuk menyelesaikannya, maka Vinai Kumar
membaginya ilmu dalam tiga unsur penting, yaitu:
- Bukti dicari dengan eksperimen dan observasi (evidence that is gathering in experiments and observations)
- Bukti itu kemudian menuntun teori-teori dan teori itu bergerak dari yang khusus menuju umum (evidence the lead to theories and theories that move from spesific to the general)
- Mensyaratkan klasifikasi teori, membantah bukti diperlukan (the requirement that to falsify the theory, contradicting, evidence need to be placed), Vinay Kumar, (2016:18)
Syarat
penting suatu ilmu menurut Vinai Kumar adalah bahwa pembuktiannya harus dapat
dilakukan dengan kegiatan eksperimen dan observasi. Pembuktian itu tidak boleh ambigu dan dapat diulang serta harus
objektif yaitu ketika dilakukan observasi lagi oleh orang lain maka akan menghasilkan
kesimpulan yang sama. Pembuktian dalam ilmu tidak boleh berdasarkan dari alam (science does not require that evidence
comes from nature).
Menurut
Vinai Kumar, ilmu dapat dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu ilmu empiris (empirical science) dan ilmu formal (formal science). Ilmu empiris misalnya
biologi, kimia, fisika, dan lain-lain yang disebut juga sebagai ilmu alam (natural science). Ilmu formal misalnya
matematika, ilmu komputer dan statistik. Namun demikian, tidak hanya ilmu hukum
dogmatik saja yang diragukan sifat keilmuannya. Ilmu ekonomi dan ilmu sejarah
pun ada yang menggap bahwa keduanya bukanlah ilmu. “Economic is a discipline, not science”, Barry Ritholtz, 2012:493).
Menurut
masalah status keilmuannya, ilmu hukum bukanlah ilmu formal (filsafat dan
matematika) melainkan masuk ke dalam rumpun Geisteswissenschaf,
Bernard A. Sidharta, (1996:131). Ilmu hukum adalah normatieve maatschapij wetenschap yaitu ilmu normatif tentang kenyataan
tingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, sebenarnya
penekanan ilmu hukum bukan hanya pada segi normatif aturan itu sebagai produk,
melainkan juga pada mengapa bersifat normatif. Dengan kata lain bukan hanya
hasil akhir sebagai aturan hukum melainkan juga proses mengapa dan bagaimana ia
menjadi suatu aturan hukum. Bukan hanya pada aspek keharusan karena statusnya
sebagai hukum melainkan juga apa, bagaimana dan mengapa ia mesti memperoleh status hukum.
Untuk
itu suatu aturan hukum tidak hanya menjadi masalah tentang apa yang ditentukan
secara formal melainkan juga masalah tentang bagaimana ia menjadi formal.
Artinya ia tida mesti diperlakukan sebagai entitas formal yang esoteric dengan sekalian keharusan
yuridisnya melainkan sebagai sub unit yang terintegrasi dengan nilai, makna dan
tingka laku manusia yang terkonstruksi secara sosial dalam ranah struktur
sosial dan intersinjektivitas manusia itu sendiri.
Persoalan
hukum bukan hanya sekadar sistim normatif saja seperti diyakini penganut rechtslehre. Juga bukanlah tindakan atau
keajegan sosial semata seperti dipahami penstudi sosial. Hukum adalah
kedua-duanya. Meski aturan dan sistim hukum itu sendiri dari rumusan-rumusan
norma dan aturan namun hukum juga harus dilihat sebagai hasil eksperimen
manusia dalam hidup bermasyarakat.
Merujuk
apa yang dikemukakan oleh Lawrence Friedman (Lawrence M. Friedman, 1975:11)
hukum merupakan sebuah system yang terdiri dari legal substance, legal structure dan legal culture. Pada dasarnya, penelitian hukum meliputi tiga
komponen tersebut maka hukum memang berobyekkan aturan/ norma. Ilmu hukum
memang normatieve maatschapij wetenschap yaitu
ilmu normatif tentang kenyataan tingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat.
Hakekat aturan/ norma hukum sebagai obyek studi hukum adalah bahwa norma itu
berkenaan dengan realitas manusia yang berhakekat sosial. Ini berarti tidak satu
dimensi, tapi multi dimensi.
KESIMPULAN
Ilmu
hukum bukan kerabat dari humaniora atau humanities. Humaniora di sini lebih dirujuk
ke ilmu-ilmu liberal (septem artes liberals).
Dalam hukum, dimensi penalaran sangat penting dan logika adalah tulang punggung
dari kemampuan bernalar. Kendati demikian, logika adalah ilmu formal, sementara
ilmu hukum adalah ilmu praktis. Ilmu hukum dalam arti yang paling sempit adalah
ilmu praktis yang berkarakter normologis. Karakter normologis mengandung sifat
preskriptif. Ini jelas bukan area bagi ilmu-ilmu kemanusiaan yang berkarakter
deskriptif dan lazimnya bebas-nilai.
Posisi
ilmu-ilmu kemanusiaan ada dalam satu laci dengan ilmu-ilmu alam, yaitu sebagai
ilmu-ilmu empiris. Ilmu hukum tidak sama dengan sosiologi, psikologis, atau
antropologi, yang semuanya adalah ilmu-ilmu empiris yang masuk ke dalam barisan
ilmu-ilmu kemanusiaan, kendati diketahui ilmu-ilmu ini sangat meminati kajian
tentang hukum, sehingga muncul kajian sosiologi hukum, psikologi hukum,
antropologi hukum, dan lain sebagainya.
Mengenai
perbedaan aliran pemikiran yang menganggap metode penelitian merekalah yang terbaik,
benar, sah, ilmiah, sementara metode yang lain salah, lemah, tidak sah, tidak
ilmiah. Hal ini sebenarnya disebabkan oleh beberapa hal yaitu Pertama, karena para ilmuwan kurang
memahami landasan filsafat ilmu. Semestinya ilmuwan harus memahami benar
landasan filsafat ilmu dari metode yang akan digunakan untuk sadar filsafat,
teoritik maupun teknis. Sadar filsafat maksudnya sadar hendak menggunakan
pendekatan filsafat ilmu yang mana, sadar teoritik berarti sadar akan teori
penelitian yang digunakan, sedangkan sadar teknis berarti mampu memilih teknik
penelitian yang tepat. Kedua, arogan dengan
keyakinan yang dianut, seolah yang terbenar. Keangkuhan intelktual ini
sebenarnya menunjukan bahwa mereka kurang sesuai sebagai ilmuwan karena sikap
ilmuwan sejati sebenarnya rendah hati dan selalu bekeinginan untuk melakukan
penjelajahan.
DAFTAR
PUSTAKA
Aarnio Aulis, “Paradigm In Legal Dogmatics”, dalam
Theory of Legal Science, Dordrecht, 1984
Barry Ritholtz, “10 Reasons Why Economics is an Art, Not
Science” , www.washingtonpost.com, 9 Agustus 2013
Friedman Lawrence M., “The Legal System, Russel Sage
Foundation”, New York, 1975
Kleden Ignas, “Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan”,
Cetak 1, LP3ES, Jakarta: 1987
Muhadjir Noeng, “Metodologi Penelitian Kualitatif”,
edisi ke-4, Rake Sarasin, Yogyakarta:2002
Mulyana Deddy, “Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma
Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya”, Remaja Rosdakarya, Bandung: 2002
Sidharta Bernard A., “Refleksi Tentang Fondasi Dan Sifat Keilmuan
Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia”, Desertasi pada Universitas Padjajaran
Bandung, 1996
Soekanto Soerjono, et al, “Penelitian Hukum Normatif”,
Jakarta Rajawali 1985
Suriasumantri Jujun S,
“Ilmu dalam Perspekti: Sebuah Kumpulan
Karangan tentang Hakekat Hukum”, Gramedia, Jakarta 1981
Yoan Nursari Simanjuntak, “Dikotomi Penelitian Hukum,
Sebuah Catatan Kritis”, Jurnal Yustika Volume 7 Nomor 1 Juli 2004
Wignjosoebroto Soetandoyo, “Keragaman Dalam Konsep Hukum,
Tipe Kajian & Metode Penelitiannya”, Bahan Penataran Metode
Penelitia Hukum di UI Jakarta 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar