SAMARINDA - Bulir-bulir hujan sebesar biji jagung menyerbu lahan makam di Desa Putaq, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Air pun menggenangi tanah, membuatnya lengket ketika diinjak. Namun, semua orang tak peduli. Petang itu, mereka tetap berkumpul. Beberapa terlihat sudah kuyup dengan baju basah dan mengelilingi sepetak lubang berisi peti kayu, yang dipayungi selembar terpal biru.
"Mama..aku cantik kan?" ujar Diana dengan mata yang tak hentinya menitikkan air mata. "Sebelum ke gereja, anakku sempat menari kecil di depanku dan sambil berkata, 'Mama aku cantik kan?”
Air
mata pun luruh tak tertahan di mata perempuan berusia 32 tahun tersebut. Sore
itu, di bawah payung awan hitam dan hujan yang meruah. Diana menyaksikan
terakhir kalinya tubuh putrinya yang baru berusia 2,5 tahun.
Hari
itu - tepatnya Selasa, 15 November 2016 - Intan Olivia Marbun, gadis kecil nan
jelita putri dari pasangan Anggiat Banjarnahom dan Diana Susan Sinaga,
dimakamkan.
Di
atas tanah basah dan bulir hujan itu Intan Olivia meringkuk membawa perihnya.
Api yang membakar hampir seluruh tubuhnya serta asap yang membuat paru-parunya
bengkak dan telah membuatnya menderita sejak dua hari lalu kini tiada lagi
dirasakannya. "Cukup anak saya yang terakhir," ujar Anggiat dengan
tegar.
Hari
itu juga kesedihan bukan cuma milik Diana dan Anggiat. Semua orang turut
berduka mendengar cerita tragis kematian Intan Olivia. Ucapan duka untuk
kepergian Intan di jejaring sosial begitu masif. Termasuk juga beragam aksi
simpatik seperti membakar 1.000 lilin ikut bermunculan di sejumlah wilayah
Indonesia.
Bagi
publik, apa yang dialami Intan, Anita Kristobel Sihotang (2 tahun), Alvaro
Aurelius Tristan Sinaga (4) dan Triniti Hutahaean (3) di Minggu pagi, 13
November 2016, akibat bom yang meledak di Gereja Oikumene memang pantas
dianggap sebuah kebiadaban.
Empat
anak-anak tak berdosa itu terpaksa menderita dan Intan pergi mendahului mereka.
Ia lebih dahulu meninggalkan semuanya.
"Tidak
ada kata yang dapat menggambarkan betapa dalam rasa duka cita saya atas
meninggalnya Intan. Itu (aksi teror) sudah di luar batas kemanusiaan. Karena
ini anak-anak kita," kata Presiden Joko Widodo di Jakarta bertepatan
dengan hari pemakaman Intan di Desa Putaq Kabupaten Kutai Kertanegara.
Ujian
Berat
Kepergian
Intan yang begitu cepat, dengan cara yang keji, adalah tragedi terkini bagi
bangsa Indonesia. Tragedi ini muncul saat negeri ini kembali menghadapi ujian
sebagai bangsa yang selama ini menjunjung tinggi kerukunan di tengah
keberagaman suku, agama, ras, dan golongan.
Lebih
dari dua pekan sebelum kematian Intan, diakui, bibit konflik beraroma sentimen
SARA memang sedang mengemuka di Indonesia.
Salah
satu pemicunya adalah ucapan pedas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama
atau Ahok - yang menyitir ayat suci Alquran saat berdialog dengan warganya pada
akhir September lalu dan tersebar luas di jejaring sosial. Sejak itu,
ketegangan meluas.
Opini
bahwa ada gubernur nonmuslim yang melakukan pelecehan Islam pun menjadi hal
yang menghangat. Gelombang demonstrasi pun muncul dengan pertama kali digelar
oleh Front Pembela Islam (FPI) pada Jumat, 14 Oktober 2016 di Jakarta. Alhasil,
isu soal sentimen agama mulai merambat perlahan dan menjadi gunjingan publik
dimana pun.
Hingga
kemudian di awal November. Tepatnya pada 1 November 2016. Tanpa diduga sebuah
bom rakitan meledak di Kabupaten Bantul di Yogyakarta. Tak diketahui apakah ini
ada kaitannya atau tidak dengan sentimen agama yang menguat.
Namun,
bom yang membuat seekor kerbau jantan muda mati dengan tubuh dipenuhi paku
berkarat itu, seolah menjadi terompet penanda, bahwa mereka yang bermain di
balik teror mulai bersuara.
Itu
ditunjukkan dengan munculnya teror bom di Lhokseumawe Aceh, Minggu, 6 November
2016 atau dua hari usai ribuan anggota ormas Islam menduduki Jakarta untuk
menuntut kasus penodaan agama yang dilakukan Ahok di Jakarta.
Di
ujung barat Indonesia itu sebuah Vihara Buddha Tirta dilaporkan telah ditaruh
benda diduga bom oleh dua orang tak dikenal. Meski akhirnya tak terbukti. Namun
faktanya bingkisan hitam itu memang dibuat seperti bom yakni terdiri dari batu
bata lalu dibalut dengan kabel. Sehingga wajar siapa pun yang melihat itu akan
menyimpulkan itu adalah bom.
Lalu
tiga hari berjalan, teror mulai merambat ke Surabaya Jawa Timur. Sebuah sekolah
Kristen yang terletak di Pakuwon City ikut mendapatkan ancaman bom. Ratusan
murid pun terpaksa dievakuasi guna dilakukan penyisiran bom.
Tidak
ada bom ditemukan. Namun teror terlanjur menyebar ke seluruh siswa. Sekolah
mereka seolah tidak aman dan bukan tidak mungkin akan diledakkan sewaktu-waktu.
Teror
berikutnya pun pecah di Gereja Oikumene Samarinda Kalimantan Timur pada Minggu
13 November 2016 atau hanya berselang empat hari dari teror bom di Sekolah
Kristen Surabaya.
Seorang
pria yang belakangan diketahui bernama Juhanda mantan terpidana bom buku pada
tahun 2011 di Tangerang, nekat melemparkan bom yang dirakitnya sendiri selama
tiga hari di Masjid Al Mujahiddin yang hanya berjarak 200 meter dari Gereja
Oikumene.
Ledakan
itu mematikan. Empat anak kecil yang bermain di depan gereja menanti para orang
tuanya keluar beribadah menjadi korban. Salah satunya adalah Intan Olivia (2,5
tahun) yang akhirnya tewas meregang nyawa dengan luka bakar 80 persen dan
paru-paru bengkak akibat menghirup asap sisa ledakan.
Pelaku
pun berhasil ditangkap hidup-hidup. Tapi, rupanya sekali lagi itu seolah
memancing teror berikutnya. Hal itulah yang kemudian menimpa Kota Singkawang
Kalimantan Barat.
Tepat
pada Senin, 14 November 2016. Kota yang memang didominasi oleh warga etnis
China dan beragama Budha di Kota Singkawang ikut dikejutkan dengan pelemparan
bom jenis molotov. Tak ada korban jiwa dan kerusakan harta benda akibat
kejadian itu. Namun teror itu kembali membuat semua yang di Singkawang mulai
khawatir.
Lalu
usaikah semua itu? Ternyata tidak. Masih di hari yang sama, di Kota Batu Malang
Jawa Timur, sebuah gereja Katolik pun tak luput ikut diteror. Umat kristiani
yang tengah beribadah dibuat panik.
Mereka
pun dievakuasi dan gereja itu terpaksa digeledah kepolisian guna menelusur
kemungkinan bom yang disebutkan ada di dalam tempat ibadah umat nonmuslim
tersebut. Tapi beruntung, kabar itu cuma isu. Namun sekali lagi, teror telah
kembali terlanjur menebar.
Peringatan
untuk Indonesia
Disadari
atau tidak, enam teror bom yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia dalam
kurun waktu dua pekan itu telah membuat semua orang khawatir dan sedikit
tersadar. Apalagi, dari enam teror itu, lima diantaranya disasarkan kepada umat
nonmuslim.
Sehingga
mahfum kemudian, kesan isu sentimen antaragama dan antikeberagaman di berbagai
wilayah semakin menjadi-jadi. "Kerukunan kita terkoyak," ujar seorang
tokoh Katolik Romo Benny Susetyo, Jumat, 18 November 2016.
Menurut
aktivis pendiri Setara Institute itu, di Indonesia sejatinya memang sudah lama
muncul benih yang menolak konsep demokrasi dan keberagaman. Hanya saja itu
bersifat laten dan cenderung menumpuk di bawah permukaan. "Ini yang tidak
dibenarkan," kata Benny.
Pendiri
Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SeJuK), Andi Budiman juga mengatakan saat
ini di khalayak Indonesia memang tengah menguat pola konservatisme keagamaan,
yakni kelompok fanatik yang tidak toleran pada perbedaan baik itu agama maupun
suku.
Kondisi
itulah yang kemudian makin memperkokoh Indonesia dalam sebutan negara tidak
toleran, lantaran terjebak pengaruh kelompok yang kerap mengujarkan kebencian.
"Ini warning buat kita, bahwa ada masalah (keberagaman) yang harus kita
selesaikan di Indonesia," kata Andi.
"Kita
sedang dalam situasi krisis kebhinekaan. Orang hari ini lebih susah melihat
perbedaan. Yang beda dianggap saingan, musuh dan boleh menjadi sasaran,"
timpal Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Imdadun Rakhmat.
Diakui,
sistem orde baru yang bercokol selama puluhan tahun di Indonesia memang telah
melahirkan praktik pembatasan akses terhadap kelompok tertentu. Dan tentu saja,
praktik itu hingga kini masih bertahan di kelompok tertentu.
Pekan
lalu, usai gelombang demo terkait dugaan penodaan agama dan munculnya sejumlah
teror beraroma antikeagamaan. Presiden Joko Widodo sepertinya mulai melihat isu
keberagaman dan kebhinekaan di Indonesia sedang bermasalah.
Karena
itu, secara simultan Jokowi melakukan pertemuan dengan sejumlah pihak terkait
untuk menunjukkan pentingnya keberagaman di Indonesia sekaligus juga membuka
mata publik bahwa saat ini sikap toleransi orang Indonesia memang sedang
bergejolak.
"Selama
ini kebhinekaan itu tidak menjadi masalah. Tapi setelah melihat situasi
sekarang ini. Presiden memberikan warning (ke sejumlah elemen)," kata
tokoh Katolik Indonesia Romo Benny.
Direktur
eksekutif Maarif Institute, Muhammad Abdullah Darraz, mengapresiasi langkah
Jokowi tersebut. Hanya saja ia beranggapan bahwa langkah itu terkesan
terlambat. Sebab, kasus intoleransi di Indonesia sudah marak dan meluas bahkan
memakan korban. "Mestinya Jokowi melakukan itu jauh-jauh hari,"
katanya.
Menurut
Yenni Wahid, langkah Jokowi merangkul sejumlah elemen itu memang layak
diapresiasi. Namun demikian, tetap perlu langkah serius yang lebih sistematis.
Misalnya dengan membuat kurikulum yang mengedepankan rasa kebersamaan.
Tak
cuma itu, pemerintah juga mesti mengedepankan prinsip keadilan sehingga bisa
mencegah praktik penekanan dari kelompok mayoritas. Sebab kata Yenni, kondisi
itu kini banyak terjadi di daerah. "Nah ini yang bisa mengakibatkan
konflik (keberagaman) jadinya," kata putri Presiden Abdurrahman Wahid
tersebut.
Menjaga
Kebhinekaan
Ya,
Kebhinekaan dan keberagaman memang telah menjadi nilai luhur Indonesia. Lewat
itu, ia menjadikan Indonesia utuh meski terdiri dari berbagai suku dan agama.
"Indonesia telah menjadi inspirasi bagi banyak bangsa lain di dunia (soal
keberagaman)," kata Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Yenny Wahid.
Karena
itu, kata Yenni, sangat penting untuk menjaga keberagaman dan kebhinekaan.
Toleransi antar umat pun wajib menjadi dasar semua orang agar mau menjunjung
hal itu. "Nah, kalau kebhinekaan itu sendiri kita tidak bisa pertahankan,
apalagi yang bisa menjadi inspirasi bagi warga dunia ke depan?" kata
Yenni.
Diakui,
saat ini semua elemen masyarakat memang mempercayai bahwa kebhinekaan Indonesia
adalah hal yang mendasari kehidupan di Indonesia. Setidaknya nilai itu sudah
menjadi dasar seluruh agama di Indonesia.
"Bagi
kami wajib untuk menjaganya. Bukan hanya keberagaman manusia tapi juga ciptaan
tuhan yang lain," kata Jayang Rana Auna Wijaya, Ketua Dewan Kerohanian
Majelis Tinggi Agama Kong Hucu Indonesia.
Sama
halnya dengan yang dipegang hingga kini oleh umat Hindu. Bagi kelompok ini
tidak ada yang lebih penting dari sebuah keharmonisan. Keberagaman dan
kebhinekaan adalah unsur penting sebuah kehidupan.
"Hidup
itu dinamis. Hidup itu dinamika. Ada pasang surutnya. Maka kehidupan ini kita
jaga dengan keharmonisan," kata Ketua Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia
(PHDI) Wisnu Bawa Tenaya.
Pendapat
serupa juga disampaikan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dadang Kahmad. Pria
asli Jawa Barat ini bahkan menegaskan secara prinsip di Indonesia seluruh agama
dan kepercayaan apa pun sesungguhnya telah menjaga keberagaman itu.
Hal
itu, kata Dadang, telah dibuktikan dengan utuhnya Indonesia sejak berpuluh
tahun lalu. Meski memiliki ratusan aliran dan kepercayaan, tidak ada geseken
yang memang benar-benar dipicu karena masalah keagamaan.
"Agama
sudah tidak masuk (masalah keberagaman). Tapi lebih ke personal. Keberagaman di
Indonesia pecah oleh politik dan kepentingan. (Jadi) Kalau soal agama, di
Indonesia itu sudah selesai," kata Dadang.
Atas
itu, ia menekankan agar keberagaman itu dirawat. Sebab itu telah menjadi dasar
berdirinya Indonesia sejak lampau. Tanpa itu, maka bukan tidak mungkin akan
membuat kehancuran.
"Kita
harus mau menerima apapun, karena Indonesia itu kan negeri yang berdasarkan
perjanjian atau kesepakatan. Jadi apapun saat ini yang terjadi itu bagian dari
kesepakatan bersama yang dijalin sejak jaman dulu," katanya.
Mari
Berbuat
Lantas,
bagaimana praktik menjaga keberagaman ini dilakukan? Secara prinsip seluruh
elemen, suku dan agama apa pun di Indonesia ternyata sudah memainkan peran itu.
Maarif
Institute misalnya, lembaga ini mengaku selalu konsen dengan program memelihara
kebhinekaan. Merak kerap mengajak tokoh lintas agama, budayawan dan intelektual
untuk menyerukan menjaga Indonesia. Tak cuma itu, lembaga ini juga kerap
menjalankan program advokasi ke sekolah-sekolah terkait kebhinekaan.
Begitu
juga yang diperbuat oleh organisasi Islam terbesar Indonesia Muhammadiyah.
Selain kerap terlibat aktif dalam kebencanaan apa pun. Ormas ini juga membangun
sejumlah sekolah yang bisa menampung seluruh umat beragama.
"Di
Kupang kita ada IKIP Muhammadiayh. Di Sorong, Sangir Talaud, di tempat-tempat
yang mayoritasnya buakn beragam Islam kita bangun sekolahan," kata Ketua
PP Muhammadiyah Dadang Kahmad.
lalu,
Lembaga SeJuK. Sebagai lembaga yang bergerang di bidang jurnalistik. Mereka
rupanya juga memiliki cara tersendiri merawat keberagaman. Bentuknya berupa
workshop, diskusi, seminar dan pelatihan kepda para jurnalis yang
menitikberatkan pada isu toleransi.
Kemudian
Konferensi Wali Gereja Indonesia. Lembaga ini juga telah ikut berbuat merawat
keberagaman dan kebhinekaan. "Pancasila itu menjadi sebuah habitus kita,
salah satu yang dibatinkan," kata Romo Benny.
Bentuk
praktiknya pun bahkan dicerminkan dengan program Rosario Merah Putih yang
intinya menanamkan kecintaan pada bangsa dan negara. "Setiap tahun ada
rosario merah putih," katanya.
Wahid
Institute pun tak ketinggalan. Lembaga yang telah berdiri sejak tahun 2004 ini
bahkan telah menelurkan sejumlah program seperti Gus Dur School For Peace yang
mengajarkan anak-anak muda menjaga perdamaian. Lalu ada juga Koperasi Cinta
Damai Wahid yang menopang pemberdayaan masyarakat dari sisi ekonomi.
"Kami
juga mempunyai program pelatihan online untuk anak muda, buat menciptakan
konten-konten di sosial media yang bisa menyebarkan pesan toleransi,
perdamaian, dan itu juga bisa mencegah tumbuhnya hatespeech atau
ekspresi-ekspresi kebencian," kata Yenni Wahid.
Begitu
pun halnya dengan yang dilakukan oleh Walubi. Wadah kebersamaan organisasi umat
Buddha ini mengaku kerap menggelar sejumlah kegiatan bakti sosial dengan
sasaran siapa pun dan dari agama apa pun.
"Terbesar
di hari Waisak. Semua Vihara menyelenggarakan (Baksos). Kami juga punya klinik
gratis, tidak lihat suku, apa pun. Yang penting orang butuh pertolongan,"
kata Koordinator Majelis Agama Walubi Ruvli Tan.
Ya,
semua orang kini tersadarkan untuk menyuarakan merawat keberagaman. Dan hal ini
jugalah yang kini dibuktikan dengan aksi gotong royong di Gereja Oikumene
Samrinda Kalimantan Timur.
Gereja
yang menjadi saksi kematian Intan Olivia Marbun (2,5 tahun) akibat terkena
lemparan bom mematikan itu, kini menjadi tonggak hidupnya keberagaman di daerah
itu.
Tepat
pada Jumat, 18 November 2016, sekelompok orang dari berbagai agama dan lembaga
ikut membersihkan Gereja Oikumene. Sisa ledakan, bercak darah dan seluruh hal
yang ada di gereja itu dibersihkan.
"Mudah-mudahan
sudah bisa digunakan lagi oleh umat kristen disini untuk beribadah pada Minggu
nanti," ujar Haji Mathfud, warga setempat yang ikut membersihkan Gereja
Oikuemene pada Jumat, 18 November 2016.
Dan
bersamaan dengan itu, sekelompok orang yang mayoritasnya beragama muslim itu
juga menggelar kebersihan di Masjid Al Mujahiddin yang hanya berjarak 200 meter
dari Gereja Oikumene. Masjid yang dibangun tahun 1994 itulah yang menjadi rumah
tinggalnya bagi Juhanda, sang pelempar bom.
Dengan
sigap mereka membersihkan semuanya. "Terima kasih telah menunjukkan belas
kasihan. Jauh lebih baik dari sekadar mengutuk," tulis akun facebook
bernama Greg Tanari yang mengunggah foto gotong royong pembersihan Gereja
Oikumene.
Lantas,
siapkah kita merawat keberagaman? Siap atau tidak, keberagaman sudah menjadi
ruh Indonesia. Menolak menjaga ini maka akan membuat Indonesia terpuruk.
"Keberagaman harus kita pelihara kita hargai, jangan kita rusak oleh
beberapa pendapat yang dapat menciderai keberagaman. Kalau tidak (ingin) bangsa
ini bisa menggali kuburnya sendiri," ujar Buya Syafii Maarif.
(Selengkapnya baca di www.viva.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar