Masalah keadilan
masih menjadi perdebatan dan perbincangan di tengah-tengah masyarakat golongan
menengah atas sampai menengah ke bawah. Sejak dahulu sampai saat ini di semua
negara memiliki kebijakan aturan yang menghendaki tercapainya suatu prinsip
keadilan bagi masyarakat. Namun prinsip yang dicapai tersebut belum mencapai
titik temu dalam pengertian bahwa konsep keadilan yang diterapkan oleh suatu
negara hanya berlaku bagi negara yang membuat kebijakan itu sendiri bahkan
cinderung menyimpang dengan prinsip-prinsip keadilan yang sebenarnya. Jika
penyimpangan keadilan dibiarkan maka akan ada peluang terjadinya praktek
ketidakadilan di suatu masyarakat.
Tidak berkelebihan
jika problematika yang paling fundamental mengenai persoalan ketidakadilan
masih saja terjadi dan menjadi perdebatan. Ketidakadilan yang terjadi adalah kaitannya
dengan berbagai aspek di antaranya dalam bidang hukum, etika, politik, dan sosial,
dan lain sebagainya. Seandainya sistem keadilan sudah tertata rapih dan terjadinya
pemerataan keadilan maka penulis optimis tidak akan terjadi aksi protes yang
disertai kekerasan maupun perilaku diskriminatif yang cenderung akan merugikan
semua pihak.
Aristoteles, seorang
filosof yang pertama kali yang merumuskan arti keadilan mengatakan bahwa
keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, fiat jutitia bereat mundus.[1]
Selanjutnya dia membagi keadilan dibagi menjadi dua bentuk yaitu: Pertama,
keadilan distributif, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat
undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi
anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional. Kedua,
keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara
distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal.
John Stuart Mill
berpendapat bahwa eksistensi keadilan merupakan aturan moral. Moral adalah
bicara mengenai baik dan buruk. Aturan moral itu harus difokuskan untuk
kesejahteraan manusia. Sementara itu yang menjadi esensi atau hakikat keadilan
adalah merupakan hak yang diberikan kepada individu untuk melaksanakannya.
Berbeda dengan Notonegoro, dia melihat sering kali institusi, khususnya
institusi pemerintah selalu melindungi kelompok ekonomi kuat, sedangkan
masyarakat sendiri tidak pernah dibelahnya.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Teori Keadilan
Teori yang mengkaji
dan menganalisis tentang keadilan dari sejak Aristoteles sampai saat ini
disebut dengan teori keadilan. Teori keadilan yang dalam bahasa Inggris disebut
dengan theory of justice, sedangkan
dalam bahasa Belandanya disebut dengan theorie
van rechtvaardigheid terdiri dari dua kata yaitu:
1. Teori
2. Keadilan
Kata keadilan berasal
dari kata adil. Dalam bahasa Inggris disebut “justice”, bahasa Belanda disebut dengan “rechtvarding”. Adil diartikan dapat diterima secara objektif.[2]
Keadilan dimaknakan sifat (perbuatan, perlakuan) yang adil.[3]
Ada tiga pengertian adil yaitu:
1. Tidak
berat sebelah atau tidak memihak
2. Berpihak
pada kebenaran
3. Sepatutnya
atau tidak sewenang-wenang
Pengertian tentang
keadilan dikemukakan oleh John Stuart Mill dan Notonegoro. John Stuart Mill
menyajikan pendapatnya tentang pengertian keadilan adalah:
“Nama bagi
kelas-kelas aturan moral tertentu yang menyoroti kesejahteraan manusia, lebih
dekat daripada dan karenanya menjadi kewajiban yang lebih absolute-aturan
penuntun hidup apa pun yang lain. Keadilan juga merupakan konsepsi dimana kita
menemukan salah satu esensinya, yaitu hak yang diberikan kepada
individu-mengimplikasikan dan memberikan kesaksian mengenai kewajiban yang
lebih mengikat”.[4]
Ada dua hal yang
menjadi fokus keadilan yang dikemukakan oleh John Stuart Mill yang meliputi:
1. Eksistensi
keadilan dan
2. Esensi
keadilan
Menurut John Stuart
Mill bahwa eksistensi keadilan merupakan aturan moral. Moral adalah bicara
mengenai baik dan buruk. Aturan moral itu harus difokuskan untuk kesejahteraan
manusia. Sementara itu yang menjadi esensi atau hakikat keadilan adalah
merupakan hak yang diberikan kepada individu untuk melaksanakannya. Notonegoro juga
menyajikan tentang teori konsep keadilan. Keadilan adalah:
“Kemampuan untuk
memberikan diri sendiri dan orang lain apa yang semestinya, apa yang telah
menjadi haknya. Hubungan antara manusia yang terlibat di dalam penyelenggaraan
keadilan terbentuk dalam pola yang disebut hubungan keadilan segitiga, yang
meliputi keadilan distributif (distributive justice), keadilan bertaat atau
legal (legal justice) dan keadilan komutatif (commutative justice)”.[5]
Defenisi di atas
hanya menganalisa pengertian keadilan, tidak menyajikan tentang konsep teori
keadilan (a theory of justice). Untuk
itu perlu disajikan pengertian teori keadilan. Teori keadilan merupakan:
“Teori yang mengkaji
dan menganalisis tentang ketidakberpihakan kebenaran atau
ketidaksewenang-wenangan dari institusi atau individu terhadap masyarakat atau
individu yang lainnya”.
Fokus teori ini pada
keadilan yang terjadi dalam masyarakat, bangsa dan negara. Keadalian yang
hakiki adalah keadilan yang terdapat dalam masyarakat. Dalam realitasnya yang
banyak mendapatkan ketidakadilan adalah kelompok masyarakat itu sendiri. Sering
kali institusi, khususnya institusi pemerintah selalu melindungi kelompok
ekonomi kuat, sedangkan masyarakat sendiri tidak pernah dibelahnya.
B. Jenis-Jenis Keadilan
Aristoteles membagi
keadilan menjadi dua macam, yaitu:
1. Keadilan
dalam arti umum
2. Keadilan
dalam arti khusus[6]
Keadilan dalam arti
umum adalah keadilan yang berlaku bagi semua orang. Tidak membeda-bedakan
antara orang yang satu dengan yang lainnya. Justice
for all. Keadilan dalam arti khusus merupakan keadilan yang berlaku hanya
ditujukan pada orang tertentu saja (khusus). Aristoteles mengemukakan dua
konsep keadilan yaitu menurut:
1. Hukum
2. Kesetaraan
Istilah tidak adil
dipakai, baik bagi orang yang melanggar hukum maupun orang yang menerima lebih
dari haknya, yaitu orang yang berlaku tidak jujur. Orang yang taat pada hukum
dan yang jujur keduanya pasti adil. Sehingga orang yang adil berarti mereka
yang benar menurut hukum dan mereka yang berlaku seimbang atau jujur. Yang
tidak adil berarti mereka yang melanggar hukum atau mereka yang berlaku tidak
seimbang atau tidak jujur. Yang benar menurut hukum memiliki makna yang luas
dan kesetaraan memiliki makna yang sempit. Disamping itu, Aristoteles juga
membagi keadilan menjadi dua macam, yaitu:
1. Keadilan
distributif
2. Keadilan
korektif[7]
Keadilan distributif
dijalankan dalam distribusi kehormatan, kemakmuran dan aset-aset lain yang
dapat dibagi dari komunitas yang bisa dialokasikan diantara para anggotanya
secara merata atau tidak merata oleh legislator. Prinsip keadilan distributif
adalah kesetaraan yang proposional (seimbang). Keadilan korektif merupakan
keadilan yang menyediakan prinsip korektif dalam transaksi privat. Keadilan
korektif dijalankan oleh hakim dalam menyelesaikan perselisihan dan memberikan
hukuman terhadap para pelaku kejahatan.
Josef Pieper membagi
keadilan menjadi empat macam yang meliputi:
1. Iustitia
commutative;
2. Iustatia
distributive;
3. Iustatia
legalis atau generalis;
4. Iustatia
protectiva (ciong)[8]
Iustatia
commutativa yang mengatur perhubungan seseorang demi
seseorang. Iustatia distributiva yang
mengatur perhubungan masyarakat dengan manusia seseorang. Iustatia legalis atau generalis,
yang mengatur hubungan perseorangan dengan keseluruhan masyarakat. Isutatia protectiva (ciong) yaitu
keadilan yang memberikan kepada masing-masing pangayoman (perlindungan) kepada
manusia pribadi.
Pembagian keadilan
yang disajikan oleh Josef Pieper merupakan pengembangan dari pandangan yang
dikemukakan oleh Aristoteles. Namun Josef Pieper hanya menambahkan satu jenis
keadilan yaitu iustitia protectiva
(ciong).
St. Thomas Aquinas
membagi keadilan, khususnya keadilan ekonomi ke dalam tiga jenis yang meliputi:
1. Commutative
justice
2. Distributive
justice
3. Social
justice[9]
Commutative
justice adalah berkaitan dengan beroperasinya ekonomi pasar
yaitu penghormatan terhadap kontrak dan hak milik pribadi. Individu mempunyai
kepentingan yang alamiah, asal tidak melukai orang lain. Distributive justice adalah penting untuk berfungsinya ekonomi. Hal
ini berkenan dengan pertanyaan bagaimana membagikan keuntungan kegiatan
ekonomi. Bagaimana membagi “kue ekonomi” adalah penting untuk alasan kegiatan
ekonomi. Social justice berkenan
dengan kebutuhan ekonomi untuk mempunyai structures
dan institutions, jika hubungan
ekonomi tidak baik akan berakibat kurangnya produktivitas.
KESIMPULAN
Uraian dalam tulisan
ini adalah sedikit khasanah pemikiran keadilan yang berkembang sepanjang
sejarah peradaban manusia, sesuai dengan semangat zamannya, situasi politik,
dan pandangan hidup yang berkembang. Untuk mempelajari keadilan memang sebuah
aktivitas yang tidak ringan, apalagi mencoba merumuskannya sesuai dengan
semangat zaman saat ini.
Masalah keadilan
bukanlah masalah yang baru dibicarakan para ahli, namun pembicaraan tentang
keadilan telah dimulai sejak Aristoteles sampai dengan saat ini. Perbincangan
tentang keadilan rasanya merupakan suatu kewajiban, mengingat salah satu tujuan
hukum adalah keadilan dan ini merupakan salah satu tujuan hukum yang paling
banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah hukum.
Namun kesulitan
tersebut bukan berarti bahwa studi-studi tentang keadilan harus dikesampingkan.
Untuk kalangan hukum, studi keadilan merupakan hal yang utama, sebab keadilan
adalah salah satu tujuan hukum, bahkan ada yang menyatakan sebagai tujuan
utamanya.
Mempelajari hukum
tanpa mempelajari keadilan sama dengan mempelajari tubuh tanpa nyawa. Hal ini
berarti menerima perkembangan hukum sebagai fenomena fisik tanpa melihat desain
rohnya. Akibatnya bisa dilihat bahwa studi hukum kemudian tidak berbeda dengan
studi ilmu pasti rancang bangun yang kering dengan sentuhan keadilan.
Aristoteles, seorang
filosof yang pertama kali yang merumuskan arti keadilan mengatakan bahwa
keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, fiat jutitia bereat mundus.
DAFTAR
PUSTAKA
Algra, dkk., Mula Hukum (Jakarta: Binacipta, 1983)
--------- Algra, N.E., dkk, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae
Belanda-Indonesia (Jakarta: Binacipta 1983)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1989)
H. Salim H.S dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis
dan Desertasi, Buku Kedua (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014)
Kelsen Hans, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara (Bandung: Nusa Media, 2006)
-------- Kelsen Hans, Dasar-Dasar Hukum Normatif (Bandung: Nusa Media, 2008)
Notonegoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer (Jakarta: Pancoran Tujuh Bina
Aksara, 1971)
Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan (Salatiga: BPK Gunung Mulia, 1975)
Rato, Dominikus, Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum, (Surabaya:
LaksBang Justitia, 2011)
Rajagukguk, Erman, Filsafat Hukum Ekonomi (Jakarta: Bahan Kuliah, telegrafic transfer (Tt)
[1]
Rato, Dominikus, Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum,
(Surabaya: LaksBang Justitia, 2011) hlm. 64
[2]
Algra,dkk, Mula Hukum (Jakarta: Binacipta, 1983), hlm. 7
[3]
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta
Balai Pustaka, 1989), hlm. 6-7
[4]
Karen Lebacqz, Six Theories of Justice (Teori-teori Keadilan), penerjemah Yudi
Santoso, (Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 23
[5]
Notonegoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, (Jakarta, Pancoran Tujuh Bina
Aksara, 1971), hlm. 98
[6]
Hans Kelsen, Dasar-Dasar Hukum Normatif, (Bandung: Nusa Media, 2008), hlm. 146
[7]
Ibid, Hlm. 146-148
[8]
Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan (Salatiga, BPK Gunung Mulia,
1975), Hlm. 29
[9]
Erman Rajagukguk, FIlsafat Hukum Ekonomi, (Jakarta: Bahan Kuliah, Tr), Hlm. 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar