KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat bimbingannya kami mampu
menyususn makalah Sosiologi Hukum. dengan judul: “HUKUM DAN POLITIK DALAM
PENYELESAIAN KONFLIK”. Makalah yang kami susun ini merupakan kutipan dari
beberapa sumber buku ataupun di internet yang kami rangkum menjadi sebuah
bentuk tulisan yang sistematis, semoga pembaca dapat memahami bahwa perlunya
kita mengetahui permasalahan mengapa terus terjadi konflik di masyarakat yang
terkait dengan masalah hukum dan politik yang dari tahun ke tahun menjadi
sorotan di berbagai media masa.
Akhir
kata kami berharap makalah ini menjadi inspirasi baru untuk karya-karya
selanjutnya dan dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkan informasi
tentang masalah hukum dan politik dalam penyelesaian konflik. Mohon maaf apabila
dalam makalah ini terdapat kekurangan-kekurangan, kami siap untuk menerima kritik
atau pun saran dari pembaca.
Jakarta, 19 November 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................................
1
DAFTAR ISI
…………………………………………............................................. 2
BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang ........................................................................................
3
B. Perumusan
masalah ...............................................................................
7
BAB II.
PEMBAHASAN
A. Pentingnya
stabilitas politik guna menciptakan kepastian Hukum .......... 8
B. Pendekatan
sosiologi hukum dapat mewujudkan kepastian hukum
dan
penegakkan hukum di Indonesia ...................................................
17
BAB III.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
...........................................................................................
29
B. Saran
.....................................................................................................
30
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam
kehidupan ini kita tidak bisa dilepaskan dengan keterikatan hukum dan politik.
Bahkan dalam sistem pemerintahan hal tersebut telah menjadi dasar. Dapat
dikatakan bahwa struktur hukum dapat berkembang dalam segala konfigurasi
politik.[1]
Kerapkali hukum itu tidak ditegakkan seperti sebagaimana mestinya karena adanya
intervensi politik.
Oleh
sebab itu saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia
tanpa adanya keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang
terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan
hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan hati nurani. Dunia hukum
di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan
masyarakat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Hukum di Indonesia yang
bisa kita lihat saat ini bisa dikatakan sebagai hukum yang carut marut. Mengapa?
Karena dengan adanya pemberitaan mengenai masalah penegakan hukum di media
cetak maupun media elektronik kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hukum di
Indonesia carut marut.
Sebenarnya
permasalahan hukum di Indonesia terkait dengan konflik di masyarakat dari sudut
pandang sosiologi hukum dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya yaitu
sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum,
intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum. Sosiologi hukum juga membahas
pengaruh timbal balik antara perubahan hukum dan masyarakat. Perubahan hukum
dapat mempengaruhi masyarakat dapat menyebabkan terjadinya perubahan hukum. Hal
ini merupakan objek yang menyentuh dari aspek sosiologi hukum, atau aspek
sosial masyarakat oleh karena tak ada keragu-raguan lagi bahwa suatu sistem
hukum merupakan pencerminan dari sistem sosial dimana sistem hukum tadi
merupakan bagiannya.[2]
Akan tetapi persoalannya tidak semudah itu, karena perlu diteliti dalam
keadaan-keadaan apa dan dengan cara-cara yang bagaimana sistem sosial
mempengaruhi suatu sistem hukum sebagai subsistemnya, dan sampai sejauh manakah
proses pengaruh mempengaruhi tadi bersifat timbal balik. Sosiologi hukum
merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris
menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala
sosial lainnya.
Menurut
Helbert Blumer, interaksi dengan simbol, isyarat dan juga bahasa menunjukkan
kepada sifat kekhasannya adalah bahwa manusia saling menterjemahkan dan saling
mendefinisikan tindakannya. Bukan hanya sekedar reaksi belaka dari tindakan
seseorang terhadap orang lain tetapi didasarkan pada “makna” yang diberikan
terhadap tindakan orang lain itu. Teori interaksi simbolik melihat pentingnya
interaksi sosial sebagai sebuah sarana ataupun penyebab ekspresi tingkah laku
manusia.[3]
Interkasi
sosial tidak saja mempunyai korelasi dengan norma-norma, akan tetapi juga
dengan status, dalam arti bahwa status memberikan bentuk atau pola interaksi.
Status merekomendasikan perbedaan martabat, yang merupakan pengakuan
interpersonal yang selalu meliputi paling sedikit satu individu yaitu siapa
yang menuntut dan individu lainnya yaitu siapa yag menghormati tuntutan itu.[4]
Charles
Sampford dengan jeli dan lugas melancarkan kritik terhadap teori- teori hukum
yang dibangun berdasarkan konsep sistem (sistemik atau keteraturan). Bagi dia,
hukum itu tidak selalu didasarkan pada teori sistem (mengenai) hukum, karena
pada dasarnya hubungan-hubungan yang terjadi dalam masyarakat menunjukkan
adanya hubungan yang tidak simetris (asymmetries).
Inilah ciri khas dari sekalian hubungan sosial, yang dipersepsikan secara
berbeda oleh para pihak. Dengan demikian apa yang dipermukaan tampak sebagai
tertib, teratur, jelas dan pasti, sebenarnya di dalamnya penuh dengan
ketidakpastian.
Menurut
Prof. Zainuddin Ali, M.A, hukum adalah pelembagaan aturan.[5]
Ketika masyarakat menyadari bahwa kekuasaan setiap individu perlu di kontrol
oleh hukum maka hak dan kewajiban tidak ditentukan oleh yang berkuasa,
melainkan oleh yang diakui bersama sebagai suatu kebenaran. Adapun politik adalah
permainan kekuasaan. Dalam masyarakat yang tidak berhukum (hukum rimba),
melarat dan berbudaya rendah pun, politik tetap ada. Di dalamnya terdapat
segala cara untuk meningkatkan kekuasaan individu atau kelompok. Menurut Prof.
Subekti SH, politik juga bisa di artikan segala daya upaya yang dilakukan
secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan
mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai
dengan hak-hak asasi yang ada.
Hubungan
hukum dan politik pada prinsipnya telah diatur dalam sistem pemerintahan negara
sebagaimana yang telah dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945 diantaranya
menyatakan prinsip “Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan pemerintah berdasar atas
sistem konstitusi (hukum dasar)”.
Kajian
tentang politik di Indonesia berhubungan erat dengan kebijakan di bidang hukum,
seperti sekeping mata uang yang sulit untuk dipisahkan satu dengan yang
lainnya. Dalam kenyataan bahwa hukum merupakan produk politik, yang diciptakan
untuk mengatur tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hukum
berkaitan pula dengan manusia, yang memenuhi tugasnya di dunia untuk
menciptakan aturan hidup bersama yang baik, yakni secara rasional dan moral
berpedoman kepada hak-hak azazi manusia. Sebagai produk politik hukum
diciptakan oleh negara dan dianggap sah apabila dikukuhkan oleh negara.
Friedrich
Karl von Savigny[6]
atau yang dikenal dengan nama Von Savigny berpendapat kekuasaan untuk membentuk
hukum terletak pada rakyat yang terdiri dari kompleksitas individu dan
perkumpulan. Pembuat undang-undang harus mendapat bahannya dari rakyat dan ahli
hukum dengan mempertimbangkan perasaan hukum dan perasaan keadilan masyarakat.
Hal ini di pertegas pernyataan dari John Austin yang menyatakan hukum merupakan
perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.
Mengenai
politik dan hukum dalam suatu negara sebenarnya ada di tangan pemerintah,
sebagai pihak yang berwenang menjalankan roda kenegaraan berhak untuk mengeluarkan
produk hukum yang sesuai dengan corak politik yang berlaku di suatu masyarakat
negara, dengan tujuan untuk menciptakan suatu aturan yang mengarah kepada
keadilan dan kesejahteraan. Namun kemauan politik pada tingkat nasional akan
kurang berarti apabila tidak diteruskan sampai ke lapisan kehidupan yang lebih
rendah. Bahkan tidak berlebihan kiranya, apabila dikatakan indikator untuk
keberhasilan pelaksanaan kemauan tersebut sebaiknya dilihat pada tempat-tempat
yang jauh dari pusat kekuasaan atau pemerintah. Bukan hanya di kota-kota besar seperti
Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Makasar atau Semarang, melainkan harus
menjangkau sampai ke pelosok desa yang terpencil di seluruh tanah air.
Prof.
Dr. Franz Magnis Suseno, SJ mengatakan bahwa sifat manusia sebagai makhluk
sosial berdimensi politik, dengan kata lain manusia adalah makhluk yang
mengenal kepentingan bersama.[7]
Dalam kerangka demikian, maka hukum merupakan lembaga penata kehidupan bersama
yang normatif, sedangkan negara dipandang sebagai lembaga penata kehidupan yang
efektif. Dari pernyataan ini dapat dilihat bahwa negara selaku lembaga politik
harus secara dinamis melakukan pengaturan terhadap manusia yang ada di dalam
negara supaya tidak terjadi konflik atau pertentangan satu dengan yang lainnya.
Apabila negara tidak mampu secara dinamis melakukan hal tersebut maka tidak
tertutup kemungkinan akan terjadi pertentangan dan pertikaian yang sulit untuk
diatasi. Oleh karena itu ketentuan hukum yang ditetapkan harus bernuansa
memperjuangkan rakyat dan harus ditegakkan tanpa ada diskriminasi atau
perbedaan.
Untuk
menjawab persoalan-persoalan itu, diperlukan kesediaan setiap orang untuk mau
melihat dunia hukum bukan sebagai keadaan yang serba tertib dan teratur,
melainkan sebagai realitas yang serba kacau. Dari sinilah teori kekacauan (chaos theory) sebagai bagian dari
sosiologi hukum sangat diperlukan. Keterbatasan dan kegagalan dogmatik hukum
dalam menjelaskan berbagai fenomena dan realistis sosial itu, tidak boleh
dibiarkan karena masyarakat akan terus menuntut adanya penjelasan dan
penyesuaian yang memuaskan dan benar terhadap persoalan-persoalan tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
uraian diatas dapat dirumuskan beberapa masalah:
1. Apakah
stabilitas politik dapat menciptakan kepastian hukum?
2. Apakah
pendekatan sosiologi hukum dapat menciptakan kepastian dan
penegakkan
hukum di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pentingnya
stabilitas politik guna menciptakan kepastian Hukum
Fungsi
hukum adalah memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak-hak
manusia, dan mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. Ketiga tujuan ini tidak
saling bertentangan, tetapi merupakan pengisian satu konsep dasar, yakni bahwa
manusia harus hidup dalam suatu masyarakat, dan masyarakat itu harus diatur
dengan baik. Apabila pembicaraan sudah sampai kepada tata hukum, maka
ketertiban merupakan tujuan dari tata hukum itu. Hal ini tidak mengherankan,
karena yang menjadi taruhan pada saat itu adalah bagaimana mempertahankan
kelangsungan hidup masyarakat. Dengan demikian, ketertiban harus dipertahankan
dengan mengesampingkan tuntutan-tuntutan dan pertimbangan-pertimbangan lain.
Selanjutnya
dapat direnungkan bahwa tiap-tiap manusia menginginkan ketentraman di tengah
pergolakan-pergolakan hidup.[8]
Karenanya orang-orang selalu berusaha untuk mengamankan dirinya terhadap bahaya
yang mungkin timbul. Salah satu upaya ke arah itu adalah mengatur kehidupan
bersama sedemikian rupa sehingga tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.
Untuk itu hukum yang ditentukan oleh pemerintah, harus mempunyai kepastian
berlaku (legalitas). Kepastian hukum
merupakan hal yang penting karena berpengaruh kepada perkembangan pembangunan.
Bagi mereka yang ingin berinvestasi tentunya menginginkan kepastian hukum,
ketertiban, serta keadilan dalam masyarakat. Kondisi tersebut akan dapat
menjamin kelangsungan serta keamanan dunia usaha dan pembangunan.
Sebagaimana
yang dikemukakan di atas, bahwa melalui hukum manusia hendak mencapai
ketertiban umum dan keadilan. Namun harus disadari, bahwa ketertiban umum dan
keadilan yang hendak dicapai melalui hukum itu harus dapat dicapai dan
dipertahankan secara dinamis melalui penyelenggaraan hukum dalam suatu proses
sosial yang diterima oleh masyarakat. Dari segi sosiologis sering dikatakan
oleh para ahli sosiologi hukum, bahwa proses pembuatan undang-undang,
pelaksanaan undang-undang, maupun peranan-peranan yang tersangkut di dalamnya
sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial budaya.
Di
Indonesia terlihat bahwa kekuatan politik sangat mempengaruhi pembentukan dan
penegakan hukum, sehingga para pengamat hukum dan masyarakat berpendapat bahwa
perkembangan struktur sosial di Indonesia tidak sesuai dengan hukumnya.[9]
Memang bisa dibayangkan bahwa akal yang bekerja berdasarkan kehendak bebas,
dapat sampai kepada aneka keputusan yang berbeda atau bersilangan. Untuk itu
perlu adanya patokan perilaku yang sedemikian rupa, sehingga dapat dibedakan
mana perilaku yang dapat diterima oleh umum dan mana yang tidak. Oleh karena
itu pemerintah selaku penyelenggara negara secara politis harus dapat
memberikan patokan atau batasan terhadap produk hukum yang dikeluarkan,
sehingga tidak terjadi salah tafsir antara berbagai pihak dan kalangan, demi
terciptanya kepastian hukum.[10]
Perubahan
hukum muncul dari proses politik dan tidak dari tindakan kebijaksanaan oleh
lembaga-lembaga hukum untuk memenuhi tuntutan para pejuang politik. Dalam hal
ini pemisahan antara hukum dan politik harus jelas, dan pelanggaran hukum harus
ditindak dengan tegas tanpa adanya perbedaan.
Kepastian
hukum harus mempunyai bobot yang formal dan materil. Kinerja yang formal
dihasilkan oleh konsistensi dalam penerapan cara dan prosedur yang relatif sama
terhadap suatu perilaku yang menyimpang dari norma hukum. John Rawls memberi
nilai yang tinggi kepada kinerja formal dari hukum, sehingga hukum dapat
memberi jaminan bagi keadilan yang substansial. Namun saat ini terlihat bahwa
hukum memberikan desain institusional bagi tindakan otoritas politik negara.
Pembentukan dan realitas kerja hukum sangat dipengaruhi oleh sifat serta
karakter negara, dan terikat erat pada hubungan-hubungan kekuasaan politik
serta proses perubahan tatanan sosial.
Dari
kenyataan tersebut dapat dilihat bahwa stabilitas politik sangat perlu dijaga
agar jangan sampai terjadinya kekacauan dan ketegangan politik, sehingga dapat
menciptakan keresahan dalam masyarakat. Secara teoritis, stabilitas politik
banyak ditentukan oleh tiga variabel yang berkaitan satu sama lain, yakni
perkembangan ekonomi yang memadai, perkembangan perlembagaan baik struktur
maupun proses politik, dan partisipasi politik. Adapun yang penting menurut
tinjauan kebijakan strategis, ialah sejauh mana lembaga perumus kebijakan dan
penyusun peraturan hukum, secara konsisten tetap mengacu kepada sistem nilai
yang filosofis supaya setiap garis kebijakan dan aturan hukum yang tercipta,
dinilai akomodatif dan responsif terhadap aspirasi masyarakat, secara adil
dengan perhatian yang merata. Kearifan politis dengan pendekatan kultural
merupakan tuntutan konstitusional seluruh rakyat Indonesia yang struktur
sosialnya penuh keanekaragaman, pluralis dan heterogen, beragam-ragam sub
etnik, agama, adat istiadat dan unsur-unsur kulturalnya.
Apabila
stabilitas politik dan perhatian terhadap kultur masyarakat dapat dijaga, maka
hukum senantiasa dapat ditegakkan secara pasti sesuai dengan prosedurnya,
tetapi apabila sebaliknya maka yang terjadi menurut Prof. Dr. Alo Liliweri, M.S
akan membentuk perasaan yang tidak beres yang melanda hubungan antara satu
bagian dengan bagian lain, satu orang dengan orang lain, satu kelompok dengan
kelompok lain yang berujung pada terjadinya konflik.[11]
Prof.
Dr. Faturochman, M.A menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa
melatarbelakangi terjadinya konflik terjadi disebuah tempat. Enam hal tersebut
antara lain yakni:[12]
1. Kepentingan
yang sama diantara beberapa pihak
2. Perebutan
sumber daya
3. Sumber
daya yang terbatas
4. Kategori
atau identitas yang berbeda
5. Prasangka
atau diskriminasi
6. Ketidakjelasan
aturan (ketidakadilan).
Konflik
yang terjadi dapat dikatakan karena kepentingan beberapa oknum atau pihak yang
memang bertujuan untuk mengambil untung dari konflik tersebut. Biasanya dalam
konflik yang sering dihembuskan adalah hal-hal yang berbau suku, agama, ras dan
antargolongan (SARA) karena sangat mudah untuk di adu domba.
Salah
satu sumber utama konflik dan kekerasan di berbagai daerah adalah kondisi
penegak hukum di Indonesia yang sangat lemah. Ditambah lagi dengan berbagai
bentuk diskriminasi dan marginalisasi dalam pengaturan sosial-ekonomi, politik
dan pemanfaatan sumber daya alam bahkan kehidupan budaya. Berbagai perasaan
ketidakadilan dan ketidakpuasan umum pun berkecamuk dan meledak menjadi tragedi
kemanusiaan yang sangat memilukan dan mengerikan.
Dalam
konteks Indonesia sendiri, kita kerap kali mendengar terjadinya konflik SARA. Beragamnya
suku, agama, ras, dan golongan membuat Indonesia sebagai bangsa yang rawan
konflik. Dari ujung timur sampai ujung barat bangsa ini sering kali terdengar
jerit tangis bahkan tetesan darah menyelimuti tanah air. Semboyan yang terdapat
di kaki kuat sang Burung Garuda “Bhineka Tunggal Ika” nampaknya belum menjiwai
seluruh warga bangsa ini. Rasa satu kesatuan sebagai warga negara bukanlah hal
yang utama, melainkan arti kata semboyan bangsa ini hanya sekedar wacana
belaka.
Berikut
ini sebagian kasus akibat konflik yang menimpa bangsa Indonesia sejak
lengsernya otoritas orde baru dan lahirnya era reformasi yang mendapatkan
perhatian luas publik dan ekspos media massa diantaranya:[13]
1. Konflik
Tarakan: Bentrok etnis antara suku Dayak asli Kalimantan dan warga pendatang. Berita
terakhir bentrok etnis antar suku, suasana Kota Tarakan Kalimantan Timur
kembali mencekam. Ribuan warga adat dayak Tidung yang tergabung dalam Persatuan
Suku Asli Kalimantan (Pusaka) mendatangi dan mengepung Kepolisian Resor Kota
Tarakan, Selasa (28/9/2010). Mereka menuntut aparat agar segera menangkap
pembunuh Abdullah (pemangku adat dayak Tidung) yang menjadi pemicu kerusuhan di
Tarakan 2010. Warga yang datang ke kantor polresta melengkapi diri dengan
berbagai senjata tajam jenis mandau (pedang), badik, dan golok. Sementara
puluhan aparat polresta berjaga-jaga di sekitar kantor. Akibat kedatangan
massa, situasi di sekitar kantor Polresta Tarakan memanas. Massa juga melakukan
orasi, selain mendesak kepolisian segera menangkap pembunuh Abdullah, juga
mengusir etnis pelaku pembunuhan dari Kota Tarakan.
2. Konflik
Tolikara: Tentang Mayoritas-Minoritas dan Perjuangan Tanah Damai. Tanggal 11
Juli 2015 telah memberikan surat selebaran yang mengatasnamakan Jemaat GIdi dan
berisi “GIDI Wilayah Toli, selalu melarang agama lain dan gereja Denominasi
lain tidak boleh mendirikan tempat-tempat ibadah lain di Kabupaten Tolikara”
dan melarang berlangsungnya kegiatan ibadah shalat Ied Umat muslim di kabupaten
Tolikara yang ditandatangani oleh Pendeta Mathen Jingga S.Th MA dan Pendeta
Nayus Wenda S.Th. Pukul 07.10 WIT Massa pimpinan pendeta Marthen Jingga dan
Harianto Wanimbo (Koorlap) mulai melakukakan aksi pelemparan batu dan perusakan
kios-kios yang berada dekat dengan masjid baitul Muttaqin.
3. Konflik
Etnis Ras Bali dan Sumbawa: Bentrok antara etnis Bali dan etnis Samawa atau
Sumbawa terjadi Selasa (22/1/2013) siang di kabupaten Sumbawa Besar, Nusa
Tenggara Barat. Sejumlah rumah dan mobil milik etnis Bali pun dibakar warga
Sumbawa. Kerusuhan itu berawal dari adanya informasi meninggalnya seorang gadis
etnis Sumbawa dengan tubuh penuh luka lebam dan pakaian dalam robek. Namun saat
keluarga korban melaporkan hal tersebut ke Mapolres Sumbawa, pihak kepolisian
justru menyatakan gadis tersebut tewas akibat kecelakaan, sementara keluarga
korban mengaku anak gadisnya ini berpacaran dengan seorang anggota polisi dari
etnis Bali.
4. Konflik
Golkar: terjadi di dalam tubuh partai semakin meruncing dan bahkan memicu
tindakan kekerasan antara pendukung dua kubu. Hari Senin (26/11/2014), tiga
puluh empat Pimpinan Daerah Tingkat I Partai Golkar pro Aburizal Bakri
mengumumkan dukungan mereka terhadap pelaksanaan Musyrawarah Nasional IX Partai
Golkar yang akan digelar di Bali mulai 30 November mendatang. Sementara
kalangan anti Aburizal Bakri, mengatasnamakan rapat pleno DPP Golkar justru
memecat Ketua Umum Aburizal Bakrie dan Sekjen Idrus Marham, dan membentuk
Presidium Penyelamat Partai Golkar, yang mengagendakan Munas Desember
mendatang. Di pihak lain, Presidium Penyelamat Partai Golkar menyatakan
keputusan rapat pimpinan nasional di Yogyakarta beberapa waktu lalu tidak
sesuai dengan aturan partai, karena diputuskan sepihak oleh kelompok pendukung
Abrurizal Bakrie.
5. Konflik
Maluku dan Maluku Utara (tahun 1999-2004).
1) Masyarakat
yang meninggal akibat kerusuhan ini mencapai angka 8.000-9.000 orang
2) 70.000
Masyarakat lainnya mengungsi
3) Kerugian
materi dalam kasus ini adalah 29.000 rumah terbakar, 7.046 rusak termasuk 46
masjid, 47 gereja, 719 toko, dan 38 gedung pemerintah
4) Ketidaknetralan
aparat keamanan dan pecahnya struktur pemerintah ke dalam dua komunitas.
6. Konflik
Sampit
1) Kasus
ini terjadi pada tahun 2001 dan puncak konfliknya selama 10 hari. Tercatat 469
orang meninggal dan 108.000 orang mengungsi.
2) Kerugian
materi sebanyak 192 rumah dibakar dan 784 lainnya rusak, 16 mobil dan 43 sepeda
motor juga hancur.
3) Pemerintah
pusat lamban melakukan darurat sipil, sehingga fasilitas dan masyarakat yang
terlibat dalam konflik terlambat dihentikan.
7. Konflik
Transito Mataram (Tahun 2001)
1) Pada
kasus ini sebanyak 9 orang meninggal, 8 luka-luka, 9 orang mengalami gangguan
jiwa
2) 79
orang terusir dari rumahnya, 9 orang dipaksa cerai, dan 3 ibu keguguran.
3) Kasus
ini berlatar perbedaaan keyakinan pemeluk Ahmadiyah. Sejak tahun 1998-2006,
terjadi 7 kali penyerangan kepada kelompok ini. Akibat konflik itu, 11 empat
ibadah dan 144 rumah rusak serta harta beda dijarah.
8. Konflik
Lampung Selatan
1) Kasus
ini terjadi pada 27-29 Oktober 2012 di Kecamatan Kalianda dan Way Panji. 14
Orang dilaporkan tewas dan belasan luka parah. Sementara sebanyak 1.700 warga
mengungsi.
2) Diperkirakan
kerugian mencapai Rp 24,88 miliar
3) Pemicunya
karena terjadi kesalahpahaman antara dua kelompok warga, sehingga 532 rumah
dibakar.
9. Konflik
Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta (Trisakti)
1) Pada
peristiwa ini, sebanyak 1.217 orang meninggal, 85 orang diperkosa dan 70.000
orang mengungsi.
2) Kejadian
ini berlangsung selama 3 hari dari 13-15 Mei 1998 dengan kerugian materil
diperkiaran mencapai Rp 2,5 triliun.
3) Pemicunya
karena terjadi penculikan aktivis, penembakan terhadap mahasiswa Trisakti dan
memburuknya ekonomi saat itu. Kebanyakan etnis Tionghoa menjadi sasaran
kemarahan.
Kasus
diatas jelas tidak mencerminkan kepastian hukum. Oleh karena itu perlu adanya
stabilitas politik dari pemerintah, agar hukum dapat dijalankan sesuai dengan
aturan yang telah ditetapkan. Ada beberapa faktor yang dapat digunakan sebagai
acuan untuk menuju kepada kepastian hukum, yaitu:
1) Norma-norma
yang jelas menetapkan apa yang diharuskan dan apa yang dilarang.
2) Transparansi
hukum yang menghindarkan masyarakat dari kebingungan normatif.
3) Kesinambungan
tertib hukum yang memberi acuan bagi perilaku di masa mendatang.
Penerapan
faktor-faktor tersebut sebagai acuan bagi orientasi masyarakat maupun penerapan
prinsip-prinsip hukum yang berlaku umum harus dilakukan berdasarkan dua prinsip
keadilan, agar tidak mencederai rasa keadilan masyarakat, yaitu prinsip daya
laku hukum yang umum serta prinsip kesamaan di hadapan hukum.[14]
Jika
ada orang tertentu harus dihadapkan ke muka pengadilan karena suatu indikasi
pelanggaran hukum, namun karena ada aneka kelebihan dan dengan alasan politis,
maka terhadap orang tersebut melekat semacam kekebalan hukum, sehingga dia
dibebaskan dari indikasi pelanggaran hukum itu secara politis. Dalam hal ini
akan didapat suatu kasus, dimana prinsip daya laku hukum yang umum sudah
dilanggar, hukum tidak lagi berlaku secara umum dan telah melakukan pilih
kasih, sehingga hukum yang seperti itu akan segera memperoleh citra seorang ibu
tiri. Dari kenyataan tersebut tertumpu harapan, baik dari komponen-komponen
penegak hukum maupun dari masyarakat sendiri, apalagi dari lembaga-lembaga
kenegaraan yang menetapkan kaidah hukum, secara sadar mau melaksanakan atauran
hukum tersebut demi terciptanya suatu perdamaian dan keadilan di tengah-tengah
masyarakat.
Dalam
negara hukum, sebagaimana halnya Indonesia kekuasaan pemerintah diselenggarakan
berdasarkan atas hukum dan bukan berdasarkan atas kekuasaan. Kesinambungan
sikap, konsistensi dan tindakan dari lembaga-lembaga kenegaraan itu sangat menetukan
kadar kepastian dan tindakan dari lembaga-lembaga kenegaraan itu sangat
menentukan kadar kepastian hukum. Rapuhnya kesinambungan sikap dan konsistensi
dalam tindakan akan mengakibatkan kaburnya kepastian hukum.[15]
Karena lembaga-lembaga kenegaraan senantiasa bertanggungjawab dan berwenang
terhadap terhadap penyelenggaraan hukum, yang pada akhirnya merupakan produk
dari proses politik. Kesinambungan sikap dan konsistensi tindakan mereka juga
sangat tergantung dari stabilitas politik.
B.
Pendekatan
sosiologi hukum dapat mewujudkan kepastian hukum dan penegakkan hukum di
Indonesia
Salah
satu sumber utama konflik dan kekerasan di berbagai daerah adalah kondisi
penegak hukum di Indonesia yang sangat lemah.[16]
Ditambah lagi dengan berbagai bentuk diskriminasi dan marginalisasi dalam
pengaturan sosial-ekonomi, politik dan pemanfaatan sumber daya alam bahkan
kehidupan budaya. Berbagai perasaan ketidakadilan dan ketidakpuasan umum pun
berkecamuk dan meledak menjadi tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan dan
mengerikan.
Penduduk
yang mendiami wilayah Negara Republik Indonesia harus mengatakan bahwa
pelaksanaan hukum di negeri ini telah menjadi sumber utama yang menyebabkan
timbulnya berbagai konflik dan kekerasan di Indonesia. Periode otoritarian yang
intens selama empat dasawarsa pada masa Orde Lama dan Orde Baru telah
menghasilkan sistem hukum repsesif yang tidak saja dirasakan akibatnya secara
langsung telah membentuk kesadaran, perilaku dan struktur sosial yang
bersendikan pada kekerasan sebagai norma utama. Oleh karena itu wajah hukum di
Indonesia adalah merupakan biografi kekerasan yang kita lakukan selama
bertahun-tahun.[17]
Melalui
berbagai produk perundang-undangan maupun praktik hukum yang dilakukan oleh
birokrasi, aparat keamanan dan pengadilan dapat diketahui bagaimana kekerasan
beroperasi serta memproduksi diri dalam berbagai sikap dan perilaku sosial
masyarakat di Indonesia. Pelaksanaan hukum di Indonesia telah melembaga
kekerasan dalam berbagai bentuk pengaturan, kebijakan dan putusan hukum yang
menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial ekonomi, diskriminasi dan perilaku
kekerasan sehari-hari.
Jacques
Derrida dalam Position (1981)[18]
mengungkapkan bahwa sejak kekerasan dalam hukum selalu terlupakan oleh
perjalanan waktu dan tersembunyikan oleh berbagai fiksi tentang moralitas
penegak hukum.[19]
Akibatnya, kita sering tidak mengenali lagi adanya kekerasan yang diproduksi
oleh berbagai produk hukum dan menganggapnya sebagai sebuah hal yang wajar
bahkan tidak jarang menganggapnya sebagai keharusan moral dalam dalam kehidupan
masyarakat di Indonesia. Sebagai contoh tindakan penganiyaan dan pembunuhan
yang dilakukan dalam berbagai peristiwa main hakim sendiri atau konflik di
berbagai daerah justru sering memperoleh dukungan dan pengesahaan dari
lingkungan masyarakat sekitar. Akibatnya, ketika aparat keamanan mengambil
tindakan hukum terhadap pelakunya, masyarakat justru memberikan reaksi balik
dengan menuntut pembebasan pelaku dan menyerang aparat keamanan. Sepertinya
kekerasan merupakan keharusan moral yang harus dilakukan untuk menyelesaikan
suatu masalah atau konflik.
Keadaan
tersebut disebabkan masyarakat Indonesia tertentu mengalami kesulitan untuk
mengenali lagi referensi lain dalam kehidupan sosialnya selain kekerasan itu
sendiri. Pola represif yang beroperasi selama rezim otoritarian tidak
memberikan pengalaman kekerasan pada masyarakat Indonesia sehingga mereka
kehilangan kapasitas, kreativitas sosial dan “imajinasi hukum” dalam
menyelesaikan berbagai konflik yang dihadapi selain menggunakan cara-cara
kekerasan. Apa yang dilakukan tidak lebih dari bentuk reproduksi atas berbagai
nilai dan norma yang dikenalinya dari berbagai aturan serta praktik hukum yang
dialaminya.
Aturan
hukum yang disuplai oleh negara telah menghancurkan kesadaran dan norma-norma
sosial masyarakat lokal yang selama bertahun-tahun telah berhasil
mempertahankan tatanan sosial di antara mereka. Sebagai contoh, penyeragaman
struktur pemerintahan desa melalui Undang-Undangan Nomor 5 Tahun 1979 yang
menghancurkan struktur kepemimpinan lokal.[20]
Kemudian kebijakan birokrasi dalam pengelolahan hutan yang memberikan konsesi
PHP (hak pengusahaan hutan) bagi segelintir orang yang tidak saja telah
menyebabkan kehancuran lingkungan alam tetapi juga menghancurkan kesadaran
kultural yang dimilikinya, ditambah lagi dengan berbagai diskriminasi yang
mereka rasakan dalam berbagai kebijakan politik dan pemerintahan (seperti
tersingkirnya “putera daerah”) serta penegakan hukum yang sangat lemah yang
telah melahirkan perasaan ketidakadilan yang meluas.
Contoh
lain, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1990 tentang Otonomi Daerah. Pada tahun
2004, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah sudah
dianggap tidak sesuai dengan adanya perkembangan keadaan dan tuntutan
penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
sampai saat ini sudah banyak mengalami perubahan, terakhir kali adalah
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 mengenai Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah.[21]
Undang-undang
dimaksud dalam pelaksanaannya menciptakan diskriminasi antara penduduk
kelahiran setempat dengan penduduk pendatang. Yang disebut terakhir itu, akan
melahirkan penduduk putera daerah dan penduduk pendatang. Putera daerah
diharapkan mendapat perioritas pada jabatan-jabatan tertentu. Hal itu akan
memicu konflik sosial di masa yang akan datang bila tidak diteruskan oleh
perancang roh (jiwa) peraturan perundang-undangan otonomi daerah dimaksud.
Semuanya
itu telah menghilangkan kapasitas dan kreativitas sosial yang mereka miliki
pada saat harus berhadapan dengan konflik yang setiap saat dapat timbul dalam
kehidupan sosial mereka. Mereka hanya mengenal kekerasan sebagai satu-satunya
cara yang disuplai dan dikembangkan oleh berbagai aturan dan praktik hukum
negara. Dalam kondisi seperti ini tidak sepenuhnya dapat disalahkan bila mereka
menggunakan kekerasan sebagai cara penyelesaian konflik. Dalam hal ini yang
terjadi bukan hanya karena adanya ketidakpercayaan pada hukum dan aparat hukum
tetapi lebih jauh dari itu yaitu masyarakat memang tidak terlatih untuk
mengembangkan kreativitas sosial dan imajinasi hukum dalam menyelesaikan
berbagai konflik yang dihadapinya selain dengan jalan kekerasan.
Meskipun
terkadang perkembangan hukum masih harus tertatih-tatih mengikuti perkembangan
zaman, namun ia berusaha untuk terus memberikan sumbangsih pada kegiatan dan
upaya pengkajian hukum ini. Hal ini berlaku pula pada pandangan terhadap
perkembangan birokrasi-birokrasi yang berhubungan dengan struktur hukum itu.
Bentuk-bentuk hukum yang menekankan pada kekuasaannya mulai dikritisi dan
diubah menjadi aturan hukum yang lebih mengakar kepada keinginan masyarakat
luas dimana, bentuk hukum dan dikenal sebagai rasionalitas formal, diarahkan
kepada rasionalitas substansif.
Dengan
tingkat kesejahteraan dan peraturan, tekanan yang lebih besar yang selama ini
ditempatkan pada hukum rasional formal yang memberikan perhatian dan fungsi
pada orientasi pemerintah akan banyak mengarah pada pembangunan hukum yang
berorientasi pada penguatan sub-sub sistem yang ada pada masyrakat, agar
natinya hukum akan dapat digunakan sebagai instrument untuk orientasi tujuan
dan intervensi arah dengan maksud tertentu. Dengan adanya upaya itu maka perlu
dilakukan suatu usaha sebagai ‘rematerialisasi hukum’ sehingga terus ada upaya
dalam menuju suatu tatanan hukum modern.[22]
Dengan demikian maka orientasi hukum dan masyarakat harus senantiasa
didengungkan agar bagian dari warisan program status welfare-regulatory ini akan berkembang menuju mengacu pada solusi
dalam merubah rasionalitas formal ini, sebab hukum dibentuk tidak untuk hanya
kepentingan hukum itu sendiri, namun untuk kepentingan manusia dan kehidupan
masyarakat. Oleh karena disadari bahwa kehidupan manusia dan masyarakat tanpa
aturan hukum akan kacau atau tidak tertib.[23]
Perubahan
pemikiran hukum dari rasionalitas formal ke rasionalitas substantif digunakan
sebagai instrumen untuk melakukan perubahan yang berorientasi pada suatu tujuan
atau sasaran, yang lebih umum dan terbuka serta lebih terinci. Pendekatan teori
neo-evolusioner[24]
menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi pada tatanan hukum dan masyarakat
dalam suatu negara yang oleh Gunther Teubner menggunakan mengarahkan kepada
satu perspektif proses perubahan hukum dan sosial dengan hukum refleksif.[25]
Sebelumnya, Teubner dalam menguraikan pendapat Philippe Nonet dan Philip
Selznick bahwa Nonet dan Selznick mengembangkan model hukum dengan tiga tahapan
evolusioner yakni: represif, otonom, dan responsif. Selain itu, Nonet dan
Selznick juga menyatakan bahwa hukum represif sebagai tatanan hukum yang tidak
menjamin keadilan substantif, memiliki potensi yang membuat otoritas penguasa
semakin efektif demi mempertahankan status
quo.[26]
Namun
demikian, dengan teori Nonet dan Selznick ini Tuebner melihat adanya
perkembangan yang mengarah pada penggunaan dan pengembangan hukum represif
secara meluas tanpa banyak memasukkan “campurtangan” yang memadai dari
masyarakat sehingga hukum hanya berkembang tanpa dibarengi dengan perkembangan
masyarakat evolusioner dalam hukum dan sosial.
Dalam
memahami hubungan antara perubahan dalam hukum dan perubahan dalam masyarakat,
diperlukan sebuah teori yang bersifat evolusioner, meskipun teori perkembangan
ini tidak selamanya dapat menjelaskan bagaimana sebuah hukum tertentu dapat
bekerjasama dengan gambaran-gambaran sosial, ekonomi dan organisasi politik
dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, maka teori evolusioner ini seharusnya
mampu untuk mempertimbangkan hubungan antara struktur-struktur hukum dan sosial
serta membantu kita untuk memahami bagaimana transformasi-transformasi itu
dapat terjadi. Dalam sebuah model yang dikembangkan oleh Nonet dan Selznick,
Nonet dan Selznick menganalisis sebuah model mengenai proses perubahan hukum
yang membebankan aturan yang berpusat pada “dinamika internal” sistem hukum.[27]
Dengan
model ini maka aturan-aturan hukum hanya berada pada penguatan-penguatan yang
mengatur di dalam lingkungan hukum itu sendiri saja. Hal ini berarti bahwa rematerialisasi
hukum ini hanya memperbaiki kondisi hukum itu saja, terlepas dari apakah hukum
itu mempunyai dampak yang langsung atau tidak kepada berbagai masalah lain
seperti ekonomi, masyarakat, dan budaya. Penguatan yang berpusat pada hukum ini
akan memperkuat bentuk hukum yang ada pada sisi pembuat hukum itu sendiri
sehingga kecenderungan yang akan muncul adalah hukum akan sulit diterima secara
menyeluruh oleh masyarakat sebab orientasi yang dimuat dalam model ini hanya
akan menjadikan hukum sebagai poduk otonomi.
Dari
gambaran model ini, maka kemungkinan hasil yang dapat dilihat sebagai hasilnya
adalah bahwa hukum akan memperkuat otoritas pemerintahan dan akan cenderung
mengarahkan pada hukum reperessif atau hukum akan cenderung menguat dengan
sendirinya sehingga tidak ada yang dapat mengganggu keadaan hukum ini sehingga
menjadi hukum yang otonom (autonomous
law). Kemungkinan lain yang akan muncul adalah aturan hukum ini akan
berjalan sendiri tanpa adanya unsur sosial didalamnya sehingga akan menimbulkan
istilah yang dikenal dengan ‘hukum tanpa masyarakat ‘(law without society).
Membicarakan
penegakan hukum, dengan sendirinya harus membahas sistem hukum itu sendiri,
karena penegakan hukum dapat dilaksanakan tidak terlepas dari peranan struktur
hukum, substansi hukum, dan budaya hukum dari masyarakatnya itu sendiri. Bahkan
para sosiolog hukum cenderung menekankan
bahwa “budaya hukum” memegang peranan yang sangat penting dan menentukan
berfungsinya hukum dengan baik, seperti yang dikatakan oleh J. Brady Anderson “ without
a culture respect and expect the rule of law, the system of justice will
remain weak”. Jadi tanpa budaya hukum maka penghargaan dan penghormatan
terhadapa rule of law maupun keadilan
itu sendiri akan tetap lemah dan tidak berdaya.[28]
Dengan
kata lain bahwa budaya hukum merupakan roh yang membuat hukum itu bernafas dan
bergerak. Di samping itu, hukum merupakan suatu ungkapan (expression) dari suatu budaya, gagasan tentang hukum, juga
merupakan sejarah intelektual manusia. Ide-ide atau gagasan-gagasan tersebut
sangat kuat dalam pembatasan dan pemikiran yang langsung tentang hukum, juga
memiliki pengaruh besar terhadap sistem hukum dan pengoperasian sistem hukum, dan
menanamkan kesadaran hukum berarti menanamkan nilai-nilai budaya.
George
Fletcher mengatakan: “Law has become the
American civil religion. The Newpapers filled with stories about trials, about
pending legislation, about new decision by the courts… Law embodies our
aspirations, our sense of ultimate justice, our commitments as nations of
diverse ethnicities and religions”.[29]
(orang Amerika telah memandang hukum sebagai agama, kemudian media surat kabar
telah terbuka secara luas memuat berita-berita peradilan, penundaan pengesahan
perundang-undangan, putusan-putusan baru peradilan).
Dari
pandangan tersebut menjelaskan bahwa budaya hukum sangat perlu karena
menentukan bagaimana hukum itu sebenarnya dijalankan di masyarakat, termasuk
bagaimana dapat dioperasionalkan untuk mengatasi berbagai persoalan (konflik
sosial). Karena dengan berlakunya suatu hukum, biasanya terjadi suatu masalah
hukum bilamana terdapat konflik antara dua pihak, yang diselesaikan dengan
bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga ini dapat berwujud bermacam-macam badan atau
lembaga, apakah itu yang terkait dalam penegakan hukum formal maupun non formal
seperti tokoh-tokoh masyarakat, rohaniawan, cendikiawan, dan lain-lain.
Pada
prinsipnya kehadiran hukum berkaitan erat dengan salah satu bentuk penyelesaian
konflik yang netral dan tidak memihak. Dengan demikian terdapat suatu hubungan
yang erat antara hukum dengan konflik, sebagaimana telah dikatakan oleh Roberto
M. Unger[30]
didalam bukunya Soerjono Soekanto, yang telah membagi konflik atas tiga bagian,
yaitu:[31]
(1) Konflik
antara kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial,
(2) Konflik
antara kebebasan dengan paksaan,
(3) Konflik
antara negara dengan masyarakat.
Sebenarnya
secara substansial berbagai peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan
konflik sosial yang terjadi selama ini sudah tersedia, namun realitas yang kita
temui sampai saat ini penyelesaian konflik sosial sulit diselesaikan melalui
pendekatan judicial, seolah-olah
hukum sudah mati sebagaimana dikatakan oleh David M. Trubek dikala sistem
penegakan hukum dihadapkan pada konflik sosial yang sudah anarkhi, sehingga
merupakan suatu tontonan atas keresahan, dan kesenjangan yang setiap hari dapat
kita lihat di negeri ini, sehingga prinsip-prinsip untuk menjunjung supremasi
hukum demi terwujudkan keadaan dan kepastian hukum lebih tepat disebut sebagai
retorika saja.[32]
Oleh
karena itu ada beberapa proposisi yang berkaitan dengan kekurang berdayaan
penegakan hukum untuk mengatasi konflik sosial yaitu:[33]
(1) Aparat
hukum memang tidak memiliki komitmen untuk mewujudkan supremasi hukum,
(2) Komitmen
yang ada ternyata tidak cukup tinggi, sehingga supremasi hukum yang terwujud
berbentuk setengah-setengah, inkonsisten, dan atau diskriminatif, dan
(3) Terdapatnya
komitmen yang tinggi atau cukup kuat untuk mewujudkan supremasi hukum, namun
banyak kendala yang dihadapi karena pengakan hukum tidak bisa hanya dilakukan
tanda dukungan maupun kerja sama dengan pihak-pihak terkait, utamanya juga
kesadaran dari masyarakatnya sendiri.
Polri
selaku alat negara penegak hukum (formal) dan dalam sistem penegakan hukum
pidana merupakan salah satu unsur dari Sistem Penegakan Hukum Pidana Terpadu,
yang bertugas sebagai alat negara memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat demi tercapainya penegakan hukum. Tujuannya adalah
untuk mewujudkan keamanan dalam negeri.
Tugas
Polri sebagaimana telah ditentukan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 pada prinsipnya
sama dengan tugas polisi secara universal, yaitu:
(1) Memelihara
ketertiban umum (maintatenance of order),
yaitu dilaksanakan dengan mempertahankan keteraturan melalui pencegahan
perilaku yang mengancam ketenteraman masyarakat atau melibatkan konflik pribadi
antara dua orang atau lebih,
(2) Penegakan
hukum, (law enforcement), yaitu
dilaksanakan untuk mengendalikan kejahatan dengan cara turun tangan dalam berbagai
keadaan, apabila hukum telah dilanggar, dan
(3) Pelayanan
(services), yaitu melakukan pelayanan
dan bantuan yang biasanya tidak berhubungan dengan kejahatan.
Penegakan
hukum dalam menangani masalah-masalah konflik tidak hanya mencakup penegakan
hukum dalam arti represif (penindakan)
tetapi penegakan hukum dimulai dari preemtif
(konsultasi) dan preventif (mencegah).
Oleh karena itu Polri sebagai salah satu unsur penegak hukum yang terkait
dengan sistem penegakan hukum merupakan line
terdepan dalam menghadapi berbagai konflik sosial, (dan sekaligus juga
aparatur hukum yang pertama bersentuhan dengan HAM) mulai dari tahap awal. Artinya
sebelum timbul akibat yang bertentangan dengan hukum, misalnya dalam taraf
penyampaian inspirasi melalui unjuk rasa, sebagai hak setiap warga negara. Dengan
demikian kehadiran Polri jelas dalam hal ini sebagai pengawal terlaksananya
prinsip-prinsip demokrasi yaitu kebebasan menyampaikan inspirasi secara aman
dan tertib[34],
walaupun didalamnya sudah terkandung konflik sosial.
Sebenarnya
sebelum dilakukan penegakan hukum baik yang sifatnya preventif dan represif
selalu dilakukan penegakan hukum yang sifatnya preemtif, melalui berbagai
pendekatan pendidikan, penyuluhan, dan ceramah-ceramah agar tumbuh dan tertanam
dalam diri masyarakat prinsip “jadilah menjadi polisi pada dirinya sendiri
maupun lingkungannya” dengan kata lain mempolisikan masyarakat. Kemudian
dilaksanakan kearah tindakan yang lebih real yaitu mengaliminir berbagai
kejahatan melalui tindakan preventif (pencegahan) yang dilaksanakan dengan
berbagai tindakan polisi yang bersifat non justicial (non pro justitia).[35]
Dengan
demikian kepolisian kedepan masih harus bekerja keras dalam mengatasi berbagai
konflik sosial dan berbagai permasalahan lainnya yang sifatnya semakin kompleks,
untuk mewujudkan rasa aman terhadap segenap komponen bangsa ini, karena
keamanan merupakan faktor yang sangat menunjang atas berhasilnya sektor
lainnya, walupun pada prinsipnya ada ketergantungan satu sama lain.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Bangsa
Indonesia hingga saat ini masih saja terjadi konflik yang disebabkan oleh lemahnya
penegakan hukum termasuk adanya hubungan campur tangan politik yaitu kaum elite
tertentu yang memiliki kekuasaan dan terdapatnya kelompok-kelompok tertentu
yang dominan di beberapa daerah di Indonesia yang menyebabkan timbulnya suatu
keadaan yang memarginalkan kepada kelompok lain.
Dari
sekian kasus yang telah diuraikan, pemerintah sudah berupaya mengeluarkan
kebijkan-kebijakan untuk menangggulangi atau menyelesaikan konflik tersebut namun,
penerapan upaya tersebut kurang maksimal karena masih banyak sifat egois dari
kelompok-kelompok tertentu yang sangat fanatik sehingga tidak mau mengindahkan
kebijakan-kebijakan tersebut.
Sebagai
contoh konflik yang terjadi di poso pada tahun 1998 merupakan salah satu konflik
yang sangat besar. Konflik ini disebabkan oleh politik yang memanas yang
mengatasnamakan agama untuk kepentingan individual atau kelompok tertentu agar
menjadi pemenang dalam politik tersebut. Hal ini sangat disayangkan sekali
mengingat politik esensinya tidak boleh mengumbar atau mengatasnamakan agama
untuk jalan pemenangan karena hal tersebut tentu saja bisa menimbulkan hal-hal
yang membuat perpecahan.
Konflik
dilatar belakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Konflik
bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah
siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi.
Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Disintegrasi
bangsa, separatisme merupakan permasalahan kompleks, akibat akumulasi permasalahan
politik, ekonomi dan keamanan yang saling tumpang tindih sehingga perlu
penanganan khusus dengan pendekatan yang arif serta mengutamakan aspek hukum,
keadilan, sosial budaya. Kepemimpinan dari elit politik nasional hingga
kepemimpinan daerah sangat menentukan meredamnya konflik pada skala dini. Namun
pada skala kejadian diperlukan profesionalisme aparat kemanan secara terpadu. Efek
global, regional dengan faham demokrasi yang bergulir saat ini perlu
diantisipasi dengan penghayatan wawasan kebangsaan melalui edukasi dan
sosialisasi.
Hukum
hanyalah salah satu alat kontrol sosial dalam masyarakat. Fungsi hukum sebagai
alat pengendalian sosial dapat diterangkan sebagai fungsi hukum untuk
menetapkan tingkah laku mana yang dianggap merupakan penyimpangan terhadap
aturan hukum, dan apa sanksi atau tindakan yang dilakukan oleh hukum jika
terjadi penyimpangan tersebut. Fungsi Hukum sebagai alat rekayasa sosial ini, yang
sering disebut sebagai a tool of
engineering yang pada prinsipnya merupakan fungsi hukum yang dapat
diarahkan untuk merubah pola-pola tertentu dalam suatu masyarakat. Terlaksana
atau tidak terlaksananya fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial,
ditentukan oleh faktor aturan hukumnya sendiri dan faktor pelaksana (orang)
hukumnya.
B.
Saran
Negara
sebagai lembaga yang akan mewujudkan harapan masyarakat kepada kehidupan yang
tertib, adil dan sejahtera pemerintahnya harus mampu menciptakan stabilitas
politik, sehingga keputusan-keputusan hukum dapat dilaksanakan secara konsisten
dalam upaya menuju kepada kepastian hukum, demi ketertiban dan kesejahteraan
masyarakat.
Demikian
juga halnya dengan kekuasaan politik yang dijalankan oleh pemerintah bersama
lembaga-lembaga kenegaraan lainnya, harus sesuai dengan konstitusi yang telah
disepakati bersama demi tegaknya negara hukum. Dalam hal ini semua komponen
bangsa, baik masyarakat, organisasi sosial dan politik, harus secara sadar
melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan aturan hukum.
Sebenarnya
antara hukum dan konflik merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan,
satu dengan yang lain, karena hukum dibentuk antara lain untuk mengatasi atau
menyelesaikan suatu konflik lewat pendekatan neo-evolusioner dengan hukum
refleksif yang diarahkan kepada satu perspektif proses perubahan hukum dan sosial.
Untuk mendukung terciptanya keberhasilan suatu kebijakan dan strategi
pertahanan serta upaya-upaya apa yang akan ditempuh, maka disarankan beberapa
langkah sebagai berikut:
1) Pemerintah
perlu mengadakan kajian secara akademik dan terus menerus agar didapatkan suatu
rumusan bahwa nasionalisme yang berbasis multi kultural dapat dijadikan ajaran
untuk mengelola setiap perbedaan agar muncul pengakuan secara sadar/t anpa
paksaan dari setiap warga negara atas kemejemukan dengan segala perbedaannya.
2) Setiap
warga negara agar memiliki kepatuhan terhadap semua aturan dan tatanan yang
berlaku, kalau perlu diambil sumpah seperti halnya setiap prajurit yang akan
menjadi anggota TNI dan tata cara penyumpahan diatur dengan Undang-undang.
Sebaiknya diadakan suatu konsensus nasional yang berisi pernyataan bahwa setiap
warga negara Indonesia cinta damai, persatuan dan kesatuan dan rela berkorban
untuk mementingkan kepentingan nasional diatas kepentingan pribadi atau
golongan dengan enanamkan nilai-nilai Pancasila, jiwa nasionalisme sebangsa dan
setanah air dalam NKRI, sehingga dapat memposisikan diri dalam keikutsertaan
meredam konflik dan bukannya memperbesar melalui berita-berita yang berdampak
kebencian dan prsangka buruk bagi setiap warga negara.
DAFTAR
PUSTAKA
Azra,
Azyumardi, Konflik Baru Antar Peradaban:
Globalisasi, Radikalisme, dan Pluaritas Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,
2002
Ahmadi
Abu, Psikoligi Sosial, Jakarta, PT.
Rineka Cipta, 2009
Achmad
Ali, Menguak Tabir Hukum, Jakarta, Chandra
Pratama, 1996
Achmad
Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap
Hukum, Yarsif Watampone, Jakarta, 1998
Alvin
S. Johnson, Sosiologi Hukum, diterjemahkan
oleh Rinaldi Simamora, Jakarta, Rineka Cipta, 2004
Ali
Zainuddin, Sosilogi Hukum, Sinar
Grafika, Jakarta, 2015
Aryandini
S. Woro,dkk, Ilmu Sosial Dasar,
ISTN, Jakarta 1987
Achmad,
Nur. Pluralitas Agama, Jakarta,
Penerbit Buku KOMPAS, 2001
Sujata
Antonius, Reformasi Dalam Penegakan
Hukum, Jakarta, Djambatan, 2000
Beni
Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum, CV
Pustaka Setia, Bandung, 2007
Budiono
Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil,
Jakarta, Grasindo, 1999
Cohen
Bruce J; tanpa tahun, Sosiologi Suatu
Pengantar, Penerbit Rineka Cipta
Donald
Black. Sociological Justice,
New York, Academic Pres, 1989
Dean
G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Teori
Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2004, cet. 1, hal. 9-10,
(diterjemahkan oleh Helly P. Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto dari judul
asli: Social Conflict).
--------
Donald Black.The Behavior of Law,
New York,Academic Press, 1976
Departemen
agama RI, Konflik Etno Religious
Indonesia Kontemporer, Badan Litbang Agama, Jakarta, 2003
Esmi
Warassih, Pranata Hukum: Sebuah Telaah
Sosiologis, Semarang, Suryandaru Utama, 2005
George
Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan
Berparadigma Ganda, Penyadur, Alimandan, Rajawali, Jakarta, 1985
Geoff
Mulgan, Politik Dalam Sebuah Era Anti-politik,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
1995
Gunther
Tuebner, Substantive and Reflexive Elements in Modern Law, Law & Society
Review, Vol. 17, No. 2. 1983
Faisal,
Sanafiah. 2001. Fomat-Format Penelitian
Sosial. Jakarta, Rajawali Pres
Faturochman,
Konflik: Ketidak-adilan dan Identitas
,Yogyakarta : PPSK UGM, 2003
Hendricks,
William. Bagaimana Mengelola Konflik
(Petinjuk Praktis Untuk Manajemen Konflik Yang Efektif). Jakarta, Bumi
Aksara, 2006
H.R.Riyadi
Soeprapto, Interaksionalisme Simbolik,
Prespektif Sosiologi Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta dan Averroes
Press, Malang, 2002
Hartono,
Sunarjati, “Capita Selecta Perbandingan
Hukum”, Alumni (Stensil) Bandung, 1970
H.R.
Abdussalam, Politik Hukum, PTIK
Press, Jakarta 2011
Huijbers
Theo, Filsafat Hukum, Kaanisius,
Yogyakarta, 1995
Satjipto
Rahardjo, Permasalahan Hukum di
Indonesia, Bandung, Alumni, 1983
Inis,
Konflik Komunal Indonesia Saat Ini,
Jakarta, Leiden, 2003
Kencana,
Syafiie Inu, Pengantar Ilmu Pemerintahan.
Bandung, PT Refika Kencana Aditama, 2005
Kolip,
Usman DKK. Pengantar Sosiologi,
Jakarta, PT. Kencana Prenada Media Grub, 2011
Liliweri,
Alo, Prasangka dan Konflik,
Yogyakarta, PT Lkis Pelangi Aksara, 2005
Mas’oed,
Mohtar, Studi Hubungan Internasional,
Tingkat Analisi dan Teorisasi, Universitas Gadjah Mada, 1989
Muhammad
Abduh, Sosiologi Hukum. Medan: Modul
Kuliah Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2002
Mulyana
W.Kusumah, Tegaknya Supremasi Hukum,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001
Otje
Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum,
Bandung, Alumni, 1989
Mulyana
W. Kusumah, Beberapa Perkembangan
Pemikiran dan Masalah dalam Sosiologi Hukum, Bandung, Alumni, 1981
Mustafa
Abdullah, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum,
Jakarta: Rajawali, 1982
Ndraha,
Taliziduhu, Kybernologi (Sebuah
Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan), Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2005
Poerwaderminta,
W.L.T. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Yogyakarta, PT. Lingkar Pena, 2000
Rajagukguk
Erman, Hukum dan Masyarakat,
Jakarta, Bina Aksara, 1983
Ritzer,
George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan
Berparadigma Ganda, Jakarta, Raja Grafindo Persada 2010
Ronny
Hanitijo Soemitro, Beberapa Masalah Dalam
Studi Hukum dan Masyarakat, Bandung, Remadja Karya, 1985
Ronny
Hanitijo Soemitro, Masalah-masalah
Sosiologi Hukum, Bandung, Sinar Baru, 1984
Roscoe
Pound, Interpretation Of Legal History, USA: Hlmes Heaxh, Florida, 1986
Ronny
Hanitijo Soemintro, Beberapa Masalah
Dalam Studi Hukum dan Masyarakat, Remaja Karya, Bandung, cet. 1, 1985
Santoso
Thomas, Teori-Teori Kekerasan,
Jakarta, Ghalia Indonesia, 2002
Soeleman
B. Taneka, Struktur dan Proses Sosial,
Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan, Raja-Garfindo Persada, Jakarta, 1993
Satjipto
Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia,
Bandung, Alumni, 1983
Soerjono
Soekamto, Pendekatan Sosiologi Terhadap
Hukum, Jakarta PT Bina Aksari 1988
Satjipto
Rahardjo, Beberapa Pemikiran Tentang
Ancangan Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung, Sinar Baru,
1985
Soerjono
Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar,
Jakarta Raja Grapindo Persada 1990
Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,
Jakarta:Rajawali Pers, 2012
Soekanto
Soerjono, Pemerintah, Tugas Pokok dan
Fungsi. Jakarta, Bumi Aksara, 2002
Soekanto
Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar,
Edisi Baru. Jakarta, Rajawali Pers, 2009
Susan,
Novri, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Kontemporer, Kencana: Jakarta, 2009
Satjipto.R.
Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 1982), hal.310
dan R.Othe Salman, Sosiologi Hukum Suatu
Pengantar, Bandung, Penerbit CV. ASrmico, 1992. dan H.L.A, The Consept of Law, (London Oxford
University Pres, 1961)
Sorjono
Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum, Bandung,
PT.Citra Aditya Bakti, 1989
Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994
Soekanto,
Soerjono, Teori Sosiologi, Tentang
Pribadi dalam Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982
Suseno,
Franz Magnis, Etika Politik
Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994
--------
Suseno Frans Magnis, Etika Politik,
Jakarta: Gramedia, 1987
Tol,
Roger. DKK, Konflik Kekerasan Komunal.
Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005
Thayib,
Anshari dkk. HAM dan Pluralisme Agama.
Surabaya: Pusat Kajian Strategi dan Kebijakan (PKSK), 1997
Ter
Haar, Bzn.B. “Beginselen En Stelsel Van Het Adar Recht”. J.B. Woters
Groningen. Jakaarta, 1950
Puspito,
Hendro. Sosiologi Agama, Yogyakarta:
Kanisius (Anggota IKAPI) 1983
Kartohadiprodjo,
Soedirman. “Hukum Nasional” Beberapa
Catatan, Bina Tjipta, 1968
Liliweri,
Alo, Sosiologi Organisasi, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1997
Paul,
Doyle, Teori Sosial; Klasik dan Moder, Jakarta:
PT. Gramedia, 1986
Philippe
Nonet dan Philip Selznick, 1978. Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi,
(Terj. Rafael Edy Bosco), HuMa, Jakarta, 2003
Sukamd,
Abdul Haris I dan Patrick Browslee, Migrasi
Buruh di Indonesia, Politik dan Praktis, Yogyakarta: Population Studies
Centre Gadjah Mada University, 2000.
Winardi,
Manajemen Konflik; Konflik Perubahan dan
Pengembangan, Bandung: Mandar Maju, 1994
Wirawan,
Konflik dan Menejemen Konflik, Teori,
Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta, Salemba Humatika, 2010
Hidayat,
Nurul (Mahasiswa Sosiologi UIN Jakarta), Konflik
Antar Etnis di Indonesia,
http://sejarah.kompasiana.com/2011/04/13/menyelami-konflik-etnis-di-indonesia-355405.html,
diakses pada hari Selasa, 8 November 2016, pukul 14.52 Wib
Wibowo
Pandu (Mahasiswa Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Konflik Antar
Etnis: Penyebab dan Solusi, http://www.kompasiana.com/pandu_wibowo
/konflik-antar-etnis-penyebab-dan-solusi_54f6d84fa33311ea608b4a5e, diakses pada
hari Selasa, 8 November 2016, pukul 14.34 Wib
Yulius,
Hermawan, Transformasi Dalam studi
Hubungan Internasional (Aktor, Iu, dan Metedologi). Yogyakarta: Graha Ilmu,
2007
[1]
Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum: Dari Konstruksi Sampai
Implementasi, Jakarta: Rajawali Press, 2009, hlm. 8
[2]
Soerjono Soekamto, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Jakarta PT Bina Aksari
1988. hlm. 50
[3]
H.R.Riyadi Soeprapto, 2002, Interaksionalisme Simbolik, Prespektif Sosiologi
Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta dan Averroes Press, Malang, hlm. 143
[4]
Soeleman B. Taneka, op.cit. hlm. 131
[5]
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A. Sosilogi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2015,
hlm. 71
[6]
Lihat Rikardo Simarmata Socio-Legal Studies dan Gerakan Pembaharuan Hukum, Law,
Society & Development, Volume I Desember 2006-Maret 2007
[7]
Suseno, Franz Magnis, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994, hlm. 3
[8]
Dr. Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kaanisius, Yogyakarta, 1995 hlm. 119
[9]
Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, Bandung, Alumni 1983. hlm.
137
[10]
Ibid. hlm. 138-1139
[11]
Prof. Dr. Alo Liliweri, Komunikasi adalah pengalihan suatu pesan dari satu
sumber kepada penerima agar dapat dipahami. [Dasar-dasar Komunikasi Kesehatan,
2003, hlm. 4
[12]
Faturochman, Konflik: Ketidak-adilan dan Identitas (Yogyakarta : PPSK UGM,
2003), hlm. 56
[13]
Adnan Akram, Konflik - konflik yang pernah terjadi di Indonesia, http://adnanakram212.blogspot.co.id/2016/02/
konflik-konflik-yang-pernah-terjadi-di.html, diakses 13 November 2016, pukul
24.47 Wib
[14]
Jimly Asshidiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokrasi, PT. Bhuana Ilmu Populer,
Jakarta, 2009, hlm. 22
[15]
Satjipto Rahardjo, 1995, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, h.233-234; Theo
Huijbers, 1995, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, hlm.
150-155
[16]
Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Jakarta: Rajawali, hlm. 4, 5
[17]
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Jakarta:Sinar Grafika, 2009, hlm. 73-75
[18]
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKiS, 2012), hal. 2-3.
[19]
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di
Indonesia, (Jakarta : UII Press, 1983), hlm. 3
[20]
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Desa dalam Konstitusi Indonesia sejak
Kemerdekaan Hingga Era Reformasi, Setara Press, Malang, 2015, hlm. 103
[21]
http://www.kpu.go.id/dmdocuments/UU_32_2004_Pemerintahan%20Daerah.pdf, diakses
13 November 2016, pukul 12.44 wib
[22]
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2005, hlm. 167.
[23]
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 221
[24]
Geoff Mulgan, Politik Dalam Sebuah Era Anti-politik,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
1995, hlm. 106
[25]
Gunther Tuebner, Substantive and Reflexive Elements in Modern Law, Law &
Society Review, Vol. 17, No. 2. 1983, hal. 239-286
[26]
Philippe Nonet dan Philip Selznick, 1978. Hukum Responsif Pilihan di Masa
Transisi, (Terj. Rafael Edy Bosco), HuMa, Jakarta, 2003
[27]
Phillippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society in Transition: toward
Responsive Law (New Jersey: Transaction Publishers, 2001), hlm. 18
[28]
J. Brady Anderson, Promoting The Rule Of Law Around The Wordl, Association of
Tiras Lawyers of America, 2000, hlm. 5.
[29]
George P. Fletcher, Basic Comcept of Legal Thought, Oxford University Press,
New York, 1996, hlm. 4.
[30]
Roberto M. Unger, Gerakan Hukum Kritis (Critical Legal Studies), diterjemahkan
oleh Ifdhal Kasim, Jakarta, ELSAM, 1999
[31]
Soerjono Soekanto, Loc.cit. hlm. 44
[32]
David M. Trubek, 1972, “Toward a Social Theory of Law: An Essay on the Study of
Law and Development”, in The Yale Law Journal, Volume 82, No. 1, November, hlm.
5.
[33]
Trubek, 1972, op.cit, hlm. 38
[34]
Indriyanto Seno Adji, Arah Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Kantor Pengacara
dan Konsultan Hukum “Prof. Oemar Seno Adji, S.H & Rekan, 2001, hlm. 21
[35]
Andrew Haldenby, Tara Mujamdar, dan Will Tanner, Doing it Justice: Integrating
Criminal Justice and Emergency Service Through Police and Crime Commissioners,
England: Reform, 2012, hlm, 24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar