Minggu, 20 November 2016

SOSILOGI HUKUM: HUKUM DAN POLITIK DALAM PENYELESAIAN KONFLIK


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat bimbingannya kami mampu menyususn makalah Sosiologi Hukum. dengan judul: “HUKUM DAN POLITIK DALAM PENYELESAIAN KONFLIK”. Makalah yang kami susun ini merupakan kutipan dari beberapa sumber buku ataupun di internet yang kami rangkum menjadi sebuah bentuk tulisan yang sistematis, semoga pembaca dapat memahami bahwa perlunya kita mengetahui permasalahan mengapa terus terjadi konflik di masyarakat yang terkait dengan masalah hukum dan politik yang dari tahun ke tahun menjadi sorotan di berbagai media masa.
Akhir kata kami berharap makalah ini menjadi inspirasi baru untuk karya-karya selanjutnya dan dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkan informasi tentang masalah hukum dan politik dalam penyelesaian konflik. Mohon maaf apabila dalam makalah ini terdapat kekurangan-kekurangan, kami siap untuk menerima kritik atau pun saran dari pembaca.

Jakarta, 19 November 2016

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... 1
DAFTAR ISI …………………………………………............................................. 2

BAB I.
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang ........................................................................................ 3
B.   Perumusan masalah ............................................................................... 7

BAB II.
PEMBAHASAN
A.   Pentingnya stabilitas politik guna menciptakan kepastian Hukum .......... 8
B.   Pendekatan sosiologi hukum dapat mewujudkan kepastian hukum
dan penegakkan hukum di Indonesia ................................................... 17

BAB III.
KESIMPULAN DAN SARAN
A.   Kesimpulan ........................................................................................... 29
B.   Saran ..................................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan ini kita tidak bisa dilepaskan dengan keterikatan hukum dan politik. Bahkan dalam sistem pemerintahan hal tersebut telah menjadi dasar. Dapat dikatakan bahwa struktur hukum dapat berkembang dalam segala konfigurasi politik.[1] Kerapkali hukum itu tidak ditegakkan seperti sebagaimana mestinya karena adanya intervensi politik.
Oleh sebab itu saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan hati nurani. Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Hukum di Indonesia yang bisa kita lihat saat ini bisa dikatakan sebagai hukum yang carut marut. Mengapa? Karena dengan adanya pemberitaan mengenai masalah penegakan hukum di media cetak maupun media elektronik kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hukum di Indonesia carut marut.
Sebenarnya permasalahan hukum di Indonesia terkait dengan konflik di masyarakat dari sudut pandang sosiologi hukum dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya yaitu sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum. Sosiologi hukum juga membahas pengaruh timbal balik antara perubahan hukum dan masyarakat. Perubahan hukum dapat mempengaruhi masyarakat dapat menyebabkan terjadinya perubahan hukum. Hal ini merupakan objek yang menyentuh dari aspek sosiologi hukum, atau aspek sosial masyarakat oleh karena tak ada keragu-raguan lagi bahwa suatu sistem hukum merupakan pencerminan dari sistem sosial dimana sistem hukum tadi merupakan bagiannya.[2] Akan tetapi persoalannya tidak semudah itu, karena perlu diteliti dalam keadaan-keadaan apa dan dengan cara-cara yang bagaimana sistem sosial mempengaruhi suatu sistem hukum sebagai subsistemnya, dan sampai sejauh manakah proses pengaruh mempengaruhi tadi bersifat timbal balik. Sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya.
Menurut Helbert Blumer, interaksi dengan simbol, isyarat dan juga bahasa menunjukkan kepada sifat kekhasannya adalah bahwa manusia saling menterjemahkan dan saling mendefinisikan tindakannya. Bukan hanya sekedar reaksi belaka dari tindakan seseorang terhadap orang lain tetapi didasarkan pada “makna” yang diberikan terhadap tindakan orang lain itu. Teori interaksi simbolik melihat pentingnya interaksi sosial sebagai sebuah sarana ataupun penyebab ekspresi tingkah laku manusia.[3]
Interkasi sosial tidak saja mempunyai korelasi dengan norma-norma, akan tetapi juga dengan status, dalam arti bahwa status memberikan bentuk atau pola interaksi. Status merekomendasikan perbedaan martabat, yang merupakan pengakuan interpersonal yang selalu meliputi paling sedikit satu individu yaitu siapa yang menuntut dan individu lainnya yaitu siapa yag menghormati tuntutan itu.[4]
Charles Sampford dengan jeli dan lugas melancarkan kritik terhadap teori- teori hukum yang dibangun berdasarkan konsep sistem (sistemik atau keteraturan). Bagi dia, hukum itu tidak selalu didasarkan pada teori sistem (mengenai) hukum, karena pada dasarnya hubungan-hubungan yang terjadi dalam masyarakat menunjukkan adanya hubungan yang tidak simetris (asymmetries). Inilah ciri khas dari sekalian hubungan sosial, yang dipersepsikan secara berbeda oleh para pihak. Dengan demikian apa yang dipermukaan tampak sebagai tertib, teratur, jelas dan pasti, sebenarnya di dalamnya penuh dengan ketidakpastian.
Menurut Prof. Zainuddin Ali, M.A, hukum adalah pelembagaan aturan.[5] Ketika masyarakat menyadari bahwa kekuasaan setiap individu perlu di kontrol oleh hukum maka hak dan kewajiban tidak ditentukan oleh yang berkuasa, melainkan oleh yang diakui bersama sebagai suatu kebenaran. Adapun politik adalah permainan kekuasaan. Dalam masyarakat yang tidak berhukum (hukum rimba), melarat dan berbudaya rendah pun, politik tetap ada. Di dalamnya terdapat segala cara untuk meningkatkan kekuasaan individu atau kelompok. Menurut Prof. Subekti SH, politik juga bisa di artikan segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada.
Hubungan hukum dan politik pada prinsipnya telah diatur dalam sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945 diantaranya menyatakan prinsip “Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar)”.
Kajian tentang politik di Indonesia berhubungan erat dengan kebijakan di bidang hukum, seperti sekeping mata uang yang sulit untuk dipisahkan satu dengan yang lainnya. Dalam kenyataan bahwa hukum merupakan produk politik, yang diciptakan untuk mengatur tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hukum berkaitan pula dengan manusia, yang memenuhi tugasnya di dunia untuk menciptakan aturan hidup bersama yang baik, yakni secara rasional dan moral berpedoman kepada hak-hak azazi manusia. Sebagai produk politik hukum diciptakan oleh negara dan dianggap sah apabila dikukuhkan oleh negara.
Friedrich Karl von Savigny[6] atau yang dikenal dengan nama Von Savigny berpendapat kekuasaan untuk membentuk hukum terletak pada rakyat yang terdiri dari kompleksitas individu dan perkumpulan. Pembuat undang-undang harus mendapat bahannya dari rakyat dan ahli hukum dengan mempertimbangkan perasaan hukum dan perasaan keadilan masyarakat. Hal ini di pertegas pernyataan dari John Austin yang menyatakan hukum merupakan perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.
Mengenai politik dan hukum dalam suatu negara sebenarnya ada di tangan pemerintah, sebagai pihak yang berwenang menjalankan roda kenegaraan berhak untuk mengeluarkan produk hukum yang sesuai dengan corak politik yang berlaku di suatu masyarakat negara, dengan tujuan untuk menciptakan suatu aturan yang mengarah kepada keadilan dan kesejahteraan. Namun kemauan politik pada tingkat nasional akan kurang berarti apabila tidak diteruskan sampai ke lapisan kehidupan yang lebih rendah. Bahkan tidak berlebihan kiranya, apabila dikatakan indikator untuk keberhasilan pelaksanaan kemauan tersebut sebaiknya dilihat pada tempat-tempat yang jauh dari pusat kekuasaan atau pemerintah. Bukan hanya di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Makasar atau Semarang, melainkan harus menjangkau sampai ke pelosok desa yang terpencil di seluruh tanah air.
Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, SJ mengatakan bahwa sifat manusia sebagai makhluk sosial berdimensi politik, dengan kata lain manusia adalah makhluk yang mengenal kepentingan bersama.[7] Dalam kerangka demikian, maka hukum merupakan lembaga penata kehidupan bersama yang normatif, sedangkan negara dipandang sebagai lembaga penata kehidupan yang efektif. Dari pernyataan ini dapat dilihat bahwa negara selaku lembaga politik harus secara dinamis melakukan pengaturan terhadap manusia yang ada di dalam negara supaya tidak terjadi konflik atau pertentangan satu dengan yang lainnya. Apabila negara tidak mampu secara dinamis melakukan hal tersebut maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi pertentangan dan pertikaian yang sulit untuk diatasi. Oleh karena itu ketentuan hukum yang ditetapkan harus bernuansa memperjuangkan rakyat dan harus ditegakkan tanpa ada diskriminasi atau perbedaan.
Untuk menjawab persoalan-persoalan itu, diperlukan kesediaan setiap orang untuk mau melihat dunia hukum bukan sebagai keadaan yang serba tertib dan teratur, melainkan sebagai realitas yang serba kacau. Dari sinilah teori kekacauan (chaos theory) sebagai bagian dari sosiologi hukum sangat diperlukan. Keterbatasan dan kegagalan dogmatik hukum dalam menjelaskan berbagai fenomena dan realistis sosial itu, tidak boleh dibiarkan karena masyarakat akan terus menuntut adanya penjelasan dan penyesuaian yang memuaskan dan benar terhadap persoalan-persoalan tersebut.

B.   Rumusan Masalah
Dari uraian diatas dapat dirumuskan beberapa masalah:
1.    Apakah stabilitas politik dapat menciptakan kepastian hukum?
2.    Apakah pendekatan sosiologi hukum dapat menciptakan kepastian dan
penegakkan hukum di Indonesia?


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pentingnya stabilitas politik guna menciptakan kepastian Hukum
Fungsi hukum adalah memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak-hak manusia, dan mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. Ketiga tujuan ini tidak saling bertentangan, tetapi merupakan pengisian satu konsep dasar, yakni bahwa manusia harus hidup dalam suatu masyarakat, dan masyarakat itu harus diatur dengan baik. Apabila pembicaraan sudah sampai kepada tata hukum, maka ketertiban merupakan tujuan dari tata hukum itu. Hal ini tidak mengherankan, karena yang menjadi taruhan pada saat itu adalah bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat. Dengan demikian, ketertiban harus dipertahankan dengan mengesampingkan tuntutan-tuntutan dan pertimbangan-pertimbangan lain.
Selanjutnya dapat direnungkan bahwa tiap-tiap manusia menginginkan ketentraman di tengah pergolakan-pergolakan hidup.[8] Karenanya orang-orang selalu berusaha untuk mengamankan dirinya terhadap bahaya yang mungkin timbul. Salah satu upaya ke arah itu adalah mengatur kehidupan bersama sedemikian rupa sehingga tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Untuk itu hukum yang ditentukan oleh pemerintah, harus mempunyai kepastian berlaku (legalitas). Kepastian hukum merupakan hal yang penting karena berpengaruh kepada perkembangan pembangunan. Bagi mereka yang ingin berinvestasi tentunya menginginkan kepastian hukum, ketertiban, serta keadilan dalam masyarakat. Kondisi tersebut akan dapat menjamin kelangsungan serta keamanan dunia usaha dan pembangunan.
Sebagaimana yang dikemukakan di atas, bahwa melalui hukum manusia hendak mencapai ketertiban umum dan keadilan. Namun harus disadari, bahwa ketertiban umum dan keadilan yang hendak dicapai melalui hukum itu harus dapat dicapai dan dipertahankan secara dinamis melalui penyelenggaraan hukum dalam suatu proses sosial yang diterima oleh masyarakat. Dari segi sosiologis sering dikatakan oleh para ahli sosiologi hukum, bahwa proses pembuatan undang-undang, pelaksanaan undang-undang, maupun peranan-peranan yang tersangkut di dalamnya sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial budaya.
Di Indonesia terlihat bahwa kekuatan politik sangat mempengaruhi pembentukan dan penegakan hukum, sehingga para pengamat hukum dan masyarakat berpendapat bahwa perkembangan struktur sosial di Indonesia tidak sesuai dengan hukumnya.[9] Memang bisa dibayangkan bahwa akal yang bekerja berdasarkan kehendak bebas, dapat sampai kepada aneka keputusan yang berbeda atau bersilangan. Untuk itu perlu adanya patokan perilaku yang sedemikian rupa, sehingga dapat dibedakan mana perilaku yang dapat diterima oleh umum dan mana yang tidak. Oleh karena itu pemerintah selaku penyelenggara negara secara politis harus dapat memberikan patokan atau batasan terhadap produk hukum yang dikeluarkan, sehingga tidak terjadi salah tafsir antara berbagai pihak dan kalangan, demi terciptanya kepastian hukum.[10]
Perubahan hukum muncul dari proses politik dan tidak dari tindakan kebijaksanaan oleh lembaga-lembaga hukum untuk memenuhi tuntutan para pejuang politik. Dalam hal ini pemisahan antara hukum dan politik harus jelas, dan pelanggaran hukum harus ditindak dengan tegas tanpa adanya perbedaan.
Kepastian hukum harus mempunyai bobot yang formal dan materil. Kinerja yang formal dihasilkan oleh konsistensi dalam penerapan cara dan prosedur yang relatif sama terhadap suatu perilaku yang menyimpang dari norma hukum. John Rawls memberi nilai yang tinggi kepada kinerja formal dari hukum, sehingga hukum dapat memberi jaminan bagi keadilan yang substansial. Namun saat ini terlihat bahwa hukum memberikan desain institusional bagi tindakan otoritas politik negara. Pembentukan dan realitas kerja hukum sangat dipengaruhi oleh sifat serta karakter negara, dan terikat erat pada hubungan-hubungan kekuasaan politik serta proses perubahan tatanan sosial.
Dari kenyataan tersebut dapat dilihat bahwa stabilitas politik sangat perlu dijaga agar jangan sampai terjadinya kekacauan dan ketegangan politik, sehingga dapat menciptakan keresahan dalam masyarakat. Secara teoritis, stabilitas politik banyak ditentukan oleh tiga variabel yang berkaitan satu sama lain, yakni perkembangan ekonomi yang memadai, perkembangan perlembagaan baik struktur maupun proses politik, dan partisipasi politik. Adapun yang penting menurut tinjauan kebijakan strategis, ialah sejauh mana lembaga perumus kebijakan dan penyusun peraturan hukum, secara konsisten tetap mengacu kepada sistem nilai yang filosofis supaya setiap garis kebijakan dan aturan hukum yang tercipta, dinilai akomodatif dan responsif terhadap aspirasi masyarakat, secara adil dengan perhatian yang merata. Kearifan politis dengan pendekatan kultural merupakan tuntutan konstitusional seluruh rakyat Indonesia yang struktur sosialnya penuh keanekaragaman, pluralis dan heterogen, beragam-ragam sub etnik, agama, adat istiadat dan unsur-unsur kulturalnya.
Apabila stabilitas politik dan perhatian terhadap kultur masyarakat dapat dijaga, maka hukum senantiasa dapat ditegakkan secara pasti sesuai dengan prosedurnya, tetapi apabila sebaliknya maka yang terjadi menurut Prof. Dr. Alo Liliweri, M.S akan membentuk perasaan yang tidak beres yang melanda hubungan antara satu bagian dengan bagian lain, satu orang dengan orang lain, satu kelompok dengan kelompok lain yang berujung pada terjadinya konflik.[11]
Prof. Dr. Faturochman, M.A menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik terjadi disebuah tempat. Enam hal tersebut antara lain yakni:[12]
1.    Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak
2.    Perebutan sumber daya
3.    Sumber daya yang terbatas
4.    Kategori atau identitas yang berbeda
5.    Prasangka atau diskriminasi
6.    Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan).
Konflik yang terjadi dapat dikatakan karena kepentingan beberapa oknum atau pihak yang memang bertujuan untuk mengambil untung dari konflik tersebut. Biasanya dalam konflik yang sering dihembuskan adalah hal-hal yang berbau suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) karena sangat mudah untuk di adu domba.
Salah satu sumber utama konflik dan kekerasan di berbagai daerah adalah kondisi penegak hukum di Indonesia yang sangat lemah. Ditambah lagi dengan berbagai bentuk diskriminasi dan marginalisasi dalam pengaturan sosial-ekonomi, politik dan pemanfaatan sumber daya alam bahkan kehidupan budaya. Berbagai perasaan ketidakadilan dan ketidakpuasan umum pun berkecamuk dan meledak menjadi tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan dan mengerikan.
Dalam konteks Indonesia sendiri, kita kerap kali mendengar terjadinya konflik SARA. Beragamnya suku, agama, ras, dan golongan membuat Indonesia sebagai bangsa yang rawan konflik. Dari ujung timur sampai ujung barat bangsa ini sering kali terdengar jerit tangis bahkan tetesan darah menyelimuti tanah air. Semboyan yang terdapat di kaki kuat sang Burung Garuda “Bhineka Tunggal Ika” nampaknya belum menjiwai seluruh warga bangsa ini. Rasa satu kesatuan sebagai warga negara bukanlah hal yang utama, melainkan arti kata semboyan bangsa ini hanya sekedar wacana belaka.
Berikut ini sebagian kasus akibat konflik yang menimpa bangsa Indonesia sejak lengsernya otoritas orde baru dan lahirnya era reformasi yang mendapatkan perhatian luas publik dan ekspos media massa diantaranya:[13]
1.    Konflik Tarakan: Bentrok etnis antara suku Dayak asli Kalimantan dan warga pendatang. Berita terakhir bentrok etnis antar suku, suasana Kota Tarakan Kalimantan Timur kembali mencekam. Ribuan warga adat dayak Tidung yang tergabung dalam Persatuan Suku Asli Kalimantan (Pusaka) mendatangi dan mengepung Kepolisian Resor Kota Tarakan, Selasa (28/9/2010). Mereka menuntut aparat agar segera menangkap pembunuh Abdullah (pemangku adat dayak Tidung) yang menjadi pemicu kerusuhan di Tarakan 2010. Warga yang datang ke kantor polresta melengkapi diri dengan berbagai senjata tajam jenis mandau (pedang), badik, dan golok. Sementara puluhan aparat polresta berjaga-jaga di sekitar kantor. Akibat kedatangan massa, situasi di sekitar kantor Polresta Tarakan memanas. Massa juga melakukan orasi, selain mendesak kepolisian segera menangkap pembunuh Abdullah, juga mengusir etnis pelaku pembunuhan dari Kota Tarakan.
2.    Konflik Tolikara: Tentang Mayoritas-Minoritas dan Perjuangan Tanah Damai. Tanggal 11 Juli 2015 telah memberikan surat selebaran yang mengatasnamakan Jemaat GIdi dan berisi “GIDI Wilayah Toli, selalu melarang agama lain dan gereja Denominasi lain tidak boleh mendirikan tempat-tempat ibadah lain di Kabupaten Tolikara” dan melarang berlangsungnya kegiatan ibadah shalat Ied Umat muslim di kabupaten Tolikara yang ditandatangani oleh Pendeta Mathen Jingga S.Th MA dan Pendeta Nayus Wenda S.Th. Pukul 07.10 WIT Massa pimpinan pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo (Koorlap) mulai melakukakan aksi pelemparan batu dan perusakan kios-kios yang berada dekat dengan masjid baitul Muttaqin.
3.    Konflik Etnis Ras Bali dan Sumbawa: Bentrok antara etnis Bali dan etnis Samawa atau Sumbawa terjadi Selasa (22/1/2013) siang di kabupaten Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat. Sejumlah rumah dan mobil milik etnis Bali pun dibakar warga Sumbawa. Kerusuhan itu berawal dari adanya informasi meninggalnya seorang gadis etnis Sumbawa dengan tubuh penuh luka lebam dan pakaian dalam robek. Namun saat keluarga korban melaporkan hal tersebut ke Mapolres Sumbawa, pihak kepolisian justru menyatakan gadis tersebut tewas akibat kecelakaan, sementara keluarga korban mengaku anak gadisnya ini berpacaran dengan seorang anggota polisi dari etnis Bali.
4.    Konflik Golkar: terjadi di dalam tubuh partai semakin meruncing dan bahkan memicu tindakan kekerasan antara pendukung dua kubu. Hari Senin (26/11/2014), tiga puluh empat Pimpinan Daerah Tingkat I Partai Golkar pro Aburizal Bakri mengumumkan dukungan mereka terhadap pelaksanaan Musyrawarah Nasional IX Partai Golkar yang akan digelar di Bali mulai 30 November mendatang. Sementara kalangan anti Aburizal Bakri, mengatasnamakan rapat pleno DPP Golkar justru memecat Ketua Umum Aburizal Bakrie dan Sekjen Idrus Marham, dan membentuk Presidium Penyelamat Partai Golkar, yang mengagendakan Munas Desember mendatang. Di pihak lain, Presidium Penyelamat Partai Golkar menyatakan keputusan rapat pimpinan nasional di Yogyakarta beberapa waktu lalu tidak sesuai dengan aturan partai, karena diputuskan sepihak oleh kelompok pendukung Abrurizal Bakrie.
5.    Konflik Maluku dan Maluku Utara (tahun 1999-2004).
1)    Masyarakat yang meninggal akibat kerusuhan ini mencapai angka 8.000-9.000 orang
2)    70.000 Masyarakat lainnya mengungsi
3)    Kerugian materi dalam kasus ini adalah 29.000 rumah terbakar, 7.046 rusak termasuk 46 masjid, 47 gereja, 719 toko, dan 38 gedung pemerintah
4)    Ketidaknetralan aparat keamanan dan pecahnya struktur pemerintah ke dalam dua komunitas.
6.    Konflik Sampit
1)    Kasus ini terjadi pada tahun 2001 dan puncak konfliknya selama 10 hari. Tercatat 469 orang meninggal dan 108.000 orang mengungsi.
2)    Kerugian materi sebanyak 192 rumah dibakar dan 784 lainnya rusak, 16 mobil dan 43 sepeda motor juga hancur.
3)    Pemerintah pusat lamban melakukan darurat sipil, sehingga fasilitas dan masyarakat yang terlibat dalam konflik terlambat dihentikan.
7.    Konflik Transito Mataram (Tahun 2001)
1)    Pada kasus ini sebanyak 9 orang meninggal, 8 luka-luka, 9 orang mengalami gangguan jiwa
2)    79 orang terusir dari rumahnya, 9 orang dipaksa cerai, dan 3 ibu keguguran.
3)    Kasus ini berlatar perbedaaan keyakinan pemeluk Ahmadiyah. Sejak tahun 1998-2006, terjadi 7 kali penyerangan kepada kelompok ini. Akibat konflik itu, 11 empat ibadah dan 144 rumah rusak serta harta beda dijarah.
8.    Konflik Lampung Selatan
1)    Kasus ini terjadi pada 27-29 Oktober 2012 di Kecamatan Kalianda dan Way Panji. 14 Orang dilaporkan tewas dan belasan luka parah. Sementara sebanyak 1.700 warga mengungsi.
2)    Diperkirakan kerugian mencapai Rp 24,88 miliar
3)    Pemicunya karena terjadi kesalahpahaman antara dua kelompok warga, sehingga 532 rumah dibakar.
9.    Konflik Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta (Trisakti)
1)    Pada peristiwa ini, sebanyak 1.217 orang meninggal, 85 orang diperkosa dan 70.000 orang mengungsi.
2)    Kejadian ini berlangsung selama 3 hari dari 13-15 Mei 1998 dengan kerugian materil diperkiaran mencapai Rp 2,5 triliun.
3)    Pemicunya karena terjadi penculikan aktivis, penembakan terhadap mahasiswa Trisakti dan memburuknya ekonomi saat itu. Kebanyakan etnis Tionghoa menjadi sasaran kemarahan.
Kasus diatas jelas tidak mencerminkan kepastian hukum. Oleh karena itu perlu adanya stabilitas politik dari pemerintah, agar hukum dapat dijalankan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Ada beberapa faktor yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menuju kepada kepastian hukum, yaitu:
1)    Norma-norma yang jelas menetapkan apa yang diharuskan dan apa yang dilarang.
2)    Transparansi hukum yang menghindarkan masyarakat dari kebingungan normatif.
3)    Kesinambungan tertib hukum yang memberi acuan bagi perilaku di masa mendatang.
Penerapan faktor-faktor tersebut sebagai acuan bagi orientasi masyarakat maupun penerapan prinsip-prinsip hukum yang berlaku umum harus dilakukan berdasarkan dua prinsip keadilan, agar tidak mencederai rasa keadilan masyarakat, yaitu prinsip daya laku hukum yang umum serta prinsip kesamaan di hadapan hukum.[14]
Jika ada orang tertentu harus dihadapkan ke muka pengadilan karena suatu indikasi pelanggaran hukum, namun karena ada aneka kelebihan dan dengan alasan politis, maka terhadap orang tersebut melekat semacam kekebalan hukum, sehingga dia dibebaskan dari indikasi pelanggaran hukum itu secara politis. Dalam hal ini akan didapat suatu kasus, dimana prinsip daya laku hukum yang umum sudah dilanggar, hukum tidak lagi berlaku secara umum dan telah melakukan pilih kasih, sehingga hukum yang seperti itu akan segera memperoleh citra seorang ibu tiri. Dari kenyataan tersebut tertumpu harapan, baik dari komponen-komponen penegak hukum maupun dari masyarakat sendiri, apalagi dari lembaga-lembaga kenegaraan yang menetapkan kaidah hukum, secara sadar mau melaksanakan atauran hukum tersebut demi terciptanya suatu perdamaian dan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Dalam negara hukum, sebagaimana halnya Indonesia kekuasaan pemerintah diselenggarakan berdasarkan atas hukum dan bukan berdasarkan atas kekuasaan. Kesinambungan sikap, konsistensi dan tindakan dari lembaga-lembaga kenegaraan itu sangat menetukan kadar kepastian dan tindakan dari lembaga-lembaga kenegaraan itu sangat menentukan kadar kepastian hukum. Rapuhnya kesinambungan sikap dan konsistensi dalam tindakan akan mengakibatkan kaburnya kepastian hukum.[15] Karena lembaga-lembaga kenegaraan senantiasa bertanggungjawab dan berwenang terhadap terhadap penyelenggaraan hukum, yang pada akhirnya merupakan produk dari proses politik. Kesinambungan sikap dan konsistensi tindakan mereka juga sangat tergantung dari stabilitas politik.

B.   Pendekatan sosiologi hukum dapat mewujudkan kepastian hukum dan penegakkan hukum di Indonesia
Salah satu sumber utama konflik dan kekerasan di berbagai daerah adalah kondisi penegak hukum di Indonesia yang sangat lemah.[16] Ditambah lagi dengan berbagai bentuk diskriminasi dan marginalisasi dalam pengaturan sosial-ekonomi, politik dan pemanfaatan sumber daya alam bahkan kehidupan budaya. Berbagai perasaan ketidakadilan dan ketidakpuasan umum pun berkecamuk dan meledak menjadi tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan dan mengerikan.
Penduduk yang mendiami wilayah Negara Republik Indonesia harus mengatakan bahwa pelaksanaan hukum di negeri ini telah menjadi sumber utama yang menyebabkan timbulnya berbagai konflik dan kekerasan di Indonesia. Periode otoritarian yang intens selama empat dasawarsa pada masa Orde Lama dan Orde Baru telah menghasilkan sistem hukum repsesif yang tidak saja dirasakan akibatnya secara langsung telah membentuk kesadaran, perilaku dan struktur sosial yang bersendikan pada kekerasan sebagai norma utama. Oleh karena itu wajah hukum di Indonesia adalah merupakan biografi kekerasan yang kita lakukan selama bertahun-tahun.[17]
Melalui berbagai produk perundang-undangan maupun praktik hukum yang dilakukan oleh birokrasi, aparat keamanan dan pengadilan dapat diketahui bagaimana kekerasan beroperasi serta memproduksi diri dalam berbagai sikap dan perilaku sosial masyarakat di Indonesia. Pelaksanaan hukum di Indonesia telah melembaga kekerasan dalam berbagai bentuk pengaturan, kebijakan dan putusan hukum yang menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial ekonomi, diskriminasi dan perilaku kekerasan sehari-hari.
Jacques Derrida dalam Position (1981)[18] mengungkapkan bahwa sejak kekerasan dalam hukum selalu terlupakan oleh perjalanan waktu dan tersembunyikan oleh berbagai fiksi tentang moralitas penegak hukum.[19] Akibatnya, kita sering tidak mengenali lagi adanya kekerasan yang diproduksi oleh berbagai produk hukum dan menganggapnya sebagai sebuah hal yang wajar bahkan tidak jarang menganggapnya sebagai keharusan moral dalam dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Sebagai contoh tindakan penganiyaan dan pembunuhan yang dilakukan dalam berbagai peristiwa main hakim sendiri atau konflik di berbagai daerah justru sering memperoleh dukungan dan pengesahaan dari lingkungan masyarakat sekitar. Akibatnya, ketika aparat keamanan mengambil tindakan hukum terhadap pelakunya, masyarakat justru memberikan reaksi balik dengan menuntut pembebasan pelaku dan menyerang aparat keamanan. Sepertinya kekerasan merupakan keharusan moral yang harus dilakukan untuk menyelesaikan suatu masalah atau konflik.
Keadaan tersebut disebabkan masyarakat Indonesia tertentu mengalami kesulitan untuk mengenali lagi referensi lain dalam kehidupan sosialnya selain kekerasan itu sendiri. Pola represif yang beroperasi selama rezim otoritarian tidak memberikan pengalaman kekerasan pada masyarakat Indonesia sehingga mereka kehilangan kapasitas, kreativitas sosial dan “imajinasi hukum” dalam menyelesaikan berbagai konflik yang dihadapi selain menggunakan cara-cara kekerasan. Apa yang dilakukan tidak lebih dari bentuk reproduksi atas berbagai nilai dan norma yang dikenalinya dari berbagai aturan serta praktik hukum yang dialaminya.
Aturan hukum yang disuplai oleh negara telah menghancurkan kesadaran dan norma-norma sosial masyarakat lokal yang selama bertahun-tahun telah berhasil mempertahankan tatanan sosial di antara mereka. Sebagai contoh, penyeragaman struktur pemerintahan desa melalui Undang-Undangan Nomor 5 Tahun 1979 yang menghancurkan struktur kepemimpinan lokal.[20] Kemudian kebijakan birokrasi dalam pengelolahan hutan yang memberikan konsesi PHP (hak pengusahaan hutan) bagi segelintir orang yang tidak saja telah menyebabkan kehancuran lingkungan alam tetapi juga menghancurkan kesadaran kultural yang dimilikinya, ditambah lagi dengan berbagai diskriminasi yang mereka rasakan dalam berbagai kebijakan politik dan pemerintahan (seperti tersingkirnya “putera daerah”) serta penegakan hukum yang sangat lemah yang telah melahirkan perasaan ketidakadilan yang meluas.
Contoh lain, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1990 tentang Otonomi Daerah. Pada tahun 2004, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah sudah dianggap tidak sesuai dengan adanya perkembangan keadaan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sampai saat ini sudah banyak mengalami perubahan, terakhir kali adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 mengenai Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah.[21]
Undang-undang dimaksud dalam pelaksanaannya menciptakan diskriminasi antara penduduk kelahiran setempat dengan penduduk pendatang. Yang disebut terakhir itu, akan melahirkan penduduk putera daerah dan penduduk pendatang. Putera daerah diharapkan mendapat perioritas pada jabatan-jabatan tertentu. Hal itu akan memicu konflik sosial di masa yang akan datang bila tidak diteruskan oleh perancang roh (jiwa) peraturan perundang-undangan otonomi daerah dimaksud.
Semuanya itu telah menghilangkan kapasitas dan kreativitas sosial yang mereka miliki pada saat harus berhadapan dengan konflik yang setiap saat dapat timbul dalam kehidupan sosial mereka. Mereka hanya mengenal kekerasan sebagai satu-satunya cara yang disuplai dan dikembangkan oleh berbagai aturan dan praktik hukum negara. Dalam kondisi seperti ini tidak sepenuhnya dapat disalahkan bila mereka menggunakan kekerasan sebagai cara penyelesaian konflik. Dalam hal ini yang terjadi bukan hanya karena adanya ketidakpercayaan pada hukum dan aparat hukum tetapi lebih jauh dari itu yaitu masyarakat memang tidak terlatih untuk mengembangkan kreativitas sosial dan imajinasi hukum dalam menyelesaikan berbagai konflik yang dihadapinya selain dengan jalan kekerasan.
Meskipun terkadang perkembangan hukum masih harus tertatih-tatih mengikuti perkembangan zaman, namun ia berusaha untuk terus memberikan sumbangsih pada kegiatan dan upaya pengkajian hukum ini. Hal ini berlaku pula pada pandangan terhadap perkembangan birokrasi-birokrasi yang berhubungan dengan struktur hukum itu. Bentuk-bentuk hukum yang menekankan pada kekuasaannya mulai dikritisi dan diubah menjadi aturan hukum yang lebih mengakar kepada keinginan masyarakat luas dimana, bentuk hukum dan dikenal sebagai rasionalitas formal, diarahkan kepada rasionalitas substansif.
Dengan tingkat kesejahteraan dan peraturan, tekanan yang lebih besar yang selama ini ditempatkan pada hukum rasional formal yang memberikan perhatian dan fungsi pada orientasi pemerintah akan banyak mengarah pada pembangunan hukum yang berorientasi pada penguatan sub-sub sistem yang ada pada masyrakat, agar natinya hukum akan dapat digunakan sebagai instrument untuk orientasi tujuan dan intervensi arah dengan maksud tertentu. Dengan adanya upaya itu maka perlu dilakukan suatu usaha sebagai ‘rematerialisasi hukum’ sehingga terus ada upaya dalam menuju suatu tatanan hukum modern.[22] Dengan demikian maka orientasi hukum dan masyarakat harus senantiasa didengungkan agar bagian dari warisan program status welfare-regulatory ini akan berkembang menuju mengacu pada solusi dalam merubah rasionalitas formal ini, sebab hukum dibentuk tidak untuk hanya kepentingan hukum itu sendiri, namun untuk kepentingan manusia dan kehidupan masyarakat. Oleh karena disadari bahwa kehidupan manusia dan masyarakat tanpa aturan hukum akan kacau atau tidak tertib.[23]
Perubahan pemikiran hukum dari rasionalitas formal ke rasionalitas substantif digunakan sebagai instrumen untuk melakukan perubahan yang berorientasi pada suatu tujuan atau sasaran, yang lebih umum dan terbuka serta lebih terinci. Pendekatan teori neo-evolusioner[24] menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi pada tatanan hukum dan masyarakat dalam suatu negara yang oleh Gunther Teubner menggunakan mengarahkan kepada satu perspektif proses perubahan hukum dan sosial dengan hukum refleksif.[25] Sebelumnya, Teubner dalam menguraikan pendapat Philippe Nonet dan Philip Selznick bahwa Nonet dan Selznick mengembangkan model hukum dengan tiga tahapan evolusioner yakni: represif, otonom, dan responsif. Selain itu, Nonet dan Selznick juga menyatakan bahwa hukum represif sebagai tatanan hukum yang tidak menjamin keadilan substantif, memiliki potensi yang membuat otoritas penguasa semakin efektif demi mempertahankan status quo.[26]
Namun demikian, dengan teori Nonet dan Selznick ini Tuebner melihat adanya perkembangan yang mengarah pada penggunaan dan pengembangan hukum represif secara meluas tanpa banyak memasukkan “campurtangan” yang memadai dari masyarakat sehingga hukum hanya berkembang tanpa dibarengi dengan perkembangan masyarakat evolusioner dalam hukum dan sosial.
Dalam memahami hubungan antara perubahan dalam hukum dan perubahan dalam masyarakat, diperlukan sebuah teori yang bersifat evolusioner, meskipun teori perkembangan ini tidak selamanya dapat menjelaskan bagaimana sebuah hukum tertentu dapat bekerjasama dengan gambaran-gambaran sosial, ekonomi dan organisasi politik dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, maka teori evolusioner ini seharusnya mampu untuk mempertimbangkan hubungan antara struktur-struktur hukum dan sosial serta membantu kita untuk memahami bagaimana transformasi-transformasi itu dapat terjadi. Dalam sebuah model yang dikembangkan oleh Nonet dan Selznick, Nonet dan Selznick menganalisis sebuah model mengenai proses perubahan hukum yang membebankan aturan yang berpusat pada “dinamika internal” sistem hukum.[27]
Dengan model ini maka aturan-aturan hukum hanya berada pada penguatan-penguatan yang mengatur di dalam lingkungan hukum itu sendiri saja. Hal ini berarti bahwa rematerialisasi hukum ini hanya memperbaiki kondisi hukum itu saja, terlepas dari apakah hukum itu mempunyai dampak yang langsung atau tidak kepada berbagai masalah lain seperti ekonomi, masyarakat, dan budaya. Penguatan yang berpusat pada hukum ini akan memperkuat bentuk hukum yang ada pada sisi pembuat hukum itu sendiri sehingga kecenderungan yang akan muncul adalah hukum akan sulit diterima secara menyeluruh oleh masyarakat sebab orientasi yang dimuat dalam model ini hanya akan menjadikan hukum sebagai poduk otonomi.
Dari gambaran model ini, maka kemungkinan hasil yang dapat dilihat sebagai hasilnya adalah bahwa hukum akan memperkuat otoritas pemerintahan dan akan cenderung mengarahkan pada hukum reperessif atau hukum akan cenderung menguat dengan sendirinya sehingga tidak ada yang dapat mengganggu keadaan hukum ini sehingga menjadi hukum yang otonom (autonomous law). Kemungkinan lain yang akan muncul adalah aturan hukum ini akan berjalan sendiri tanpa adanya unsur sosial didalamnya sehingga akan menimbulkan istilah yang dikenal dengan ‘hukum tanpa masyarakat ‘(law without society).
Membicarakan penegakan hukum, dengan sendirinya harus membahas sistem hukum itu sendiri, karena penegakan hukum dapat dilaksanakan tidak terlepas dari peranan struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum dari masyarakatnya itu sendiri. Bahkan para sosiolog hukum cenderung menekankan  bahwa “budaya hukum” memegang peranan yang sangat penting dan menentukan berfungsinya hukum dengan baik, seperti yang dikatakan oleh J. Brady Anderson “ without  a culture respect and expect the rule of law, the system of justice will remain weak”. Jadi tanpa budaya hukum maka penghargaan dan penghormatan terhadapa rule of law maupun keadilan itu sendiri akan tetap lemah dan tidak berdaya.[28]
Dengan kata lain bahwa budaya hukum merupakan roh yang membuat hukum itu bernafas dan bergerak. Di samping itu, hukum merupakan suatu ungkapan (expression) dari suatu budaya, gagasan tentang hukum, juga merupakan sejarah intelektual manusia. Ide-ide atau gagasan-gagasan tersebut sangat kuat dalam pembatasan dan pemikiran yang langsung tentang hukum, juga memiliki pengaruh besar terhadap sistem hukum dan pengoperasian sistem hukum, dan menanamkan kesadaran hukum berarti menanamkan nilai-nilai budaya.
George Fletcher mengatakan: “Law has become the American civil religion. The Newpapers filled with stories about trials, about pending legislation, about new decision by the courts… Law embodies our aspirations, our sense of ultimate justice, our commitments as nations of diverse ethnicities and religions”.[29] (orang Amerika telah memandang hukum sebagai agama, kemudian media surat kabar telah terbuka secara luas memuat berita-berita peradilan, penundaan pengesahan perundang-undangan, putusan-putusan baru peradilan).
Dari pandangan tersebut menjelaskan bahwa budaya hukum sangat perlu karena menentukan bagaimana hukum itu sebenarnya dijalankan di masyarakat, termasuk bagaimana dapat dioperasionalkan untuk mengatasi berbagai persoalan (konflik sosial). Karena dengan berlakunya suatu hukum, biasanya terjadi suatu masalah hukum bilamana terdapat konflik antara dua pihak, yang diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga ini dapat berwujud bermacam-macam badan atau lembaga, apakah itu yang terkait dalam penegakan hukum formal maupun non formal seperti tokoh-tokoh masyarakat, rohaniawan, cendikiawan, dan lain-lain.
Pada prinsipnya kehadiran hukum berkaitan erat dengan salah satu bentuk penyelesaian konflik yang netral dan tidak memihak. Dengan demikian terdapat suatu hubungan yang erat antara hukum dengan konflik, sebagaimana telah dikatakan oleh Roberto M. Unger[30] didalam bukunya Soerjono Soekanto, yang telah membagi konflik atas tiga bagian, yaitu:[31]
(1)  Konflik antara kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial,
(2)  Konflik antara kebebasan dengan paksaan,
(3)  Konflik antara negara dengan masyarakat.
Sebenarnya secara substansial berbagai peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan konflik sosial yang terjadi selama ini sudah tersedia, namun realitas yang kita temui sampai saat ini penyelesaian konflik sosial sulit diselesaikan melalui pendekatan judicial, seolah-olah hukum sudah mati sebagaimana dikatakan oleh David M. Trubek dikala sistem penegakan hukum dihadapkan pada konflik sosial yang sudah anarkhi, sehingga merupakan suatu tontonan atas keresahan, dan kesenjangan yang setiap hari dapat kita lihat di negeri ini, sehingga prinsip-prinsip untuk menjunjung supremasi hukum demi terwujudkan keadaan dan kepastian hukum lebih tepat disebut sebagai retorika saja.[32]
Oleh karena itu ada beberapa proposisi yang berkaitan dengan kekurang berdayaan penegakan hukum untuk mengatasi konflik sosial yaitu:[33]
(1)  Aparat hukum memang tidak memiliki komitmen untuk mewujudkan supremasi hukum,
(2)  Komitmen yang ada ternyata tidak cukup tinggi, sehingga supremasi hukum yang terwujud berbentuk setengah-setengah, inkonsisten, dan atau diskriminatif, dan
(3)  Terdapatnya komitmen yang tinggi atau cukup kuat untuk mewujudkan supremasi hukum, namun banyak kendala yang dihadapi karena pengakan hukum tidak bisa hanya dilakukan tanda dukungan maupun kerja sama dengan pihak-pihak terkait, utamanya juga kesadaran dari masyarakatnya sendiri.
Polri selaku alat negara penegak hukum (formal) dan dalam sistem penegakan hukum pidana merupakan salah satu unsur dari Sistem Penegakan Hukum Pidana Terpadu, yang bertugas sebagai alat negara memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat demi tercapainya penegakan hukum. Tujuannya adalah untuk mewujudkan keamanan dalam negeri.
Tugas Polri sebagaimana telah ditentukan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 pada prinsipnya sama dengan tugas polisi secara universal, yaitu:
(1)  Memelihara ketertiban umum (maintatenance of order), yaitu dilaksanakan dengan mempertahankan keteraturan melalui pencegahan perilaku yang mengancam ketenteraman masyarakat atau melibatkan konflik pribadi antara dua orang atau lebih,
(2)  Penegakan hukum, (law enforcement), yaitu dilaksanakan untuk mengendalikan kejahatan dengan cara turun tangan dalam berbagai keadaan, apabila hukum telah dilanggar, dan
(3)  Pelayanan (services), yaitu melakukan pelayanan dan bantuan yang biasanya tidak berhubungan dengan kejahatan.
Penegakan hukum dalam menangani masalah-masalah konflik tidak hanya mencakup penegakan hukum dalam arti represif (penindakan) tetapi penegakan hukum dimulai dari preemtif (konsultasi) dan preventif (mencegah). Oleh karena itu Polri sebagai salah satu unsur penegak hukum yang terkait dengan sistem penegakan hukum merupakan line terdepan dalam menghadapi berbagai konflik sosial, (dan sekaligus juga aparatur hukum yang pertama bersentuhan dengan HAM) mulai dari tahap awal. Artinya sebelum timbul akibat yang bertentangan dengan hukum, misalnya dalam taraf penyampaian inspirasi melalui unjuk rasa, sebagai hak setiap warga negara. Dengan demikian kehadiran Polri jelas dalam hal ini sebagai pengawal terlaksananya prinsip-prinsip demokrasi yaitu kebebasan menyampaikan inspirasi secara aman dan tertib[34], walaupun didalamnya sudah terkandung konflik sosial.
Sebenarnya sebelum dilakukan penegakan hukum baik yang sifatnya preventif dan represif selalu dilakukan penegakan hukum yang sifatnya preemtif, melalui berbagai pendekatan pendidikan, penyuluhan, dan ceramah-ceramah agar tumbuh dan tertanam dalam diri masyarakat prinsip “jadilah menjadi polisi pada dirinya sendiri maupun lingkungannya” dengan kata lain mempolisikan masyarakat. Kemudian dilaksanakan kearah tindakan yang lebih real yaitu mengaliminir berbagai kejahatan melalui tindakan preventif (pencegahan) yang dilaksanakan dengan berbagai tindakan polisi yang bersifat non justicial (non pro justitia).[35]
Dengan demikian kepolisian kedepan masih harus bekerja keras dalam mengatasi berbagai konflik sosial dan berbagai permasalahan lainnya yang sifatnya semakin kompleks, untuk mewujudkan rasa aman terhadap segenap komponen bangsa ini, karena keamanan merupakan faktor yang sangat menunjang atas berhasilnya sektor lainnya, walupun pada prinsipnya ada ketergantungan satu sama lain.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A.   Kesimpulan
Bangsa Indonesia hingga saat ini masih saja terjadi konflik yang disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum termasuk adanya hubungan campur tangan politik yaitu kaum elite tertentu yang memiliki kekuasaan dan terdapatnya kelompok-kelompok tertentu yang dominan di beberapa daerah di Indonesia yang menyebabkan timbulnya suatu keadaan yang memarginalkan kepada kelompok lain.
Dari sekian kasus yang telah diuraikan, pemerintah sudah berupaya mengeluarkan kebijkan-kebijakan untuk menangggulangi atau menyelesaikan konflik tersebut namun, penerapan upaya tersebut kurang maksimal karena masih banyak sifat egois dari kelompok-kelompok tertentu yang sangat fanatik sehingga tidak mau mengindahkan kebijakan-kebijakan tersebut.
Sebagai contoh konflik yang terjadi di poso pada tahun 1998 merupakan salah satu konflik yang sangat besar. Konflik ini disebabkan oleh politik yang memanas yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan individual atau kelompok tertentu agar menjadi pemenang dalam politik tersebut. Hal ini sangat disayangkan sekali mengingat politik esensinya tidak boleh mengumbar atau mengatasnamakan agama untuk jalan pemenangan karena hal tersebut tentu saja bisa menimbulkan hal-hal yang membuat perpecahan.
Konflik dilatar belakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Disintegrasi bangsa, separatisme merupakan permasalahan kompleks, akibat akumulasi permasalahan politik, ekonomi dan keamanan yang saling tumpang tindih sehingga perlu penanganan khusus dengan pendekatan yang arif serta mengutamakan aspek hukum, keadilan, sosial budaya. Kepemimpinan dari elit politik nasional hingga kepemimpinan daerah sangat menentukan meredamnya konflik pada skala dini. Namun pada skala kejadian diperlukan profesionalisme aparat kemanan secara terpadu. Efek global, regional dengan faham demokrasi yang bergulir saat ini perlu diantisipasi dengan penghayatan wawasan kebangsaan melalui edukasi dan sosialisasi.
Hukum hanyalah salah satu alat kontrol sosial dalam masyarakat. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial dapat diterangkan sebagai fungsi hukum untuk menetapkan tingkah laku mana yang dianggap merupakan penyimpangan terhadap aturan hukum, dan apa sanksi atau tindakan yang dilakukan oleh hukum jika terjadi penyimpangan tersebut. Fungsi Hukum sebagai alat rekayasa sosial ini, yang sering disebut sebagai a tool of engineering yang pada prinsipnya merupakan fungsi hukum yang dapat diarahkan untuk merubah pola-pola tertentu dalam suatu masyarakat. Terlaksana atau tidak terlaksananya fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial, ditentukan oleh faktor aturan hukumnya sendiri dan faktor pelaksana (orang) hukumnya.

B.   Saran
Negara sebagai lembaga yang akan mewujudkan harapan masyarakat kepada kehidupan yang tertib, adil dan sejahtera pemerintahnya harus mampu menciptakan stabilitas politik, sehingga keputusan-keputusan hukum dapat dilaksanakan secara konsisten dalam upaya menuju kepada kepastian hukum, demi ketertiban dan kesejahteraan masyarakat.
Demikian juga halnya dengan kekuasaan politik yang dijalankan oleh pemerintah bersama lembaga-lembaga kenegaraan lainnya, harus sesuai dengan konstitusi yang telah disepakati bersama demi tegaknya negara hukum. Dalam hal ini semua komponen bangsa, baik masyarakat, organisasi sosial dan politik, harus secara sadar melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan aturan hukum.
Sebenarnya antara hukum dan konflik merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan, satu dengan yang lain, karena hukum dibentuk antara lain untuk mengatasi atau menyelesaikan suatu konflik lewat pendekatan neo-evolusioner dengan hukum refleksif yang diarahkan kepada satu perspektif proses perubahan hukum dan sosial. Untuk mendukung terciptanya keberhasilan suatu kebijakan dan strategi pertahanan serta upaya-upaya apa yang akan ditempuh, maka disarankan beberapa langkah sebagai berikut:
1)    Pemerintah perlu mengadakan kajian secara akademik dan terus menerus agar didapatkan suatu rumusan bahwa nasionalisme yang berbasis multi kultural dapat dijadikan ajaran untuk mengelola setiap perbedaan agar muncul pengakuan secara sadar/t anpa paksaan dari setiap warga negara atas kemejemukan dengan segala perbedaannya.
2)    Setiap warga negara agar memiliki kepatuhan terhadap semua aturan dan tatanan yang berlaku, kalau perlu diambil sumpah seperti halnya setiap prajurit yang akan menjadi anggota TNI dan tata cara penyumpahan diatur dengan Undang-undang. Sebaiknya diadakan suatu konsensus nasional yang berisi pernyataan bahwa setiap warga negara Indonesia cinta damai, persatuan dan kesatuan dan rela berkorban untuk mementingkan kepentingan nasional diatas kepentingan pribadi atau golongan dengan enanamkan nilai-nilai Pancasila, jiwa nasionalisme sebangsa dan setanah air dalam NKRI, sehingga dapat memposisikan diri dalam keikutsertaan meredam konflik dan bukannya memperbesar melalui berita-berita yang berdampak kebencian dan prsangka buruk bagi setiap warga negara.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme, dan Pluaritas Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Ahmadi Abu, Psikoligi Sosial, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2009
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Jakarta, Chandra Pratama, 1996
Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yarsif Watampone, Jakarta, 1998
Alvin S. Johnson, Sosiologi Hukum, diterjemahkan oleh Rinaldi Simamora, Jakarta, Rineka Cipta, 2004
Ali Zainuddin, Sosilogi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2015
Aryandini S. Woro,dkk, Ilmu Sosial Dasar, ISTN, Jakarta 1987
Achmad, Nur. Pluralitas Agama, Jakarta, Penerbit Buku KOMPAS, 2001
Sujata Antonius, Reformasi Dalam Penegakan Hukum, Jakarta, Djambatan, 2000
Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum, CV Pustaka Setia, Bandung, 2007
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil, Jakarta, Grasindo, 1999
Cohen Bruce J; tanpa tahun, Sosiologi Suatu Pengantar, Penerbit Rineka Cipta
Donald Black. Sociological Justice, New York, Academic Pres, 1989
Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2004, cet. 1, hal. 9-10, (diterjemahkan oleh Helly P. Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto dari judul asli: Social Conflict).
-------- Donald Black.The Behavior of Law, New York,Academic Press, 1976
Departemen agama RI, Konflik Etno Religious Indonesia Kontemporer, Badan Litbang Agama, Jakarta, 2003
Esmi Warassih, Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Suryandaru Utama, 2005
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Penyadur, Alimandan, Rajawali, Jakarta, 1985
Geoff Mulgan, Politik Dalam Sebuah Era Anti-politik,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995
Gunther Tuebner, Substantive and Reflexive Elements in Modern Law, Law & Society Review, Vol. 17, No. 2. 1983
Faisal, Sanafiah. 2001. Fomat-Format Penelitian Sosial. Jakarta, Rajawali Pres
Faturochman, Konflik: Ketidak-adilan dan Identitas ,Yogyakarta : PPSK UGM, 2003
Hendricks, William. Bagaimana Mengelola Konflik (Petinjuk Praktis Untuk Manajemen Konflik Yang Efektif). Jakarta, Bumi Aksara, 2006
H.R.Riyadi Soeprapto, Interaksionalisme Simbolik, Prespektif Sosiologi Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta dan Averroes Press, Malang, 2002
Hartono, Sunarjati, “Capita Selecta Perbandingan Hukum”, Alumni (Stensil) Bandung, 1970
H.R. Abdussalam, Politik Hukum, PTIK Press, Jakarta 2011
Huijbers Theo, Filsafat Hukum, Kaanisius, Yogyakarta, 1995
Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, Bandung, Alumni, 1983
Inis, Konflik Komunal Indonesia Saat Ini, Jakarta, Leiden, 2003
Kencana, Syafiie Inu, Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung, PT Refika Kencana Aditama, 2005
Kolip, Usman DKK. Pengantar Sosiologi, Jakarta, PT. Kencana Prenada Media Grub, 2011
Liliweri, Alo, Prasangka dan Konflik, Yogyakarta, PT Lkis Pelangi Aksara, 2005
Mas’oed, Mohtar, Studi Hubungan Internasional, Tingkat Analisi dan Teorisasi, Universitas Gadjah Mada, 1989
Muhammad Abduh, Sosiologi Hukum. Medan: Modul Kuliah Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2002
Mulyana W.Kusumah, Tegaknya Supremasi Hukum, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001
Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Bandung, Alumni, 1989
Mulyana W. Kusumah, Beberapa Perkembangan Pemikiran dan Masalah dalam Sosiologi Hukum, Bandung, Alumni, 1981
Mustafa Abdullah, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta: Rajawali, 1982
Ndraha, Taliziduhu, Kybernologi (Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan), Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2005
Poerwaderminta, W.L.T. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Yogyakarta, PT. Lingkar Pena, 2000
Rajagukguk Erman, Hukum dan Masyarakat, Jakarta, Bina Aksara, 1983
Ritzer, George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta, Raja Grafindo Persada 2010
Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat, Bandung, Remadja Karya, 1985
Ronny Hanitijo Soemitro, Masalah-masalah Sosiologi Hukum, Bandung, Sinar Baru, 1984
Roscoe Pound, Interpretation Of Legal History, USA: Hlmes Heaxh, Florida, 1986
Ronny Hanitijo Soemintro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat, Remaja Karya, Bandung, cet. 1, 1985
Santoso Thomas, Teori-Teori Kekerasan, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2002
Soeleman B. Taneka, Struktur dan Proses Sosial, Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan, Raja-Garfindo Persada, Jakarta, 1993
Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, Bandung, Alumni, 1983
Soerjono Soekamto, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Jakarta PT Bina Aksari 1988
Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung, Sinar Baru, 1985
Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta Raja Grapindo Persada 1990
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta:Rajawali Pers, 2012
Soekanto Soerjono, Pemerintah, Tugas Pokok dan Fungsi. Jakarta, Bumi Aksara, 2002
Soekanto Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Baru. Jakarta, Rajawali Pers, 2009
Susan, Novri, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Kontemporer, Kencana: Jakarta, 2009
Satjipto.R. Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 1982), hal.310 dan R.Othe Salman, Sosiologi Hukum Suatu Pengantar, Bandung, Penerbit CV. ASrmico, 1992. dan H.L.A, The Consept of Law, (London Oxford University Pres, 1961)
Sorjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum, Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 1989
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994
Soekanto, Soerjono, Teori Sosiologi, Tentang Pribadi dalam Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982
Suseno, Franz Magnis, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta,  PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994
-------- Suseno Frans Magnis, Etika Politik, Jakarta: Gramedia, 1987
Tol, Roger. DKK, Konflik Kekerasan Komunal. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005
Thayib, Anshari dkk. HAM dan Pluralisme Agama. Surabaya: Pusat Kajian Strategi dan Kebijakan (PKSK), 1997
Ter Haar, Bzn.B. “Beginselen En Stelsel Van Het Adar Recht”. J.B. Woters Groningen. Jakaarta, 1950
Puspito, Hendro. Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI) 1983
Kartohadiprodjo, Soedirman. “Hukum Nasional” Beberapa Catatan, Bina Tjipta, 1968
Liliweri, Alo, Sosiologi Organisasi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997
Paul, Doyle, Teori Sosial; Klasik dan Moder, Jakarta: PT. Gramedia, 1986
Philippe Nonet dan Philip Selznick, 1978. Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi, (Terj. Rafael Edy Bosco), HuMa, Jakarta, 2003
Sukamd, Abdul Haris I dan Patrick Browslee, Migrasi Buruh di Indonesia, Politik dan Praktis, Yogyakarta: Population Studies Centre Gadjah Mada University, 2000.
Winardi, Manajemen Konflik; Konflik Perubahan dan Pengembangan, Bandung: Mandar Maju, 1994
Wirawan, Konflik dan Menejemen Konflik, Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta, Salemba Humatika, 2010
Hidayat, Nurul (Mahasiswa Sosiologi UIN Jakarta), Konflik Antar Etnis di Indonesia, http://sejarah.kompasiana.com/2011/04/13/menyelami-konflik-etnis-di-indonesia-355405.html, diakses pada hari Selasa, 8 November 2016, pukul 14.52 Wib
Wibowo Pandu (Mahasiswa Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Konflik Antar Etnis: Penyebab dan Solusi, http://www.kompasiana.com/pandu_wibowo /konflik-antar-etnis-penyebab-dan-solusi_54f6d84fa33311ea608b4a5e, diakses pada hari Selasa, 8 November 2016, pukul 14.34 Wib
Yulius, Hermawan, Transformasi Dalam studi Hubungan Internasional (Aktor, Iu, dan Metedologi). Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007


[1] Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum: Dari Konstruksi Sampai Implementasi, Jakarta: Rajawali Press, 2009, hlm. 8
[2] Soerjono Soekamto, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Jakarta PT Bina Aksari 1988. hlm. 50
[3] H.R.Riyadi Soeprapto, 2002, Interaksionalisme Simbolik, Prespektif Sosiologi Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta dan Averroes Press, Malang, hlm. 143
[4] Soeleman B. Taneka, op.cit. hlm. 131
[5] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A. Sosilogi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 71
[6] Lihat Rikardo Simarmata Socio-Legal Studies dan Gerakan Pembaharuan Hukum, Law, Society & Development, Volume I Desember 2006-Maret 2007
[7] Suseno, Franz Magnis, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994, hlm. 3
[8] Dr. Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kaanisius, Yogyakarta, 1995 hlm. 119
[9] Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, Bandung, Alumni 1983. hlm. 137
[10] Ibid. hlm. 138-1139
[11] Prof. Dr. Alo Liliweri, Komunikasi adalah pengalihan suatu pesan dari satu sumber kepada penerima agar dapat dipahami. [Dasar-dasar Komunikasi Kesehatan, 2003, hlm. 4
[12] Faturochman, Konflik: Ketidak-adilan dan Identitas (Yogyakarta : PPSK UGM, 2003), hlm. 56
[13] Adnan Akram, Konflik - konflik yang pernah terjadi di Indonesia, http://adnanakram212.blogspot.co.id/2016/02/ konflik-konflik-yang-pernah-terjadi-di.html, diakses 13 November 2016, pukul 24.47 Wib
[14] Jimly Asshidiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokrasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2009, hlm. 22
[15] Satjipto Rahardjo, 1995, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, h.233-234; Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 150-155
[16] Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, hlm. 4, 5
[17] Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Jakarta:Sinar Grafika, 2009, hlm. 73-75
[18] Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKiS, 2012), hal. 2-3.
[19] Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, (Jakarta : UII Press, 1983), hlm. 3
[20] Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Desa dalam Konstitusi Indonesia sejak Kemerdekaan Hingga Era Reformasi, Setara Press, Malang, 2015, hlm. 103
[21] http://www.kpu.go.id/dmdocuments/UU_32_2004_Pemerintahan%20Daerah.pdf, diakses 13 November 2016, pukul 12.44 wib
[22] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 167.
[23] Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 221
[24] Geoff Mulgan, Politik Dalam Sebuah Era Anti-politik,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 106
[25] Gunther Tuebner, Substantive and Reflexive Elements in Modern Law, Law & Society Review, Vol. 17, No. 2. 1983, hal. 239-286
[26] Philippe Nonet dan Philip Selznick, 1978. Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi, (Terj. Rafael Edy Bosco), HuMa, Jakarta, 2003
[27] Phillippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society in Transition: toward Responsive Law (New Jersey: Transaction Publishers, 2001), hlm. 18
[28] J. Brady Anderson, Promoting The Rule Of Law Around The Wordl, Association of Tiras Lawyers of America, 2000, hlm. 5.
[29] George P. Fletcher, Basic Comcept of Legal Thought, Oxford University Press, New York, 1996, hlm. 4.
[30] Roberto  M. Unger, Gerakan Hukum  Kritis (Critical Legal Studies), diterjemahkan oleh Ifdhal  Kasim, Jakarta, ELSAM, 1999
[31] Soerjono Soekanto, Loc.cit. hlm. 44
[32] David M. Trubek, 1972, “Toward a Social Theory of Law: An Essay on the Study of Law and Development”, in The Yale Law Journal, Volume 82, No. 1, November, hlm. 5.
[33] Trubek, 1972, op.cit, hlm. 38
[34] Indriyanto Seno Adji, Arah Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum “Prof. Oemar Seno Adji, S.H & Rekan, 2001, hlm. 21
[35] Andrew Haldenby, Tara Mujamdar, dan Will Tanner, Doing it Justice: Integrating Criminal Justice and Emergency Service Through Police and Crime Commissioners, England: Reform, 2012, hlm, 24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar