Minggu, 20 November 2016

TEORI HUKUM: MENGAPA ORANG MENTAATI HUKUM (Menurut Teori Kedaulatan Hukum)


PENDAHULUAN
Kedaulatan hukum yaitu kedaulatan yang berasal dari hukum yang berlaku di suatu negara. Hukum harus dipandang sebagai sumber dari segala sumber kekuasaan dalam negara maksudnya kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah itu didapat atau diatur oleh hukum yang berlaku di negara itu, sehingga kekuasaan itu sah berdasarkan hukum yang berlaku. Hukum harus dijunjung tinggi oleh segenap warga negara dan pemerintah. Semuanya harus menghormati dan mematuhi hukum yang berlaku. Barang siapa yang melanggar hukum harus dikenakan sanksi, tanpa terkecuali. Hukum merupakan kekuasaan yang derajatnya lebih tinggi. Negara hanya sebagai organisasi sosial yang tunduk kepada hukum. Kekuasaan negara harus berpijak dan berlandaskan hukum sebagai sumber kedaulatan.
Istilah kedaulatan pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli kenegaraan berkebangsaan Perancis yang bernama Jeans Bodin (1539-1596). Menurut Jeans Bodin, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Kedaulatan ini sifatnya tunggal, asli, dan abadi. Tunggal berarti hanya ada satu kekuasaan tertinggi, sehingga kekuasaan itu tidak dapat dibagi-bagi. Asli berarti kekuasaan itu berasal atau tidak dilahirkan dari kekuasaan lain. Sedangkan abadi berarti kekuasaan negara itu berlangsung terus-menerus tanpa terputus-putus. Maksudnya pemerintah dapat berganti-ganti, kepala negara dapat berganti atau meninggal dunia, tetapi negara dengan kekuasaanya berlangsung terus tanpa terputus-putus.
Kedaulatan atau sovereignity adalah ciri atau atribut hukum dari negara, dan sebagai atribut negara sudah lama ada, bahkan ada yang berpendapat bahwa sovereignity itu mungkin lebih tua dari konsep negara itu sendiri (Dahlan Thaib, 1989:9). Perkataan sovereignity (bahasa Inggris) mempunyai persamaan kata dengan Souvereneteit (bahasa Belanda) yang berarti tertinggi. Jadi secara umum, kedaulatan atau sovereignity itu diartikan sebagai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang mempunyai wewenang untuk mengatur penyelenggaraan negara.
Kedaulatan merupakan modal awal dalam sebuah pembentukan negara. Semua warga disatukan oleh satu pemerintahan yang memiliki kedaulatan hukum. Setiap bangsa tentu membutuhkan kedaulatan agar dapat diakui secara de facto (berdasarkan atau menurut “hukum") maupun de jure (pada kenyataannya “fakta”) oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Hukum oleh karena itu menjadi alat terkuat dalam rangka menjaga kedaulatan tersebut.

PEMBAHASAN
Teori kedaulatan hukum menekankan bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara terletak pada hukum, baik hukum tertulis maupun tidak tertulis. Oleh karena itu, pemerintah memperoleh kekuasaannya bukan dari Tuhan, rakyat, atau negara tetapi berdasarkan atas hukum, sehingga hukumlah yang berdaulat/ berkuasa, baik raja, rakyat, siapapun harus tunduk dan patuh kepada hukum. Hukum yang dimaksud adalah hukum tertulis (UUD) dan hukum tidak tertulis (Adat istiadat/ budaya).
Hugo Krabbe, Immanuel Kant, dan Hugo De Groot merupakan penganut teori kedaulatan hukum. Teori kedaulatan hukum yang dianut oleh sebagian besar negara-negara di Eropa dan Amerika tidak pernah terlepas kaitannya dengan pembahasan siapa yang memegang kekuasaan negara tersebut dan darimana kekuasaan tersebut diperoleh. Hal ini disebabkan negara bukanlah benda mati yang dapat bergerak sendiri, melainkan sebuah organisasi yang diselenggarakan oleh sekelompok orang atas masyarakat dengan tujuan tertentu. Pendapat tersebut juga dapat dipahami bahwa di dalam setiap negara terdapat kekuasaan yang dimiliki negara untuk memaksakan kehendak pada warga negaranya. Oleh karena itu, pembahasan tentang siapa yang menyelenggarakan negara dan dari mana kekuasaan tersebut harus dikaitkan dengan pembahasan teori kekuasaan negara, sehingga dapat memberikan jawaban apakah yang menjadi dasar adanya kekuasaan negara tersebut.
Pembahasan teori kekuasaan negara merupakan bagian dari teori negara karena teori kekuasaan negara merupakan turunan dari teori negara. Maka dari itu, didalam pembahasan teori kekuasaan negara pasti juga berbicara teori negara. Pemikiran tantang teori negara pun sudah dimulai sejak zaman romawi kuno sampai zaman modern sekarang ini. Perkembangan ekonomi, budaya dan politik juga menyebabkan teori negara mengalami perkembangan yang signifikan. Hakekat negara secara sederhana dapat diartikan sebuah organisasi masyarakat, organisasi yang dibentuk karena adanya keinginan hidup besama di dalam pemenuhan kebutuhannya.
Aristoteles yang merupakan seorang ahli filsafat dari yunani mengatakan bahwa pada hakekatnya menusia merupakan mahluk sosial (zoon politicon). Oleh sebab itu, pada manusia terdapat suatu keinginana untuk hidup bersama yang pada akhirnya membentuk suatu negara yang bersifat totaliter. Negara menurut Aristoteles merupakan bentuk tertinggi dari kehidupan bermasyarakat, negara terbentuk secara  alamiah. Dalam negara tersebut terdapat kekuasaan terhadap orang lain yang memiliki kewenangan membuat undang-undang. Plato mengidealkan yang memiliki kekuasaan atas negara tersebut adalah seorang filsuf karena hanya filsuf yang dapat melihat persoalan yang sebenarnya di dalam kehidupan dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Dasar pemikiran tersebut yang kemudian diadopsi oleh para kaum pemikir gereja yang melahirkan teori hukum kodrat. Menurut teori ini maka kekuasaan tertinggi pada hakekatnya berasal dari Tuhan. Sebagaimana dikatakan Thomas Aquinas, teori hukum kodrat adalah teori etis dan hukum kodrat apa yang disebut sebagai kewajiban moral. Thomas berpendapat bahwa monarchi adalah bentuk pemerintahan yang terbaik, yang dipimpin oleh seorang raja. Raja memperoleh lainnya (homo homini lupus). Jadi dalam keadaan alamiahnya manusia tidak ada ketentraman hidup, rasa takut menghantui lapisan masyarakat oleh karena itu manusia membuat perjanjian untuk membentuk negara. Pembentukan Negara tersebut bertujuan melindungi kehidupan manusia tersebut. Ketika perjajian itu dilakukan semua hak-hak alamiah mereka diserahkan pada negara, sedangkan negara tidak dibebani kewajiban apapun termasuk untuk dapat dituntut oleh individu. Jadi negara bukanlah patner dalam perjajian itu, melainkan hasil buahnya.
Berbeda dengan Thomas Hobbes, Jhon Locke menjelaskan bahwa didalam keadaan alamiah (state of nature), manusia memiliki hak yang sama untuk mempergunakan kemampuan mereka manusia secara alamiah dalam keadaan yang baik. Oleh karena itu, keadaan alamiah tampak sebagai suatu keadaan harmonis yang ditandai dengan persamaan hak dan kebebesan semua manusia (a state of peace, good will, mutual assistance, and preservation).
Akan tetapi, kondisi tersebut menjadi berubah manusia mengenal  uang. Dengan adanya uang ini, tidak ada lagi batas alamiah yang sanggup menghindari terjadinya akumulasi kekayaan oleh sedikit orang. Akumulasi kekayaan oleh sedikit orang ini kemudian menimbulkan keadaan perang (state of war). Dalam situasi yang dikuasai oleh ekonomi uang ini, masyarakat tidak dapat bertahan tanpa pembentukan negara yang menjamin milik pribadi.
Dengan demikian, menurut Locke, negara itu didirikan untuk melindungi hak milik pribadi. Negara didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property) yang dimaksud di sini tidak hanya berupa tanah milik (estates), tetapi juga kehidupan (lives) dan kebebasan (liberties). Locke menyebut hak-hak ini dengan istilah inalienable rights (hak-hak yang tidak asing) dan adanya negara justru didirikan justru untuk melindungi hak-hak asasi tersebut. Jadi segala kekuasaan yang dimiliki negara dimilikinya karena, dan sejauh, didelegasikan oleh para warga negaranya.
Terakhir, Jean Jacques Rousseau. Jean Jacques Rousseau menjelaskan di dalam kehidupan alamiahnya manusia hidup secara polos dan mencintai diri secara sepontan di mana manusia belum melakukan pertikaian melainkan keadaan aman dan bahagia. Pada keadaan ini manusia hidup hanya di dalam pemenuhan kebutuhan pribadinya. Tetapi pada akhirnya keadaan alamiah manusia tidak dapat dipertahankan kembali jika setiap manusia tidak dapat lagi mampu mengatasi keadaan dalam menjaga dirinya sendiri. Oleh karena itu, perlu perubahan pola kehidupannya, yakni membentuk suatu kesatuan dengan menghimpun diri bersama orang lain.
Manusia akan membentuk suatu negara untuk mempertahankan dan melindungi pribadi dan anggotanya, di dalam perkumpulan itu masing-masing menyatu dalam suatu kelompok tetapi manusia tetap bebas sebagai seorang individu. Hal ini dapat dikatakan bahwa setiap individu menyerahkan diri dan seluruh kekuasaannya untuk kepentingan bersama, di bawah kepentingan tertinggi yaitu kehendak umum (volante generale) dan mereka menerima setiap anggotanya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Peyerahan kekuasaan ini dapat dikatakan sebagai kontrak sosial, tetapi jika kontrak social itu dilanggar maka masing-masing kembali kepada hak-hak alamiah mereka. Hal ini berarti Rousseau menginginkan adanya kedaulatan rakyat secara menyeluruh.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran kekuasaan negara tersebut dapat disimpulkan bahwa pembahasan siapa yang memegang kekuasaan negara dan darimana kekuasaan diperoleh berkaitan dengan kedaulatan. Kedaulatan tersebut dapat dibedakan atas Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulan Negara, kedaulatan Hukum dan Kedaulatan Rakyat. Teori-teori kedaulatan tersebut pada dasarnya mempertanyakan hak moral apakah yang dijadikan legitimasi bagi setiap orang atau sekelompok orang atau bagian suatu pemerintahan atau kekuasaan yang dimilikinya, sehingga mempunyai hak untuk memegang dan mepergunakan kekuasaan serta menuntut kepatutan atas kekuasaan dan otoritas yang dimiliki.
Berbeda dengan negara Indonesia yang menganut paham kedaulatan rakyat (people souvereignty). Konsep kebebasan/ persamaan dan konsep kedaulatan rakyat merupakan dasar dari demokrasi. Kedaulatan rakyat berarti pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyat atau yang dikenal adanya selogan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kedaulatan rakyat Indonesia disalurkan dan diselenggarakan melalui prosedure konstitusional. Hal ini menunjukan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum yang Demokratis (democratische rectsstaat) dan Negara Demokrasi yang berdasar atas Hukum (constitusional democracy) yang tidak terpisah satu sama lain, sebagaimana menurut Jimly Asshiddiqie.
Dalam sistem konstitusional Undang-Undang Dasar, pelaksanaan kedaulatan rakyat itu disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional democracy). Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan kedaulatan hukum (nomocratie) hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Untuk itu, Undang-Undang Dasar negara kita menganut pengertian bahwa Negara Indonesia itu adalah Negara Hukum yang Demokratis (democratische rectsstaat) dan sekaligus adalah Negara Demokrasi yang berdasar atas Hukum (constitusional democracy) yang tidak terpisah satu sama lain.
Kedaulatan rakyat deselengarakan langsung dan melalui system perwakilan. Henry B. Mayo dalam buku Introductions to Democratic Theory mengatakan bahwa sistem politik yang demokrasi ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Berdasarkan pendapat tersebut, diselenggarakan langsung dan sistem perwakilan (direct demokracy) diwujudkan melalui pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat.
Terhadap pertanyaan mengapa orang mentaati hukum, menggunakan kerangka pikir dari Krabbe dengan teori kedaulatan hukumnya dimana dikatakan bahwa kaidah hukum memperoleh daya mengikatnya karena nilai batinnya atau nilai keadilannya sendiri.
Teori kedaulatan hukum mendalilkan bahwa undang-undang tidak mengikat karena pemerintah menghendakinya, melainkan karena ia merupakan perumusan kesadaran hukum dari rakyat. Sehingga oleh karenanya masyarakat mengakui kaidah tersebut dengan cara mentaatinya. Undang-undang berlaku berdasarkan nilai batinnya, yakni berdasarkan hukum yang menjelma didalamnya.
Teori kedaulatan hukum pada dasarnya tidak mengakui kekuasaan seseorang, ia hanya mengakui kekuasaan batin dari hukum; ia tidak menerima kekuasaan pemerintahan yang dilakukan oleh orang yang memerintah atas kuasa diri sendiri (suo jure), akan tetapi semata-mata menerima kekuasaan pemerintahan yang dikeluarkan oleh hukum dan yang berlaku menurut peraturan-peraturan hukum. Hal yang paling penting bukanlah negara atau pemerintah, melainkan hukum. Hukum tidak memperoleh kekuatan mengikatnya dari kehendak pemerintah, melainkan pemerintahlah yang memperoleh kekuasaannya dari hukum.
Akan tetapi dari manakah datangnya hukum itu dan bagaimanakah ia memperoleh kekuatan mengikatnya? Hukum bertitik tolak pada perasaan hukum dan mendapatkan otoritasnya dari kesesuaiannya dengan perasaan-perasaan individu. Akan tetapi hukum sebagai kaidah masyarakat harus tetap berfungsi untuk mengendalikan kehendak individu itu sendiri yang berdasarkan pada keyakinan hukum bersama.
Dalam tataran empiris, terjadinya kesamaan keyakinan hukum merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Perasaan hukum dan keyakinan hukum seseorang akan sangat berbeda dengan yang lainnya. Sehingga konsekuensi dari ajaran Krabbe adalah timbulnya kaidah yang beraneka ragam, sebanyak keyakinan hukum sebanyak itu pulalah jumlah kaidah. Akan tetapi pergaulan hidup dalam masyarakat menghendaki kesatuan kaidah hukum: hukum harus sama untuk semua anggota masyarakat, sehingga kesamaan hukum merupakan suatu conditio sine qua non untuk mencapai tujuan hukum, yakni mengatur masyarakat. Karena keyakinan-keyakinan hukum orang berlainan, kita harus memilih antara berbagai isi hukum untuk mencapai kesatuan hukum.
Bagaimanakah kita harus memilih? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, Krabbe bertitik pangkal kepada apa yang dipandangnya sebagai aksioma:”persamaan derajat individu-individu yang turut membentuk hukum, atau dengan perkataan lain, persamaan kualitatif kesadaran hukum yang ada pada diri tiap-tiap orang”. Krabbe menarik kesimpulan, bahwa hukum adalah sesuatu yang memenuhi kesadaran hukum rakyat terbanyak dan dari mayoritas mutlak. Rumus tersebut dilakukannya sedemikian konsekuen, sehingga ia tidak mengakui kekuatan mengikat dari undang-undang yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum orang terbanyak tersebut, sehingga menurutnya undang-undang seperti ini, seharusnya tidak diberlakukan lagi oleh hakim dan oleh karenanya harus dicabut oleh pemerintah. Oleh karenanya menurut Krabbe, keseragaman kaidah hukum lebih penting daripada isi kaidah hukum, karena kaidah hukum merupakan perumusan kesadaran hukum dari rakyat, sehingga berdasarkan hal tersebut masyarakat mengakui kaidah tersebut dengan cara mentaatinya.
Jika kita telaah lebih lanjut, maka melalui teorinya itu, Krabbe telah melakukan suatu kesalahan (ad absurdum). Dalam keadaan seperti itu, bagaimana nasib kepastian hukum serta perlindungan masyarakat terhadap kesewenang-wenangan hakim dan birokrasi.
Dan bagaimana halnya nasib kesatuan kaidah hukum, jika para hakim dan aparatur pemerintah diperkenankan bahkan diserahi kewajiban untuk menyampingkan undang-undang (bahkan undang-undang dasar) dalam melakukan tugasnya jika menurut pertimbangan mereka, undang-undang (termasuk undang-undang dasar) tidak sesuai dengan kesadaran hukum dari rakyat terbanyak.
Kelemahan teori Krabbe tersebut terjadi oleh karena ia menyamakan hukum dengan kesadaran hukum. Sehingga jika teori Krabbe dilaksanakan secara konsekuen dalam implementasinya, dipastikan suatu ketika akan terjadi suatu keadaan dimana seluruh hukum akan terhapus dengan alasan sudah tidak sesuai dengan kesadaran hukum mayoritas masyarakat, yang berarti lumpuhnya kewibawaan undang-undang.
Jika suatu tatanan masyarakat berkeinginan untuk menjadi lebih daripada hanya sekedar tatanan kekuasaan belaka, maka konsekuensinya ia harus memenuhi hal-hal yaitu merupakan suatu tatanan hukum serta harus memenuhi kesadaran kesusilaan dan kesadaran rakyat itu sendiri, artinya memenuhi pandangan-pandangan yang berlaku didalam masyarakat itu tentang apa yang baik dan adil. Didalam kedua hal tersebut, disitulah letaknya otoritas hukum yang menyebabkan masyarakat mentaati hukum. Pada hakekatnya, hukum kebiasaan, yaitu yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat adalah hukum yang dapat memenuhi hal tersebut di atas. Hal ini sesuai pula dengan ucapan Paulus, seorang ahli hukum Romawi, yang mengatakan bahwa penjelmaan hukum terbaik adalah kebiasaan (optima iuris interpres consuetudo).
Sejak awal, hukum tidak pernah dapat memuaskan keinginan manusia sebagai suatu alat yang menjadi rambu-rambu antara perbuatan yang benar dan yang salah secara sempurna. Hukum yang bekerja terlalu kuat misalnya justru malah menimbulkan ketidakadilan (summum ius summa iniuria). Kenyataan seperti itu memperlihatkan adanya pertentangan antara rambu-rambu yang dibuat oleh hukum di satu pihak dan fleksibilitas yang dituntut oleh hubungan sosial di pihak lain. Gambaran mengenai kehidupan hukum yang seperti itu, akan menjadi jelas jika dalam mengamatinya kita menggunakan kacamata hukum dan masyarakat, yaitu yang melihat kehidupan hukum tersebut tidak hanya sebagai fungsi dari peraturan, tetapi juga dari kebijakan (policy) pelaksanaannya serta tingkah laku masyarakat.

KESIMPULAN
Polemik tentang siapakah sebenarnya pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara, masih menjadi perdebatan para ahli, dengan mempertahankan argument masing-masing yang kemudian menjadi tombak lahirnya berbagai teori mengenai kedaulatan (kekuasaan tertinggi dalam negara). Kedaulatan yang menurut istilah yang berarti kekuasaan tertinggi dari suatu kesatuan politik yang merupakan kekuasaan tertinggi untuk membuat hukum didalam suatu negara yang bersifat: tunggal yang berarti bahwa hanya negaralah yang memiliki, asli yang berarti kekuasaan yang tidak berasal dari kekuasaan lain, kemudian, abadi yang berarti memiliki kekuasaan tertinggi dan abadi, serta tidak dapat dibagi-bagi yang berarti bahwa kedaulataan itu tidak dapat diserahterimahkan baik sebagian maupun seluruhnya.
Namun pendapat Krabbe tentang teori kedaulatan hukum, maka jelas bahwa orang/ masyarakat mentaati hukum oleh karena undang-undang berlaku berdasarkan nilai batinnya, yakni berdasarkan hukum yang menjelma didalamnya. Undang-undang tidak mengikat karena pemerintah menghendakinya, melainkan karena ia merupakan perumusan kesadaran hukum dari rakyat. Terjadilah suatu keadaan keseimbangan (equilibrium) implementasi kaidah hukum dalam masyarakat antara konsistensi penegakkan tatanan hukum, pencerminan kesadaran kesusilaan dan kesadaran rakyat itu sendiri dan fleksibilitas kaidah hukum dalam melakukan pengaturan hubungan-hubungan sosial.
Hukum ada karena kekuasaan yang sah. Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan kekuasaan yang sah pada dasarnya bukanlah hukum. Jadi hukum bersumber pada kekuasaan yang sah. Sebaliknya  hukum itu pada hakikatnya adalah kekuasaan. Hukum itu mengatur, membatasi ruang gerak dan memaksa. Hukum adalah kekuasaan, yaitu kekuasaan yang mengusahakan ketertiban. Akan tetapi karena adanya penguasa yang menyalahgunakan hukum serta menciptakan hukum semata-mata untuk kepentingannya sendiri, maka muncullah istilah rule of law. Rule of law artinya pengaturan oleh hukum. Jadi yang mengatur, menguasai dan memaksa adalah hukum. Inilah yang dinamakan supremasi hukum.
Dalam tataran teoritis hubungan hukum dan kekuasaan saling mempengaruhi, hukum ada karena dibuat penguasa yang sah dan sebaliknya perbuatan penguasa diatur oleh hukum yang dibuatnya. Namun apabila terjadi pertentangan maka energi sering kalah kuat dengan energi kekuasaan.
Akibatnya model hukum sangat tergantung pada tipe kekuasaan. Dalam kekuasaan yang bersifat otoriter akan melahirkan hukum yang bersifat konservatif dan ortodok. Sebaliknya dalam kekuasaan yang demokratis akan melahirkan hukum yang bersifat responsif dan populis. Penegakan hukum dalam suatu pelanggaran merupakan monopoli penguasa. Hakikat kekuasaan tidak lain adalah kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain.

DAFTAR PUSTAKA
Bruggink, J.J.H., terjemahan Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Adtya Bakti, Bandung, 1999
d’ Entreves, A.P., terjemahan Wirasutisna Haksan, Pengantar Filsafat Hukum, Bhratara, Jakarta 1963
Peters, A.A.G.; Siswosoebroto, Koesriani, Hukum dan Perkembangan Sosial, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1987
Rahardjo, Satjipto, Permasalahan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, 1977
Van Apeldoorn, L.J., Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Sadino, Oetarid, Noor Komala, Jakarta, 1962
Van Kan, J.; Beekhuis, J.H., Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Masdoeki, Moh O., Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990
I Gde Pantja Astawa & Suprin Na’a, memahami ilmu Negara dan teori Negara:Bandung, refika aditama 2012
http://dokumen.tips/documents/mengapa-orang-mentaati-hukum.html, diakses Rabu, 2 November 2016, pukul 01.12 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar