Undang-undang Advokat No.18 Thn 2003 yang diperjuangkan dalam beberapa dekade terakhir, akhirnya dilahirkan meski masih mengandung banyak kelemahan. Namun, UU Advokat yang jauh dari sempurna ini adalah realitas hukum yang harus diterima.
Para advokat tidak boleh lagi merasa tidak sejajar dengan penegak hukum lainnya karena UU Advokat menjamin keberadaan advokat sebagai officer of the court seperti tertulis pada Pasal 5 UU Advokat yang beban tanggung jawabnya sama yaitu menegakkan hukum dan keadilan.
Pasal 5 UU Advokat, jika dibaca bersamaan dengan Pasal 4 UU Advokat tentang Sumpah Advokat, akan terlihat, profesi advokat yang dikenal sebagai officium nobelium adalah profesi luhur, mulia, dan bermartabat. Sumpah itu antara lain berbunyi, “Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara yang sedang atau akan saya tangani”.
Bila Sumpah Advokat ini dibaca dengan teliti, kita seharusnya tak melihat advokat berkolusi dengan polisi, jaksa, hakim, atau sesama advokat. Seharusnya tak ada korupsi, kolusi dan nepotisme yang merongrong wajah penegakan hukum kita sehingga organisasi seperti Transparency International menggarisbawahi betapa maraknya judicial corruption (mafia peradilan) di Indonesia.
UU Advokat mengatur ihwal pengawasan advokat yang semuanya diserahkan kepada organisasi advokat dengan bersandar kepada Kode Etik Advokat. Di sini pelaksanaan pengawasan itu dilakukan Dewan Kehormatan Advokat (Pasal 6-11) yang struktur dan keanggotaannya diatur organisasi advokat (Pasal 27). Selain itu, UU Advokat mengatur pula ihwal pengawasan advokat melalui Komisi Pengawas (Pasal 12-13) yang lingkup tugasnya kurang lebih sama dengan Dewan Kehormatan Advokat. Diaturnya pengawasan advokat dalam UU Advokat adalah langkah maju meski harus diakui pasal-pasal pengawasan itu menyisakan beberapa pertanyaan yang tak sepenuhnya terjawab.
Perilaku tercela dari advokat bukan lagi cerita aneh di telinga kita. Bila ada pepatah yang mengatakan, mayoritas hakim kelak akan masuk neraka, pepatah itu berlaku pula bagi para advokat. Penghargaan terhadap sumpah serta kode etik advokat amat rendah untuk tidak dikatakan tidak ada sama sekali.
Celakanya, fenomena ini tak hanya terjadi pada advokat pemula karena menyebar ke banyak sekali advokat. Yang paling menyedihkan, karena ada advokat senior mengaku bahwa melakukan perselingkuhan dengan polisi, jaksa, hakim, dan sesama advokat itu wajar sebagai sebuah kenyataan. Bagi advokat pemula, pernyataan ini dianggap pembenaran.
Ibarat pepatah, guru kencing berdiri murid kencing berlari. Tak heran jika publik sudah kehilangan kepercayaan kepada profesi advokat. Kalau kita melihat para advokat senior pada dua dekade kemerdekaan yang amat dihormati masyarakat, kini sisa-sisa dari rasa hormat itu tinggal kenangan. Advokat yang jujur sering malu mengaku diri advokat, sehingga tidak jarang kita mendengar pengakuan bahwa unfortunately, I am also a lawyer. Tidak terbersit rasa bangga dalam pengakuan itu.
Selama ini Dewan Kehormatan Advokat tak banyak berperan. Hanya ada sedikit kasus yang sampai ke meja Dewan Kehormatan Advokat. Mengapa? Bukan karena tak ada pelanggaran kode etik advokat, tetapi karena semangat saling melindungi sesama anggota profesi telah membuat pengaduan ke Dewan Kehormatan Advokat seperti tabu.
Masyarakat pencari keadilan tak sudi mengadu ke Dewan Kehormatan Advokat karena curiga akan adanya perselingkuhan profesi. Kecurigaan ini amat beralasan karena struktur Dewan Kehormatan Advokat yang amat parokial.
Di tengah ketidakpercayaan terhadap integritas profesi advokat, seharusnya organisasi advokat membuka diri dan mengundang mantan hakim dan akademisi hukum yang mempunyai reputasi terpuji. Sayang, organisasi advokat tak memiliki cakrawala berpikir yang luas, dan tak pula sudi belajar dari pengalaman negara lain.
UU Advokat ini tak mengharuskan Dewan Kehormatan Advokat dilengkapi mantan hakim senior dan akademisi hukum yang dikenal mempunyai reputasi terpuji. Tetapi, UU Advokat ini sudah mulai menyadari, sikap parokial organisasi advokat ini amat tidak sehat.
Dalam profesi akuntan publik, misalnya, kita sudah melihat dilibatkannya tokoh-tokoh masyarakat dalam mengawasi profesi akuntan karena tanggung jawab akuntan tidak semata-mata bersifat profesional tetapi juga sosial.
Pola pikir ini secara terbatas diikuti UU Advokat yang mempersilakan Dewan Kehormatan Advokat membentuk majelis yang akan mengadili pelanggaran kode etik advokat yang susunannya terdiri atas unsur Dewan Kehormatan Advokat, pakar hukum dan tokoh masyarakat (Pasal 27). Ini adalah langkah maju dalam arti keluar dari sifat organisasi profesi advokat yang amat parokial, namun pengaturan lebih lanjut amat tergantung Kode Etik Advokat.
Sementara ini Kode Etik Advokat yang berlaku berdasar kesepakatan tujuh organisasi profesi pada 23 Mei 2002 (Pasal 33) masih belum membuka pintu bagi masuknya orang-orang luar advokat ke Dewan Kehormatan Advokat serta majelis yang akan mengadili pelanggaran kode etik advokat.
Pengawasan terhadap advokat adalah topik yang kian menarik karena saat ini hampir semua profesi tengah diadili oleh masyarakat. Pailitnya Enron dan World. com, misalnya, mencuatkan kembali pertanyaan tentang tanggung jawab profesional dan sosial dari profesi akuntan dan advokat. Di AS, organisasi akuntan sedang melakukan kaji ulang atas ketentuan etika akuntan karena takut akan dihukum masyarakat sebagai perampok dan pembohong profesional (super white collar crime).
Dalam profesi advokat di AS, misalnya, kesadaran akan tanggung jawab profesional dan sosial ini sudah lama disadari dan karena itu di hampir semua negara bagian, kita melihat pengawasan profesi advokat yang melibatkan publik. Di banyak negara bagian pengawasan itu dilakukan secara bersama-sama oleh sebuah Komisi Pengawas yang terdiri dari para advokat, publik (konsumen) dan Mahkamah Agung Negara Bagian. Komisi Pengawas ini adalah suatu birokrasi yang mempunyai divisi penyelidikan (investigasi) dan pemeriksaan (ajudikasi). Kerja Komisi Pengawas ini amat efektif dan berhasil memaksa advokat untuk berusaha maksimal memperhatikan kepentingan publik (konsumen) karena konsumen sama sekali tidak boleh dirugikan.
Di Indonesia konsumen adalah korban yang hampir tanpa perlindungan. Konsumen jasa hukum adalah korban yang tak berdaya. Adanya Komisi Pengawas yang akan dibentuk kelak seharusnya membuka babakan baru dari tanggung jawab sosial para advokat, sehingga profesi advokat ini tidak lagi terasing dari masyarakatnya. Dalam konteks ini UU Advokat berjasa meletakkan dasar-dasar pengawasan yang melibatkan masyarakat. Pertanyaannya, apakah organisasi advokat menyadari tanggung jawabnya untuk keluar dari parokialisme profesi yang asosial ini?
Pertanyaan itu penting karena UU Advokat terlalu menyerahkan kekuasaan yang besar kepada organisasi advokat sehingga pengaturan mengenai advokat sepenuhnya menjadi wewenang dari organisasi advokat. Prinsip self-governing organization telah diperjuangkan sejak lama, tetapi tempat advokat bekerja banyak yang ada di ranah publik (public space), tidak semata-mata ranah profesi (professional space).
Pertanyaan sekaligus kekhawatiran di atas sebagian dikarenakan kurangnya pengaturan tentang kriteria organisasi advokat dalam UU Advokat sehingga bila kita bercermin pada peta organisasi advokat yang ada kini, maka tak sepenuhnya salah jika ada rasa khawatir.
Organisasi advokat yang saling berkelahi dan tak mampu menyamakan persepsi adalah kenyataan pahit yang selama ini kita telan. Dalam satu organisasi profesi saja kita melihat gaya premanisme profesi begitu kuat sehingga otot lebih kuasa dari otak. Sayang tanda-tanda perubahan belum kelihatan meski semua organisasi advokat sudah menerima UU Advokat.
Karena itu, tak sepenuhnya salah jika banyak yang khawatir bahwa akan ada “perang” antar organisasi advokat dalam merebut kepemimpinan advokat, dan perang ini sering tidak dibarengi dengan sikap ksatria. (lsmlaw.co.id/ Kompas, 24 April 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar