Kamis, 02 Februari 2017

Makalah Hukum: "Perdagangan Orang di Indonesia"

KEBIJAKAN POLITIK HUKUM DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

Disusun oleh:
DARIUS LEKA, SH
(1640060052)

Dosen:
DR. TETI SAMOSIR, S.H., M.H

MAGISTER HUKUM
UNIVERSITAS TAMA JAGAKARSA-JAKARTA 2016


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat bimbingannya penulis mampu menyususn makalah Sejarah Hukum dengan judul: “KEBIJAKAN POLITIK HUKUM DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA”. Makalah yang penulis susun ini merupakan kutipan dari beberapa sumber buku ataupun di internet yang dirangkum menjadi sebuah bentuk tulisan yang sistematis, semoga pembaca dapat memahami bahwa perlunya kita untuk mengungkapkan fakta-fakta hukum tentang perdagangan manusia yang merupakan realitas yang tidak dapat dipungkiri sebagai bagian kelam bangsa Indonesia. Namun demikian, persoalan human trafficking belum mendapat perhatian yang serius untuk diatasi.
Akhir kata penulis berharap makalah ini menjadi inspirasi baru untuk karya-karya selanjutnya dan dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkan informasi mengenai politik hukum yang dilakukan penguasa dalam mengatasi masalah perdagangan manusia seperti lemahnya penegakan hukum, peraturan perundang-undangan yang ada, peran pemerintah dalam penaganan maupun minimnya informasi tentang human trafficking.
Mohon maaf apabila dalam makalah ini terdapat kekurangan-kekurangan, baik materi maupun teknis, penulis dengan tangan terbuka menerima masukkan dan koreksian dari para pembaca untuk menjadi lebih baik.

Jakarta, 14 Januari 2017

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. 1
DAFTAR ISI …………………………………………............................................. 2
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ................................................................................................ 3
B.     Rumusan Masalah .......................................................................................... 6
C.     Tujuan Penelitian ………………………………………………………...…  6
D.    Manfaat Penelitian ………………………………………………………….. 7
E.     Kerangka Teori dan Konseptual ……………………………………………. 7
F.      Metode Penelitian …………………………………………………………. 15
BAB II
KERANGKA TEORI
A.    Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana .......................... 18
B.     Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Perdagangan Orang …..…. 23
C.     Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang ………….….. 34
BAB III
PEMBAHASAN
A.    Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
dari Aspek kebijakan Politik Hukum Pidana ……………………………. 43
B.     Kendala Dalam Melaksanakan Upaya Pencegahan
Tindak Pidana Perdagangan Orang …………………………….…………. 47
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan ................................................................................................... 55
B.     Saran ............................................................................................................. 58

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….……. 61

BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang
Manusia dan segala peradabannya selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Termasuk didalamnya adalah fenomena adanya praktik-praktik perdagangan orang (human trafficking) yang sangat memprihatinkan, mengingat manusia sesungguhnya bukan merupakan produk komoditi perdagangan. Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang paling mulia seharusnya manusia saling menjaga harkat dan martabat sesamanya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya bentuk perbudakan modern yang terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional harus diberikan perhatian serius.
Tindak pidana perdagangan orang semakin menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat diikuti dengan modus operandi yang semakin beragam dan kompleks, sehingga dibutuhkan penanganan secara komprehensif dan sinergi selanjutnya pada tanggal 17 April 2007 Pemerintah Indonesia akhirnya mengesahkan dan mengundangkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang mengatur secara khusus tentang tindak pidana perdagangan orang.
Undang-Undang ini diharapkan mampu menyediakan landasan hukum formil dan materiil sekaligus untuk mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktek perdagangan manusia baik yang dilakukan antar wilayah dalam negeri maupun antar negara, baik oleh pelaku perorangan maupun korporasi, kemudian yang terakhir adalah peraturan yang berasal dari Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) Tahun 2008 dalam Bab XX Tindak Pidana Pada Kemerdekaan Orang, Bagian Kesatu tentang Perdagangan Orang.
Namun demikian, sebagus atau seunggul apapun bentuk produk hukum, apabila tidak dilaksanakan dengan benar dan ditegakkan dan tidak membuat jera para pelaku untuk berhenti melakukan perdagangan orang makan produk hukum tersebut menjadi tidak efektif.
Menurut C.S.T. Kansil bahwa selama ini perdagangan orang dianggap sama dengan perbudakan, yang diartikan sebagai suatu kondisi seseorang yang berada di bawah kepemilikan orang lain.[1] Perbudakan dalam perbuatan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain, sehingga orang tersebut tidak mampuh menolak suatu pekerjaan yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain kepadanya, walaupun orang tersebut tidak menghendakinya. Tindak pidana perdagangan orang juga dikatakan sebagai bentuk modern dari perbudakan manusia, yang merupakan perbuatan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Atas dasar itu, masalah tindak pidana perdagangan orang menjadi perhatian serius beberapa negara termasuk pemerintah Indonesia.
Penanggulangan tindak pidana dapat diawali dengan dengan melakukan upaya pencegahan serta diakhiri dengan penindakan hukum atas tindak pidana yang terjadi. Sebab itu, penanggulangan tindak pidana dapat meliputi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil, bentuk dan jenisnya dapat berupa tindak pidana umum yang diatur dala KUHP, dan tindak pidana khusus yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP. Salah satu tindak pidana khusus adalah tindak pidana perdagangan orang, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Di sisi lain sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, perdagangan orang sudah diatur dalam KUHP, khususnya yang terdapat dalam pasal 297 yang mengancam hukuman 6 (enam) tahun penjara bagi siapapun yang memperdagangkan perempuan dan anak laki-laki di bawah umur, pasal ini dianggap tidak efektif untuk dapat menjerat pelaku tindak pidana terkait.
Selain itu juga, dengan masih banyaknya praktek-praktek lain dari perdagangan orang yang terjadi, baik yang menimpa perempuan dan laki-laki dewasa, dengan dirasa masih banyaknya unsur-unsur yang tidak dapat megakomodir bentuk-bentuk praktek perdagangan orang yang terjadi kini sehingga menjadi sulit untuk dapat diberantasnya kejahatan perdagangan orang tersebut. Saat ini di dalam pemberitaan yang berkaitan dengan perdagangan orang di Indonesia saja kian marak terjadi, dari berbagai macam kegiatan kejahatan diketahui yang dilakukan oleh orang perorangan maupun korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain yang semakin meningkat.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut ada berbagai macam bentuknya, antara lain eksploitasi sebagai buruh, menjadi korban pornografi, prostitusi dan narkoba. Kejahatan perdagangan orang ini, dapat mengancam eksistensi dan martabat kemanusiaan yang membahayakan masa depan perkembangan diri dari seseorang. Melihat pada kenyataan yang ada dari korban-korban perdagangan orang, luasnya praktik tersebut khususnya yang dialami oleh kaum perempuan dan anak-anak, terjadi karena banyak faktor-faktor yang mendukung dan memungkinkan untuk dapat terus berkembang lebih jauh lagi. Sehubungan dengan persoalan-persoalan yang terjadi pada penjelasan yang telah dipaparkan diatas, kini disadari bahwa peran dari seluruh pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, lembaga-lembaga yang terkait, hingga aparat penegak hukum khususnya Kepolisian Republik Indonesia, yang dalam hal ini langsung berhadapan dengan berbagai kasus perdagangan orang, diharapkan dapat mencegah atau setidaknya mengurangi terjadinya perdagangan orang yang terjadi di dalam masyarakat.
Oleh sebab itu, peran Polri sangat dibutuhkan dalam menanggulangi tindak pidana perdagangan orang ini secara tepat dan cepat, sehingga tidak semakin meresahkan masyarakat. Sesuai dengan uraian tersebut yang telah dijelaskan diatas, maka penulis melakukan penelitian mengenai apa kebijakan politik hukum pidana dalam upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan orang di Indonesia.

  1. Rumusan Masalah
  1. Bagaimanakah upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan orang dari aspek kebijakan politik hukum pidana di Indonesia?
  2. Apakah kendala yang menghambat upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan orang?
  1. Tujuan Penelitian
  1. Mengetahui upaya penaggulangan tindak pidana perdagangan orang dari aspek kebijakan politik hukum pidana.
  2. Mengetahui faktor-faktor yang menjadi kendala dalam upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan orang.
  1. Manfaat Penelitian
Sejalan dengan tujuan penelitian di atas, diharapkan penelitian ini akan memberikan kegunaan, baik secara teoritis maupun praktis, yaitu:
  1. Secara teoritis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan atau masukan bagi pengembangan ilmu hukum pidana di Indonesia, khususnya kajian tentang politik hukum penanggulangan bagi penegak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku khususnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia sehingga melalui penelitian ini dapat diketahui berbagai penyebab timbulnya kejahatan perdagangan manusia, bagaimana penanggulangannya, dan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan kejahatan perdagangan manusia.
  2. Secara praktis, penelitian ini dapat berguna bagi para pengambil kebijakan (eksekutif dan legislatif) dalam menyusun perangkat perundang-undangan yang lebih memadai berkaitan dengan hukum pidana, termasuk sebagai bahan rujukan/ referensi ilmiah bagi mahasiswa dan setiap orang, siapa saja yang berniat mendalami hukum pidana, khususnya mengenai tindak pidana perdagangan orang.
  1. Kerangka Teori dan Konseptual
Kejahatan perdagangan orang (human trafficking) merupakan kejahatan yang terorganisir, di mana para pelaku kejahatan mempunyai peran yang berbeda satu dengan yang lainnya. Disamping itu kejahatan trafficking cakupannya mencapai luar negara.
Ada beberapa hal yang perlu diyakini untuk sebuah jenis kejahatan terorganisir, yaitu:
  1. Bersifat global dan transnasional
  2. Melibatkan jaringan yang luas dan sistematik
  3. Memanfaatkan teknologi tinggi (high tech)
Sementara itu, Cressey, mengatakan bahwa: Organized Crime adalah kelompok, gang, gerombolan, pasukan, himpunan, jaringan, sindikat, kartel, dan konfederasi yang memiliki sebagaitujuan kriminal disebut organisasi kriminal dan oleh sebab itumerupakan kejahatan yang diorganisir.[2]
  1. Teori Normatif Perdagangan Manusia
Soerjono Sukanto, menyatakan teori sebagai berikut:[3]
a.       Teori berguna untuk mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji sebenarnya.
b.      Teori biasanya merupakan ikhtisar dari hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.
c.       Teori memberikan petunjuk terhadap kekurangan pengetahuan yang dimiliki peneliti.
  1. Teori Penegakan Hukum
Berkaitan dengan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini, maka digunakan pula teori mengenai penegakan hukum yang dikemukakan Soerjono Sukanto, yang menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penegakan hukum, antara lain:
a.       Faktor hukumnya sendiri yang dibatasi undang-undang saja.[4]
Semakin baik suatu peraturan hukum, akan semakin memungkinkan penegakannya. Sebaliknya semakin tidak baik suatu peraturan hukum akan semakin sukarlah penegakannya. Secara umum peraturan yang baik adalah peraturan hukum yang berlaku secara juridis, sosiologis dan filosofis. Dalam hal ini perlu diperhatikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini masih merupakan produk warisan kolonial Belanda, umurnya sudah lebih dari 100 tahun. Seharusnya dewasa ini sudah perlu dilakukan pembaharuan secara komprehensif agar tidak terjadi paradoks dalam penegakkan hukum pidana. KUHP tersebut diadopsi dari negara yang menganut asas liberalisme dan kapitalisme, hal ini bertentangan dengan asas hukum di Indonesia yang berazaskan Pancasila.[5]
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam KUHP mengenai stelsel pidana yang diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang hukuman mati, pada hakikatnya hukuman mati tersebut sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan di Indonesia, setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945, hukuman mati dianggap bertentangan dengan Pasal 28 yaitu tentang HAM yang menyatakan: ”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”, yang seharusnya hukuman mati tersebut harus dihapuskan.
Menurut teori stufenbau dari Hans Kelsen ini, sesuai dengan sumber tertib hukum RI dan tata urutan peraturan perundangan RI sebagaimana tercantum dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 Jo. Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 yang berisi setiap peraturan hukum yang berlaku haruslah bersumber kepada peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Ini berarti bahwa setiap peraturan hukum yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi derajatnya. Tetapi dalam kenyataannya masih ada ketentuan peraturan hukum yang bertentangan dengan ketentuan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, misalnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Korupsi. Dalam Pasal 4 Undang-Undang tersebut dinyatakan: ”Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 3”.[6]
b.      Faktor penegak hukumnya, yakni pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum tersebut.[7]
Penegak hukum yang terkait langsung dalam proses penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan, serta praktisi hukum lainnya yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam keberhasilan penegakan hukum ditengah masyarakat. Penegakan hukum dapat dilakukan apabila para penegak hukum tersebut adalah seorang yang profesionalisme, bermental tangguh dan mempunyai integritas moral, etika yang tinggi. Bahwa jika aparatur penegak hukum melakukan paradoks dalam menegakkan hukum sehingga merugikan orang lain, sampai saat ini belum ada sanksi hukum yang tegas terhadap aparatur penegak hukum tersebut, meskipun menurut Pasal 9 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa setiap pejabat yang melakukan penangkapan, penahanan, penuntutan atau diadili tidak berdasarkan kepada undang-undang atau terdapat kekeliruan dalam menegakan hukum dapat dipidana dan menuntut ganti rugi. Tetapi dalam praktek penegakan hukum pidana di Indonesia ketentuan pasal tersebut jarang dipergunakan.[8]
c.       Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
Tanpa sarana dan prasarasana yang memadai tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan sebagaimana mestinya, sarana tempat dimana akan dilakukan proses penegakan hukum misalnya, kantor kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan dan juga prasarana didalamnya tidak memadai mengakibatkan kurang nyamannya proses penegakan hukum karena faktor keamanan dan lain sebagainya.
Demikian juga tak kalah pentingnya skill aparat dari segi hukum dan terampil dalam menjalankan tugasnya, peralatan dan keuangan yang cukup. Proses pemeriksaan perkara di pengadilan berjalan sangat lamban, demikian juga pemeriksaan perkara pada tingkat Kasasi di Mahkamah Agung yang sampai saat ini ribuan perkara masih menumpuk. Hal ini disebabkan karena jumlah Hakim yang tidak sebanding dengan jumlah perkara yang harus diperiksa dan diputus serta masih kurangnya sarana atau fasilitas lain untuk menunjang pelaksanaan peradilan yang baik. Demikian pula pihak kepolisian, kejaksaan belum mempunyai peralatan yang canggih untuk mendeteksi kriminalitas dalam masyarakat. Ketiadaan peralatan modern mengakibatkan banyak kejahatan dalam masyarakat yang belum terungkap misalnya kejahatan perampokan, pembunuhan, dan lain-lain.
d.      Faktor masyarakat, yakni lingkungan dari hukum tersebut berlaku dan diterapkan.
Faktor masyarakat juga dapat mempengaruhi penegakan hukum itu sendiri, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dimasyarakat. Dalam hal ini yang penting adalah kesadaran hukum masyarakat, semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat, semakin baik pula penegakan hukum.[9] Sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka semakin sulit melaksanakan penegakan hukum yang baik. Yang dimaksud dengan kesadaran hukum itu, antara lain adalah pengetahuan tentang hukum, penghayatan fungsi hukum, ketaatan terhadap hukum. Kesadaran hukum merupakan pandangan hukum dalam masyarakat tentang apa hukum itu.
e.       Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.[10]
Faktor budaya pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Hukum adat tersebut merupakan kebiasaan yang berlaku dikalangan rakyat banyak. Akan tetapi di samping itu berlaku pula hukum tertulis (perundang-undangan) yang dibentuk oleh pemerintah. Hukum itu harus dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat agar hukum itu dapat berjalan secara efektif. Sedangkan kebiasaan mempengaruhi para penegak hukum dalam penegakan hukum itu sendiri, misalnya adanya kebiasaan yang kurang baik dalam penegakan hukum pada umumnya berupa pemberian amplop dengan dalih apapun untuk penyelesaian suatu perkara baik pidana maupun perdata. Kebiasaan tersebut sudah dianggap budaya ditengah-tengah pencari keadilan yang sudah merupakan suatu penyakit kronis yang sulit untuk diperbaiki. Padahal kebiasaan yang dianggap budaya tersebut adalah kebiasaanyang melanggar norma yang ada, baik norma hukum maupun norma adat yang mengedepankan budaya malu untuk berbuat yang melanggar ketentuan hukum yang ada.
  1. Teori-Teori Keadilan
a)      Teori Keadilan Aristoteles
Teori keadilan menjadi landasan utama yang harus diwujudkan melalui hukum yang ada. Aristoteles menegaskan bahwa keadilan adalah inti dari hukum.[11] Baginya, keadilan dipahami dalam pengertian kesamaan, namun bukan kesamarataan. Membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya. Arietoteles juga membedakan dua macam keadilan, keadilan distributief dan keadilan commutatief. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut prestasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya.[12]
b)      Teori Keadilan John Rawls
John Rawls dengan teori keadilan sosialnya menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu Pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.[13] Menurut John Rawls terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan kompitabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu.
c)      Teori Keadilan Hans Kelsen
Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Sebagai aliran positivisme mengakui juga bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan.[14] Pengertian Keadilan bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah adil jika ia benar-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah tidak adil jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa.
d)     Teori Keadilan dalam Perspektif Hukum Nasional
Keadilan dalam perspektif hukum nasional tertuju pada keadilan sosial menyangkut kepentingan masyarakat dengan sendirinya individu yang berkeadilan sosial itu harus menyisihkan kebebasan individunya untuk kepentingan individu yang lainnya. Keadilan didalam perspektif hukum nasional ini adalah keadilan yang menselaraskan keadilan-keadilan yang bersifat umum diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu.[15] Keadilan ini lebih menitikberatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
  1. Metode Penelitian
  1. Sifat Penelitian
Penelitian ini adalah tipe penelitian Yuridis Normatif yaitu penelitian yang hendak meneliti tentang asas-asas hukum, sistemaik hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum. Penelitian normatif ialah penelitan yang melakukan studi kepustakaan dengan menelaah buku, laporan, penelitian, jurnal, makalah, artikel dan peraturan perundang-undangan.
  1. Penelitian
a)      Cara Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data dengan cara membaca, mangkaji dan mempelajari buku-buku, dokumen-dokumen laporan, literatur-literatur, tulisan-tulisan pakar hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan penelitian penulis.
b)      Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam melakukan penelitian ini dengan menggunakan metode studi dokumen atau bahan pustaka. Studi dokumen atau bahan pustaka merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan mempergunakan “content analysis”.
  1. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan ini, penyusun menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a)      Studi dokumen atau badan pustaka (Library Reseach)
Penelitian hukum yang dilakukan ini dengan cara melakukan studi kepustakaan terhadap undang-undang, buku, artikel, jurnal serta makalah. Dengan hal ini, kemudian penulis medapatkan gambaran mengenai tindak pidana perdagangan orang yang terjadi. Setelah itu kemudian ditinjau mengenai penerapan upaya penaggulangannya dari aspek kebijakan formulasi hukum pidana. Selanjutnya penulis melakukan kajian pustaka untuk kemudian dapat mengetahui kendala apa saja yang dihadapi dalam upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan orang. Selama proses penelitian ini, penulis tidak menemukan hambatan yang berarti, sebab data-data yang penulis butuhkan dalam membuat penulisan ini telah tersedia dengan lengkap baik di Perpustakaan Nasional serta data-data pelengkap melalui internet.
b)      Observasi
Observasi adalah pengamatan secara langsung terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki dengan maksud untuk meyakinkan kebenaran data yang diperoleh dari pengamatan terhadap kasus perdagangan orang yang terjadi di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
c)      Dokumentasi
Dokumentasi adalah laporan tertulis dari suatu peristiwa yang isinya terdiri dari penjelasan dan pemikiran terhadap peristiwa itu, dan ditulis dengan sengaja untuk menyimpan dan meneruskan kekurangan mengenai suatu peristiwa.[16] Lebih tegas lagi dikatakan bahwa metode dokumentasi adalah usaha untuk memperoleh data yang terkait dengan penelitian melalui catatan buku, brosur, majalah dan sebagainya.[17] Dokumentasi digunakan untuk melengkapi data yang diperoleh dari interview dan observasi.
d)     Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini, metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis kualitatif. Metode analisis kualitatif, yaitu dengan analisis data berupa konsep, pendapat, opini yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan observasi dilapangan yang diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan kemudian diambil kesimpulan. Setelah data yang dibutuhkan terkumpul dengan melalui metode penelitian, data tersebut perlu diolah dan dianalisa dengan baik agar data tersebut bermakna. Adapun metode yang peneliti gunakan adalah metode deduktif, yaitu cara berpikir analitik yang berangkat dari dasar-dasar pernyataan yang bersifat umum menuju pada pernyataan yang bersifat khusus, dengan penalaran yang bersifat rasional.[18]Kemudian dianalisis secara komparatif, yaitu mengkaji tindak pidana anak tersebut dengan cara membandingkan data yang diperoleh dengan hasil penelitian kepustakaan.

BAB II
KERANGKA TEORI

  1. Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
  1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana
Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “Politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “Kebijakan Hukum Pidana” dapat pula disebut dengan istilah “Politik Hukum Pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “Politik Hukum Pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau“strafrechtpolitiek”.[19] Pengertian kebijakan atau politik hukum  pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun politik kriminal.
Menurut Prof. Dr. HR. Abdussalam, politik hukum adalah semua tujuan yang telah ditetapkan termasuk penerapan terhadap hak dan kewajiban baik sebagai setiap warga Negara maupun para penyelenggara Negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Bagi yang melanggar kewajiban dikenakan tanggungjawab hukum dan sanksi hukum baik sanksi andminitrasi, sanksi perdata dan saknsi pidana.[20]
Sementara menurut Prof. Sudarto, politik hukum adalah:
a)      Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
b)      Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Bertolak dari pengertian Prof. Sudarto selanjutnya menyatakan bahwa melaksanakan hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau meyatakan, bahwa melaksanakn politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. pengertian demikian terlihat pula dalam defenisi “penal policy” dari Mark Ancel yang secara singkat dapat dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”.
Politik hukum pidana selain terkait dengan politik hukum juga terkait dengan politik kriminal atau dikenal dengan kebijakan kriminal dan criminal policy. Pengertian politik kriminal menurut Sudarto dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas, yaitu:
a)      Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
b)      Dalam arti yang lebih luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak jukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
c)      Dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk mengakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Secara singkat Sudarto memberikan defenisi politik kriminal sebagai usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Dalam menanggulangi masalah tindak pidana, sekiranya hukum pidana yang dipilih sebagai sarana untuk mencapai tujuan, maka kebijakan hukum pidana tidak boleh lepas dari tujuan kebijakan yang lebih luas yaitu politik kriminal. Dapat dikatakan kebijakan hukum pidana merupakan sub sistem dari politik kriminal sehingga wajar kalau tujuan kebijakan hukum pidana tidak boleh lepas dari tujuan politik kriminal, sedangkan politik kriminal itu sendiri merupakan sub sistem dari kebijakan yang lebih luas yaitu usaha penegakan hukum atau dikenal dengan kebijakan penegakan hukum. Demikian pula dengan kebijakan penegakan hukum khususnya hukum pidana tidak lepas dari kebijakan sosial yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.
Pembaharuan hukum pidana oleh Barda Nawawi Arif dikatakan bahwa harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan karena memang pada hakikatnya pembaharuan hukum pidana hanya merupakan bagian saja dari kebijakan atau politik hukum pada umumnya, dan khususnya bagian dari politik hukum pidana. Lebih luas lagi, politik hukum pidana itu sendiri pada hakikatnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari politik penegakan hukum, politik kriminal dan politik sosial. Di dalam setiap kebijakan dipertimbangkan berbagai nilai, maka jelas pula pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.[21]
Dalam menanggulangi masalah tindak pidana, sekiranya hukum pidana yang dipilih sebagai sarana untuk mencapai tujuan, maka kebijakan hukum pidana tidak boleh lepas dari tujuan kebijakan yang lebih luas yaitu politik kriminal. Dapat dikatakan kebijakan hukum pidana merupakan subsistem dari politik kriminal sehingga wajar kalau tujuan kebijakan hukum pidana tidak lepas dari tujuan poltik kriminal, sedangkan politik kriminal itu sendiri merupakan sub sistem dari kebijakan yang luas yaitu usaha penegakan hukum atau dikenal dengan kebijakan penegakan hukum (law inforcement policy). Demikan juga dengan penegakan hukum khususnya hukum pidana tidak lepas dari kebijakan sosial (social policy) yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus mencakup perlindungan masyarakat (social welfare dan social defence).
  1. Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
Pembaharuan hukum pidana menuntut adanya penelitian dan pemikiran terhadap masalah utama yang sangat fundamental dan strategis, termasuk juga kebijakan dalam menetapkan sanksi pidana bagi pelaku agar menimbulkan efek jera. Upaya melakukan kebijakan hukum pidana dapat dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu tahapan formulasi/ legislasi, aplikasi/ yudikasi, dan tahapan eksekusi. Tahapan-tahapan tersebut dapat dimulai melalui kebijakan hukum pidana dengan cara menyiapkan tatanan baru atau gagasan baru pada masyarakat tertentu, yaitu dengan cara membangun struktur hukum yang jelas dan tegas serta konsisten terhadap batas serta fungsinya. Dalam hal ini harus ada badan legislatif, dan yudikatif yang terdiri dari pengadilan, polisi, penjara, dan birokrasi penegak hukum. Semuanya itu harus dilakukan serba terukur, karena selain hukum dapat dijalankan dengan terukur, juga lebih keras (violent).[22]
Kebijakan formulasi/ tahapan legislasi yang merupakan tahapan yang paling strategis dalam keseluruhan proses kebijakan untuk dapat menerapkan dan mengoperasionalkan sanksi pidana dan pemidanaan. Pada tahapan ini diawali dengan merumuskan aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diharuskan, sehingga menjadi pedoman dala menentukan garis kebijakan bagi tahapan berikutnya, yaitu tahapan penerapan pidana oleh badan peradilan, dan tahapan pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana. Selain itu, tahapan formulasi/ legislasi dianggap tahapan yang penting menurut G.P. Hoefnagels, karena merupakan tahapan dalam menentukan kebijakan dalam hukum penitensier (hukum pemidanaan) atau sentencing policy.[23]
Namun pada akhirnya, seluruh tahapan dalam kebijakan hukum pidana/ politik hukum pidana baik tahapan formulasi/ legislasi, aplikasi/ yudikasi, semuanya merupakan suatu kebijakan penanggulangan hukum pidana, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan dan  peningkatan kesejahteraan masyarakat, akan tercapai apabila proses dan mekanismenya dijalankan sesuai prosedur. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penaggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum khususnya penegakan hukum pidana.
Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum. Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau poltik sosial (social policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi di dalam pengertian “social policy”, sekaligus juga tercakup di dalamnya “social welfare policy” dan “social defence policy”.
Dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materiil, di bidang hukum pidana formal dan di bidang hukum pelaksanaan pidana.[24]
  1. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Perdagangan Orang
  1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana oleh Prof. Moeljatno adalah istilah lain dari perbuatan pidana yang sering dipakai dalam perundangan oleh kementerian kehakiman. Selanjutnya menurut Moeljatno, meskipun kata “tindak” lebih pendek dari pada “perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan dan bertindak dan belakangan juga sering dipakai “bertindak”. Oleh karena tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri, maupun dalam penjelasannya pula selalu dipakai pula kata perbuatan.[25]
Selanjutnya, menurut beliau bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakn bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.[26]
Marshal mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur hukum yang berlaku.[27] Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang.[28] Dalam konsep KUHP tindak pidana diartikan sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.[29] Dalam konsep juga dikemukakan bahwa untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.[30]
Ketika dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melakukannya, maka unsur-unsur perbuatan pidana meliputi beberapa hal. Pertama, perbuatan itu berujud suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaaan yang dilarang oleh hukum. Kedua, kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik dalam pengertiannya yang formil maupun yang yang materiil. Ketiga, adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum. Dalam unsur yang ketiga, adalah terkait dengan beberapa hal yang wujudnya berbeda-beda sesuai dengan ketentuan pasal hukum pidana yang ada dalam undang-undang. Misalnya berkaitan dengan diri pelaku perbuatan pidana, tempat terjadinya perbuatan pidana, keadaan sebagai syarat tambahan bagi pemidanaan, dan keadaan yang memberatkan pemidanaan.[31]
  1. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pengertian perdagangan orang mempunyai arti yang berbeda-beda bagi setiap orang, meliputi sederatan masalah dan isu sensitif yang kompleks sehingga ditafsirkan berbeda-beda oleh setiap orang yang memahaminya tergantung dari sudut pandang pribadi atau organisasinya. Maka dari itu hingga saat ini salah satu masalah utama perdagangan orang adalah masalah definisi. Pada masa lalu, masyarakat biasanya berfikir bahwa perdagangan orang adalah suatu kegiatan yang memindahkan perempuan melewati perbatasan di luar keinginan mereka dan memaksa mereka untuk memasuki dunia prostitusi. Seiring berjalannya waktu, masyarakat lebih memahami mengenai isu perdagangan orang yang kompleks dan sekarang melihat bahwa pada kenyataan perdagangan orang melibatkan berbagai macam situasi.
Penaggulangan tindak pidana dapat diawali dari pencegahan dan diakhiri dengan penindakan hukum yang merupakan bagian dari hukum pidana formal. Karena itu penanggulangan tindak pidana dapat meliputi hukum pidana materiil dan hukum pidana formal. Dalam tindak pidana materril, bentuk dan jenisnya dapat berupa tindak pidana umum yang diatur dalam KUHP, dan tindak pidana khusus yang diatur dalam peraturan perundang-undangan diluar KUHP. Salah satu tindak pidana khusus adalah tindak pidana perdagangan orang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Tindak pidana perdagangan orang memuat aspek-aspek yang bertentangan dengan kesejahteraan umum. Lebih-lebih praktek tindak pidana perdagangan orang selalu disertai dengan berbagai tindakan ancaman dan kekerasan, sehingga menimbulkan ketersiksaan bagi si korban pada masa depannya, apalagi korban tindak pidana perdagangan orang pada umumnya adalah pihak yang dalam kondisi tidak berdaya baik secara fisik, psikis, maupun ekonomi.
Meskipun sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 perdagangan orang sudah diatur dalam KUHP, yaitu Pasal 297 yang mengancam hukuman enam tahun penjara bagi siapapun yang memperdagangkan perempuan dan anak laki-laki di bawah umur, ini dianggap tidak efekif untuk menjerat pelaku perdagangan orang atau yang lebih populer lebih dikenal dengan human trafficking terorganisasi.
Di Indonesia, peraturan tentang perdagangan orang sudah diatru dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam undang-undang terseut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah “tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekerasan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.[32]
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 juga merumuskan mengenai ruang lingkup tindak pidana perdaganga orang yaitu:[33]
a)      Setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentuan dalam undang-undang ini (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007). Selain itu, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 juga melarang setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah Negara Kesatuan Wilayah Republik Indonesia untuk dieksploitasi;
b)      Membawa Warga Negara Indonesia (WNI) ke luar wilayah NKRI untuk tujuan eksploitasi;
c)      Mengangkat anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu untuk maksud eksploitasi;
d)     Mengirimkan anak ke dalam atau luar negeri dengan cara apapun; dan setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban TPPO dengan cara melakukan persetubuhan atau pencabulan, mempekerjakan korban untuk tujuan eksploitasi atau mengambil keuntungan;
e)      Setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan pada dokumen negara ata dikumen lain untuk mempermudah TPPO;
f)       Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan bukti palsu atau  baran bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum;
g)      Setiap orang yang menyerang fisik terhadap saksi atau petugas di persidangan perkara TPPO; setiap orang mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan persidangan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara TPPO; setiap orang yang membantu pelarian pelaku TPPO;
h)      Setiap orang yang memberikan identitas saksi atau korban padahal seharusnya dirahasiakan.
  1. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perdagangan Orang
Faktor-faktor yang paling mendukung adanya perdagangan orang diantaranya karena adanya permintaan (demand) terhadap pekerjaan di sektor informal yang tidak memerlukan keahlian khusus, mau dibayar dengan upah relatif rendah serta tidak memerlukan perjanjian kerja yang rumit, sehingga menyebabkan para pelaku terdorong untuk melakukan bisnis perdagangan orang. Dari segi ekonomi kegiatan usaha/ bisnis seperti ini dapat mendatangkan keuntungannya yang sangat besar serta adanya celah hukum yang menguntungkan para pelaku perdagangan orang yaitu kurangnya penegakan hukum di Indonesia, terutama dalam mengadili pelaku perdagangan orang, termasuk pemilik/ penglola/ perusahan pengerah tenaga kerja, sehingga mereka dapat memanfaatkan korban dan calon korban perdagangan orang.[34]
Para pelaku perdagangan orang bekerja sangat rapi dan terorganisasi. Umumnya mereka melakukan pencarian korban dengan berbagai cara, seperti mengiming-imingi calon korban dengan berbagai daya upaya.diantara para pelaku tersebut ada yang langsung menghubungi calon korban, atau menggunakan cara lain dengan modus pengiriman tenaga kerja, baik antardaerah, antarnegara, pemindahtanganan atau transfer, pemberangkatan,  penerimaan, penampungan yang dilakuka sangat rapi,dan tidak terdeteksi oleh sistem hukum yang berlaku, bahkan ada di antaranya yang dilindungi oleh aparat (pemerintah dan penegak hukum). Cara kerja pelaku ada yang bekerja sendirian ataupun secara terorganisir yang bekerja dengan jaringan yang menggunakan berbagai cara, dari yang sederhana dengan cara mencari dan menjebak korban ke daerah-daerah mulai dari membujuk, menipu dan memanfaatkan kerentanan calon korban dan orang tuanya, bahkan sampai pada kekerasan, menggunakan teknologi canggih dengan cara memasang iklan, menghubungi dengan telepon genggam yang dapat diakses di mana saja, sampai dengan menggunaka internet.
Selain itu salah satu sumber penyebab dari perdagangan orang adalah adanya diskriminasi gender; praktik budaya yang berkembang di masyarakat Indonesia, pernikahan dini, kawin siri, konflik dan bencana alam, putus sekolah, pengaruh globalisasi, sistem hukum dan penegakan hukum yang lemah, keluarga yang tidak harmonis, rendahnya nilai-nilai moral agama, dan sebagainya. Tetapi lebih dari itu karena ada faktor eksternal yang secara terorganisasi dan sistemik memaksa korban menuruti kehendaknya. Mereka ini adalah para pengasuh hiburan, cukong, lelaki hidung belang, penganut seks bebas, manusia berkelainan jiwa, perubahan perilaku manusia modern dan sebagainya.
  1. Bentuk-Bentuk Perdagangan Orang
Ada beberapa bentuk tindak perdagangan orang yang harus diwaspadai, karena terkadang masyarakat tidak sadar bahwa dirinya sudah menjadi korban dari perdagangan orang. Bentuk-bentuk tindak pidana perdagangan orang menurut Agus Hamim dan Agustinanto,[35]yaitu:
a)      Kerja paksa seks dan eksploitasi seks – baik di luar negeri maupun di wilayah Indonesia. Dalam banyak kasus, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran, PRT, pekerja restoran, penjaga toko, atau pekerjaan- pekerjaan lain tanpa keahlian tetapi kemudian dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan.
b)      Pembantu Rumah Tangga (PRT) – baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. PRT baik yang di luar negeri maupun yang di Indonesia diperdagangkan ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang termasuk jam kerja wajib yang sangat panjang, penyekapan ilegal, upah yang tidak dibayar atau yang dikurangi, kerja karena jeratan hutang, penyiksaan fisik ataupun psikologis, penyerangan seksual, tidak diberi makan atau kurang makanan, dan tidak boleh menjalankan agamanya atau diperintah untuk melanggar agamanya. Beberapa majikan dan agen menyita paspor dan dokumen lain untuk memastikan para pembantu tersebut tidak mencoba melarikan diri.
c)      Bentuk Lain dari Kerja Migran – baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. Meskipun banyak orang Indonesia yang bermigrasi sebagai PRT, yang lainnnya dijanjikan mendapatkan pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian di pabrik, restoran, industri cottage, atau toko kecil. Beberapa dari buruh migran ini diperdagangkan ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang dan berbahaya dengan bayaran sedikit atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Banyak juga yang dijebak di tempat kerja seperti itu melalui jeratan hutang, paksaan, atau kekerasan.
d)     Penari, Penghibur dan Pertukaran Budaya–terutama di luar negeri. Perempuan dan anak perempuan dijanjikan bekerja sebagai penari duta budaya, penyanyi, atau penghibur di negara asing. Pada saat kedatangannya, banyak dari perempuan ini dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan dengan kondisi mirip perbudakan.
e)      Pengantin Pesanan–terutama di luar negeri. Beberapa perempuan dan anak perempuan yang bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing, telah ditipu dengan perkawinan. Dalam kasus semacam itu, para suami mereka memaksa istri-istri baru ini untuk bekerja untuk keluarga mereka dengan kondisi mirip perbudakan atau menjual mereka ke industri seks.
f)       Beberapa Bentuk Buruh/ Pekerja Anak–terutama di Indonesia. Beberapa (tidak semua) anak yang berada di jalanan untuk mengemis, mencari ikan di lepas pantai seperti jermal, dan bekerja di perkebunan telah diperdagangkan ke dalam situasi yang mereka hadapi saat ini. Dan terakhir, Penjualan Bayi–baik di luar negeri ataupun di Indonesia. Beberapa buruh migran Indonesia (TKI) ditipu dengan perkawinan palsu saat di luar negeri dan kemudian mereka dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi ilegal. Dalam kasus yang lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh PRT kepercayaannya yang melarikan bayi ibu tersebut dan kemudian menjual bayi tersebut ke pasar gelap.
  1. Modus Operandi Tindak Pidana Perdagangan Orang
Tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) umumnya dilakukan dengan cara pelanggaran terhadap hak asasi manusia, yaitu berupa pelanggaran harkat dan martabat manusia yang berupa perlakuan kejam, dan bahkan perlakuan serupa perbudakan. Perlakuan ini diterima sebagai ketidakberdayaan korban, yang terjebak dalam jeratan jaringan yang sangat sulit untuk diidentifikasi, sehingga akan berakibat sulit untuk menemukan solusianya. Modus perdagangan orang yang paling menonjol diantaranya disebabkan kemiskinan, pendidikan rendah, keluarga yang tidak harmonis/ perceraian, bencana alam, dan bisa gender.
Selain itu faktor geografis Indonesia yang sangat strategis, kondisi keuangan negara, perlindungan hukum serta penegakan hukum khususnya hukum HAM, rendahnya pemahaman rehadap moral dan nilai-nilai religius rendah, mengakibatkan adanya permintaan yang main meningkat untuk bekerjanya di luar negeri, dengan iming-iming gaji yang sangat besar dan tidak memerlukan keterampilan yang khusus, kurangnya kesempatan kerja dalam negeri, budaya masyarakat yang konsumtif, dan faktor lingkungan turut mendukung. Sementara itu, pengguna Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terutama di sektor informal sangat menguntungkan, karena TKI dapat dibayar dengan upah yang rendah, mempunyai sifat penurut, loyal dan mudah diatur. Keadaan ini menimbulkan tumbuh suburnya modus-modus yang makin beragam, karena sistem hukum yang ada di Indonesia masih lemah, khususnya dalam penegakan hukum TPPO.
Oleh karena itu, untuk menjamin dan melindungi hukum HAM perlu adanya sosialisasi yang berkesinambungan tentang bahaya perdagangan orang, dan juga regulasi sistem hukum baik substansi, struktur dan budaya hukum. Selain itu pemberdayaan ekonomi masyarakat, tingkat pendidikan, dan pendidikan moral harus terus menerus disosialisasikan dan diinternalisasikan. Selain beberapa hal tersebut di atas, modus lain dalam tindak pidana perdagangan adalah kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah, pemahaman moral dan agama yang kurang, gaya hidup masyarakat yang konsumtif, pemahaman akan persamaan gender dalam keluarga dan masyarakat yang masih bias, rendahnya pendidikan masyarakat, dan kondisi ekonomi masyarakat yang belum merata.
  1. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
  1. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Secara Preventif (Pencegahan) Upaya pencegahan merupakan suatu pencegahan kejahatan, dimana dilakukan sebelum kejahatan itu terjadi, upaya ini seharusnya lebih diutamakan daripada upaya yang bersifat represif. Ada pendapat yang mengatakan bahwa mncegah lebih baik daripada mengobati. Demikian pula W.A. Bonger mengatakan bahwa, dilihat dari efisiensi dan efektifitas upaya pencegahan lebih baik daripada upaya yang bersifat represif. Dalam dunia kedokteran kriminal telah disepakati suatu pemikiran mencegah kejahatan adalah lebih baik daripada mencoba mendidik penjahat menjadi baik kembali, lebih baik disini jug berarti lebih mudah, lebih murah dan lebih mencapai tujuannya.[36]
Mengutip pendapat yang disampaikan oleh Hery Firmansyah, penggunaan sarana non-penal sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan dapat dilakukan dengan  penyantunan dan pendidikan sosial dala rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat; penggarapan kesehatan jiwa melalui pendidikan formal; agama dan sebagainya; penigkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, khususnya yang terkait langsung dengan perdagangan orang yakni dengan melakukan kegiatan patroli atau dengan melakukan usaha-usaha pengawasan lainnya. Sebab tujuan dari usaha-usaha non-penal adalah untuk dapat memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.
Lebih lanjut Hery Firmansyah mengatakan dengan mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Soedjono, bahwa secara umum pencegahan kejahatan dapat dilakukan dengan menggabungkan beberapa metode. Pertama, cara Moralistic (miring) yang dilaksanakan dengan penyebarluasan ajaran-ajaran agama dan moral, undang-undang yang baik dan sarana-sarana lain yang dapat mengekang nafsu untuk berbuat kejahatan. Kedua, adalah dengan cara Abiliosinistik yang berusaha untuk memberantas sebab-musababnya. Umpamanya kita ketahui bahwa faktor tekanan ekonomi (kemelaratan) merupakan salah satu faktor penyebab, maka usaha untuk mencapai kesejahteraan untuk mengurangi kejahatan yang disebabkan oleh faktor ekonomi merupakan cara Abiliosinistik. Adapun pencegahan kejahatan melalui pendekatan kemasyarakatan, yang biasa disebut Community Based Crime Prevention, melibatkan segala kegiatannya untuk memperbaiki kapasitas masyarakat dalam mengurangi kejahatan dengan jalan meningkatkan kontrol sosial informal.[37]
Pencegahan sebelum terjadinya tindak pidana merupakan suatu upaya untuk memberikan dan menghindari rasa takut masyarakat dari gangguan pihak lain dalam melakukan kejahatan. Sebab, Polri merupakan alat pengontrol atau pengawas tindak pidana yang efektif. Jika kembali mengacu berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tugas poko polisi antara lain:
a)      Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b)      Menegakkan hukum;
c)      Memberi perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dengan melakukan segala usaha dan kegiatan di lingkungan kepolisian, yang bertujuan untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memelihara keselamatan orang, benda dan barang termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan, khususnya mencegah terjadinya pelanggaan hukum. Pada kenyataannya kepolisian melakukan razia-razia ke tempat hiburan, hotel, atau tempat yang dianggap sangat rawan berpotensi terjadinya perdagangan orang, biasanya baik perempuan maupun anak-anak, jika perempuan misalnya dengan bentuk eksploitasi seksual seperti mempekrjakan perempuan di bawah umur ataupun dewan sebagai pekerja seks komersil. Disamping itu juga melakukan pengawasan secara ketat di tempat lain yang terindikasi dapat melancarkan lalu lintas perdagangkan orang seperti di pelabuhan laut, pelabuhan udara, pintu gerbang perbatasan dengan negara lain dan patroli perairan untuk mengawasi kapal/ perahu yang diduga membawa tenaga kerja dengan tujuan mencegah lalu lintas manusia yang diperdagangkan secara ilegal dari desa ke kota maupun dari satu kota ke kota yang lainnya serta dari dalam negeri ke negara tujuan.
  1. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdangan Orang Secara Represif (Penindakan)
Penaggulangan Represif menurut pendapat Bambang Purnomo, yaitu tindakan dari petugas hukum terhadap perbuatan seseorang yang dilakukan setelah terjadinya pelanggaran hukum. Penanggulngan tindak pidana ini dimulai dari tindakan pengusutan dan penyediaan barang bukti oleh polisi, tindakan penuntutan oleh jaksa, kemudian diteruskan pemeriksaan sidang oleh hakim yang mengutamakan analisa dari kejadian yang berakibat melanggar dan aturan hukum yang bersangkutan untuk memperoleh putusan hakim dan berakhir dengan pelaksanaan putusan.[38]
Dengan kata lain, upaya ini merupakan upaya-upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum setelah terjadinya suatu tundak pidana yang meliputi tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dalam sidang pengadilan, sampai dengan dilaksankannya putusan pidana. Adapun tugas Polri dalam hal ini, apabila tindak pidana perdagangan orang, penyidik Polri dapat melakukan kegiatan berupa:
a)      Mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap sebagai tindak pidana yang dilakukan pelaku,
b)      Menetukan dapat atau tidaknya dilakukan upaya penyidikan terhadap pelaku,
c)      Mencari serta mengumpulkan bukti kejahatan perdagangan orang,
d)     Membuat terang tindak pidana kejahatan perdagangan orang yang terjadi,
e)      Menemukan tersangka pelaku tindak pidana.
Lebih lanjut lagi, Polri dapat melakukan razia di tempat yang terindikasi adanya praktek perdagangan orang misalnya panti pijat, lokalisasi, tempat karaoke, penampungan wanita dan anak, maupun tempat hiburan lainnya.
Di dalam pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa Proses Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai sesuai dengan tata cara yang diatur dalam undang-undang ini, guna menacari serta mengumpulkan bukti, sebab dengan bukti membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Jadi dalam tahapan penyidikan ini, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agat dapat menemukan dan menentukan pelakunya.
Mengingat fungsi Polri dalam struktur kehidupan masyarakat sebagai pengayom masyarakat, penegak hukum serta mempunyai tanggung jawab khusus untuk memelihara ketertiban masyarakat dalam menangani kejahatan, termasuk dalam bentuk tindakan terhadap kejahatan perdagangan orang maupun bentuk pencegahan tindak pidana perdagangan orang, agar para anggota masyarakat dapat hidup dan bekerja dalam keadaan aman dan tenteram. Sesuai dengan pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyatakan bahwa Polri adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.[39]
Di dalam melakukan proses penyidikan perkara tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh pihak kepolisian, harus berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kecuali apabila ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (human trafficking). Hal ini tercantum dalam pasal 28 sampai dengan pasal 42. Sedangkan di dalam pasal 28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 menyatakan bahwa Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Dalam penanganan korban perdagangan orang terutama korban dari eksploitasi seksual, mensyaratkan agar dilakukannya dengan penanganan khusus. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga menyebutkan bahwa untuk melindungi saksi-korban, di setiap Propinsi dan Kabupaten/ Kota wajib untuk dibentuk Ruang Pelayanan Khusus yang saat ini disebut dengan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) dalam kantir kepolisian. Lebih lanjut lagi dalam pengaturannya menurut Pasal 2 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, unit tersebut bertugas memberikan pelayanan dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap pelakunya. Selain itu, dalam melaksanakan tugasnya, pasal 4 menyatakan bahwa fungsi Unit Pelayanan Perempuan dan Anak ini, sebagai berikut:
a)      Penyelenggaraan pelayanan dan perlindungan hukum;
b)      Penyelenggaraan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana;
c)      Penelenggaraan kerja sama dan koordinasi dengan instansi terkait.
Oleh sebab itu di setiap kantor polisi seharusnya tersedia sejumlah petugas yang mempunyai keahlian khusus untuk dapat menangani tindak pidana perdagangan orang ini, khusunya terhadap korban ekploitasi seksual. Penyidik harus memiliki keterampilan sosial, pengetahuan tentang posisi dan duduk permasalahan yang dihadapi oleh korban atau mereka yang diduga sebagai korban tindak pidana. Sebab dalam penanganan yang dilakukan oleh pihak penyidik, korban hendak menyampaikan laporan perihal tindak pidana yang dialaminya, disamping itu penyidik telah terbiasa bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang dapat meyediakan bantuan, pelayanan dan pendampingan korban, baik dari lembaga swadaya masyarakat maupun dari instansi pemerintah terkait lainnya.
Keterangan korban yang diberikan saat tingkat penyidikan adalah merupakan sebagai bukti awal secara formal untuk dapat memulai suatu proses pemeriksaan perkara. Keterangan tersebut diproses secara profesional, dengan kehati-hatian dan kecermatan. Laporan atau aduan yang dilakukan oleh korban perdagangan orang tidak dapat begitu saja untuk mencabut keterangannya dan menghentikan proses penyidikan yang sudah berjalan, sebab tindak pidana perdagangan orang merupakan ancaman bagi kepentingan umum.
Adapun demikian, tidak menutup kemungkinan untuk dihentikannya proses penyidikan dalam tindak pidana perdagangan orang ini. Sebab proses penyidikan merupakan kompetensi bagi pihak penyidik, termasuk untuk menghentikannya, bardasarkan pasal 109 ayat (2) KUHAP alasan pemberian wewenang penghentian penyidikan ada dua unsur, yaitu:[40]
a)      Untuk menegakkan prinsip penegakan hukum yang cepat, tepat, dan biaya ringan, sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. Jika penyidik berkesimpulan bahwa hasil penyelidikan dan penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka ke persidangan, peniydik secara resmi menyatakan penghentian pemeriksaan penyidikan, agar dengan demikian segera tercipta kepastian hukum;
b)      Supaya penyidikan terhindar dari kemungkinan tuntutan ganti kerugian, jika perkaranya diteruskan ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut ataupun menghukum, dengan sendirinya memberi hak kepada tersangka/ terdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan pasal 95 KUHAP.
Selanjutnya secara singkat mengenai alat bukti menurut pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (human trafficking), selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa:
a)      Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b)      Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/ atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada:
1)      Tulisan, suara, atau gambar;
2)      Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau
3)      Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Dalam ketentuan yang dinyatakan dalam Pasal 29 huruf (b) tersebut, misalnya data yang tersimpan dalam komputer, telepon atau peralatan elektronik lainnya atau catatan lainnya seperti:
a)      Catatan rekening bank, catatan keuangan, catatan kredit atau utang, atau catatan transaksi yang terkait dengan seseorang atau korporasi yang diduga terlibat di dalam perkara tindak pidana perdagangan orang;
b)      Catatan pergerakan, perjalanan, atau komunikasi oleh seseorang atau organisasi yang diduga terlibat di dalam tindak pidana menurut undang-undang ini; atau
c)      Dokumen, pernyataan tersumpah atau bukti-bukti lainnya yang didapat dari negara asing, yang mana Indonesia memiliki kerja sama dengan pihak-pihak berwenang negara tersebut sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang yang berkaitan dengan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana.

BAB III
PEMBAHASAN

  1. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang dari Aspek Kebijakan Politik Hukum Pidana
Kebijakan formulasi dapat berupa kriminalisasi/ pembaruan hukum dengan menciptakan aturan baru dan menambah/ merevisi aturan lama. Secara umum pembaharuan hukum pidana dapat dilaksanakan untuk seluruh bagian hukum pidana secara global/ menyeluruh, ataupun secara parsial/bagian baik hukum pidana umum maupun hukum pidana khusus. Salah satu bagian hukum pidana khusus yang merupakan hasil formulasi di bidang hukum pidana adalah tindak pidana perdagangan orang. Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana terhadap tindak pidana perdagangan orang, juga merupakan salah satu bagian dari upaya mencapai penegakan hukum dalam hukum pidana. Penegakan hukum merupakan rangkaian proses dalam menjabarkan nilai, ide, dan cita-cita yang cukup abstrak, dan menjadi realita dalam tujuan hukum. Pencegahan tindak pidana perdagangan orang (human trafficking), harus selaras dengan tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas nyata. Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam wujud hukum yang berupa peraturan  perundang-undangan.
Kebijakan formulasi dengan membuat peraturan hukum ditujukan untuk dilaksanakan, pelaksanaan hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, karena itu penilaian terhadap bekerja dan berlakunya hukum sangat bergantung pada lingkungan dan struktur sosial masyarakat dimana hukum tersebut di berlakukan. Dengan demikian, dalam melaksanakan kebijakan formulasi terhadap tindak pidana perdagangan orang harus juga dipertimbangkan pendekatan-pendekatan yang tidak hanya berdasarkan kebijakan hukum semata, melainkan harus mempertimbangkan nilai-nilai, dan budaya yang hidup dalam masyarakat. Hal ini penting dipertimbangkan, karena dalam menerapkan kebijakan hukum pidana peraturan perundang-undangan yang berlaku akan dapat bekerja dan berjalan secara optimal, apabila sesuai dengan nilai-nilai masyarakat. Perubahan ini didasari oleh kesadaran akan keberadaan manusia, yang secara kodrati mempunyai beberapa hak yang harus dipertahankan dan dihormati oleh orang lain dalam melaksanakan hubungan/ interaksi sosial. Kesadaran untuk mempertahankan dan menghormati hak orang lain inilah kemudian memunculkan adanya pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Di Indonesia, wacana pengakuan dan perlindungan HAM tidak hanya terbatas pada perdagangan orang saja, melainkan terhadap hampir semua perbuatan, sehingga daya  berlakunya perlu diaktualisasikan dalam ilmu hukum sebagai bagian dari formulasi kebijakan hukum pidana. Kebijakan formulasi melalui tataran kriminalisasi atau pembaharuan hukum merupakan upaya pemerintah dalam mewujudkan keejahteraan masyarakat. Atas dasar itu dengan dilandasi penghormatan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, pemerintah Indonesia mengundangkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, secara materil ruang lingkup tindak pidana perdagangan orang mengandung unsur objektif dan unsur subjektif sebagai berikut:
  1. Unsur Objektif yaitu:
1)      Adanya perbuatan TPPO, yaitu:
a)             Perekrutan;
b)             Pengangkutan;
c)             Penampungan;
d)            Pengiriman;
e)             Pemindahan;
f)              Penerimaan
2)      Adanya akibat yang menjadi syarat mutlak (dilarang) yaitu:
a)     Ancaman/ penggunaan kekerasan;
b)    Penculikan;
c)     Penyekapan;
d)    Pemalsuan;
e)     Penipuan;
f)     Penyalahgunaan kekuasaan;
g)    Posisi rentan.
3)      Adanya tujuan atau akibat dari perbuatan, yaitu:
a)     Penjeratan utang;
b)    Memberi bayaran/ manfaat
c)     Eksploitasi, terdiri dari:
1.      Eksploitasi seksual
2.      Kerja paksa atau pelayanan paksa
3.      Transpalansi organ tubuh
d)    Unsur tambahan
Dengan atau tanpa persetujuan orang yang memegang kendali.
  1. Unsur Subjektif yaitu:
1)      Kesengajaan:
a)     Sengaja memberikan kesaksian dan keterangan palsu
b)    Sengaja melakukan penyerangan fisik
2)      Rencana terlebih dahulu:
a)     Mempermudah terjadinya TPPO;
b)    Sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan proses hukum;
c)     Sengaja membantu pelarian pelaku TPPO;
d)    Sengaja memberitahukan identitas saksi.
Membandingkan unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, maka pengaturan tindak pidana perdagangan orang tersebut di atas, jelas terlihat adanya  perubahan, yang merupakan kriminalisasi/ pembaharuan hukum pidana dalam UU No. 21 Tahun 2007, dibandingkan dengan pasal 297 KUHP yang mengatur perdagangan orang sebelumnya. Secara substansi, kriminalisasi/ pembaharuan hukum dalam UU Nomor 21 Tahun 2007, terlihat dari adanya perluasan pengaturan unsur subjektif dan unsur objektif.  Namun demikian, dalam perjalanannya ternyata masih banyak dirasakan adanya kelemahan dalam substansi (kebijakan formulasi) dalam UU Nomor 21 Tahun 2007.
Hasil kriminalisasi dalam UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dapat terlihat dari adanya perluasan subjek tindak pidana perdagangan orang, seperti terlihat dari rumusan Pasal 1 angka 4, yaitu pelaku tidak hanya berupa perseorangan yang merupakan manusia (natural person), tetapi juga diatur adanya pelaku yang berbentuk korporasi. Berdasarkan kebijakan hukum pidana, upaya ini merupakan hasil formulasi hukum/ kebijakan hukum yang berorientasi ke depan, sebagai antisipasi sebagai wujud dari upaya pencegahan yang merupakan pembaruan hukum pidana dalam tindak pidana perdagangan orang/ kriminalisasi.

  1. Kendala Dalam Melaksanakan Upaya Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Pencegahan tindak pidana adalah langkah awal dalam penanggulangan tindak pidana, karena itu membahas pencegahan tindak pidana tidak dapat terlepas dari kebijakan penanggulangan pidana, yang secara keseluruhan merupakan bagian dari penegakan hukum (law enforcement), dan sekaligus memberikan perlindungan pada masyarakat (social defence). Menurut Marc Ancel, setiap masyarakat menentukan adanya tertib sosial, yaitu adanya seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi juga sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada umumnya.[41]
Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Perlindungan terhadap individu maupun masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, dalam hal ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan masyarakat. Atas dasar itu, sistem hukum pidana, tindak pidana, penilaian hakim terhadap si pelanggar dalam hubungannya dengan hukum secara murni, maupun pidana merupakan lembaga-lembaga (institusi) yangharus dipertahankan. Kejahatan sebagai “a human and social problem”, menurut Marc Ancel tidak begitu saja dengan mudah dapat dirumuskan dalam suatu peraturan perundang-undangan.[42]
Menanggulangi kejahatan hendaknya tidak hanya mengandalkan pada sistem hukum yang berlaku, melainkan dengan memadukan berbagai konsep upaya penegakan hukum, yaitu:
1)      Hukum yang merupakan perwujudan dari undang-undang, harus berwawasan ke masa yang akan datang sebagai bagian dari proses penegakan hukum (criminal justice system) dengan berorientasi pada kebenaran dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
2)      Aparatur yang tertata dengan baik, dengan personal yang profesional di bidangnya, didukung oleh sarana dan prasarana yang up to date serta sarat untuk penanggulangan kejahatan modern, dengan modus operandi yang canggih dan terselubung.
3)      Koordinasi yang serasi antar fungionaris hukum dan aparatur pemerintah terkait yang berdedikasi dan berorientasi pada upaya mewujudkan keamanan, ketertiban, keadilan, dan kesejahteraan.
4)      Partisipasi masyarakat yang harus dimodifikasi, agar kondisi potensial dapat terangkat menjadi kekuatan nyata warga masyarakat yang peduli terhadap kejahatan dan aktif ambil bagian dalam penaggulangan, dan melakukan sikap yang antisipatif terhadap kejahatan.[43]
Menurut Koesparmono Irsan bahwa strategi dan kebijakan penanggulangan kejahatan, terutama kejahatan, terutama kejahatan terorganisasi tidaklah sederhana. Pencegahan kejahatan dapat dilakukan melalui pendekatan-pendekatan yang dilakukan melalui pendekatan filosofi, sosiologis, psikologis, yuridis, kriminologis dan manajerial. Pendekatan filosofis bertolak dari cermin insan pancasila, yang selalu menginginkan hidup lebih baik dan berguna bagi orang banyak; pendekatan sosiologis diperlukan karena kejahatan adalah bagian dari masyarakat, yang akan diarahkan untuk kembali menjadi anggota masyarakat yang baik; pendekatan psikologis mengandaikan pelaku kejahatan akan dibimbing menjadi manusia yang punya kepribadian lebih baik. Adapun pendekatan yuridis mengarahkan pelaku kejahatan untuk menyadari bahwa perbuatannya telah melanggar undang-undang. Terakhir pendekatan kriminologis membantu dalam mempelajari kejahatan sebagai penyebab kejahatan.[44]
Dengan demikian, dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang yang merupakan pelanggaran harkat dan martabat manusia atau sebagai salah satu bentuk modern dari perbudakan, dewasa ini menjadi perbuatan yang sangat memprihatinkan, dapat dilakukan dengan langkah-langkah persuasif melalui lembaga sosial. Hal ini didasarkan pada realita yang terjadi, sekalipun sudah ada pengaturan hukum secara tertulis dan ditambah dengan peraturan-peraturan pelaksana yang berlaku di daerah-daerah, tidak membuat jera para pelaku perdagangan orang. Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 siapapun dilarang untuk melakukan TPPO, membantu orang lain melakukan TPPO, sekalipun kegiatan dari usaha/ bisnis ini dapat mendatangkan keuntungan ekonomis yang cukup besar. Karena itu, sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab dari pemerintah untuk berupaya mencegah, menanggulangi, bahkan memberantas TPPO. Hal ini tidak mungkin apabila hanya dibebankan kepada pemerintah saja, melainkan harus bekerja sama dengan lembaga lain, unsur masyarakat, dan seluruh orang untuk peduli terhadap TPPO. Selain itu agar supaya pencegahan dan penegakan TPPO ini dapat berjalan, maka harus didukung oleh anggaran dan yang memadai. Selain dukungan dana/ anggaran, guna mengefektifkan upaya pencegahan dan penegakan TPPO diperlukan adanya sarana lain yang mendukung, diantaranya informasi.
Informasi diperlukan oleh setiap orang dalam pencegahan dan penaggulangan TPPO. Untuk menjamin agar informasi akurat, maka data yang diinformasikan harus oleh Gugus Tugas Nasional berdasarkan laporan nyata/ realita dari perkembangan dan berita dari daerah-daerah, yang kemudian dapat dijadikan rujukan informasi bagi siapapun yan membutuhkannya.
Secara umum, penyebab TPPO adalah masalah ekonomi (kemiskinan) dengan modus penjeratan utang dan rendahnya tingkat pendidikan, sehigga upaya pencegahannya juga harus berjalan dengan upaya penanggulangan kemiskinan dan peningkatan serta perluasan kesempatan kerja dan lapangan pekerjaan. Namun selain masalah kemiskinan dan  pendidikan rendah, masih banyak penyebab lainnya dari TPPO yang sangat kompleks, sehingga pencegahan dan penanggulangannya memerlukan upaya yang menyeluruh, terpadu, berkelanjutan, serta terkoordinasi dengan baik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, media massa, dan seluruh komponen masyarakat. Dengan kata lain, diperlukan adanya upaya pencegahan dan penanganan dengan meningkatkan peran serta dan fungsi berbagai sektor dan elemen dari tingkat pusat sampai ke daerah.
Sekalipun berbagai rencana strategis dan upaya penanggulangan sudah direncanakan dan dilaksanakan, namun realita dalam masyarakat masih banyak kedala yang dihadapi dalam pencegahan TPPO. Atas dasar itu, upaya pencegahan dan penegakan hukum adalah upaya menyelaraskan dan menserasikan adanya ketidakserasian antar nilai, kaidah dan pola prilaku dalam penerapan hukum. Ketidakserasian ini terjadi apabila antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma dalam kaidah-kaidah menjadi bersimpang siur, dan pola prilaku yang tidak terarah dan mengganggu kedamaian pergaulan hidup. Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum bukan semata-mata baerarti pelaksanaan undang-undang, walaupun dalam kenyataan di Indonesia kecenderungan demikian, sehingga pengertian penegakan hukum (law enforcement) juga dapat berupa melaksanakan keputusan-keputusan hakim.
Demikian juga dalam pencegahan TPPO, tidak dapat terlepas dari proses penegakan hukum. Upaya yang dapat dilakukan tidak hanya berpedoman pada undang-undang saja, tetapi justru pada implementasi penerapan kebijakan dari pemerintah. Karena itu, dalam realita upaya penegakan hukum TPPO tidak dapat disamakan antara satu daerah dengan daerah yang lainnya, tetapi tergantung dari akar penyebabnya. Terlebih nilai-nilai dan budaya masyarakat indonesia sangat beragam dan beraneka coraknya.
Melihat pada beberapa kasus TPPO yang terjadi, maka kendala dalam upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang sangat beragam dan kompleks, karena penyebab dari tindak pidana perdagangan orangpun beragam modusnya. Diantara kendala tersebut yang paling signifikan adalah:
1)      Masih banyak anggota masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan;
2)      Minimnya kualitas pendidikan dan pelatihan bagi calon TKI yang akan bekerja ke luar negeri;
3)      Masih minimnya sarana perekrutan tenaga kerja lokal;
4)      Masih adanya pemahaman dalam masyarakat untuk melegalkan perkawinan di usia dini;
5)      Masih maraknya penjeratan utang dalam perkerutan sampai pemulangan tenaga kerja, sehingga berpotensi tejadinya tindak pidana perdagangan orang;
6)      Masih kurangnya kegiatan pendukung di daerah asal bagi korban TPPO, sehingga korban yang sudah dipulangkan rentan untuk diperdagangkan kembali;
7)      Masih ada pemanfaatan fasilitas wisata untuk membuka celah prostitusi;
8)      Belum optimalnya peran serta masyarakat dan tokoh masyarakat dalam upaya penanggulangan TPPO;
9)      Belum ada sistem monitoring dan evaluasi yang terpadu dalam pencegahan TPPO;
10)  Belum adanya pemahaman yang sama dalam penegakan hukum TPPO;
11)  Instrumen hukum yang menyulitkan dalam menghadirkan alat bukti;
12)  Lemahnya keterlibatan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penindakan  pelaku;
13)  Kualitas SDM aparat penegak hukum dan sarana serta prasarana yang belum mendukung;
14)  Masih lemahnya bantuan hukum bagi korban, terutama korban yang bekerja di luar negeri;
15)  Terdapat kesulitan dalam teknis penegakan pelaku yang berstatus Warga Negara Asing (WNA);
16)  Belum optimalnya peran dan fungsi gugus tugas di tingkat nasional, propinsi, dan kabupaten/ kota;
17)  Masih minimnya data akurat korban TPPO, karena korban baru melapor apabila ada kerugian/ penderitaan;
18)  Masih ada kendala dalam proses birokrasi dalam penanganan korban, sehingga dapat menghambat pencegahan dan penegakan hukum;
19)  Masih ada kendala dalam penanganan rehabilitasi bagi korban TPPO;
20)  Belum optimalnya penyediaan anggaran dari pemerintah terhadap penanganan korban, terutama pemulangan bagi korban yang ada di luar negeri;
21)  Masih lemahnya landasan hukum bagi perwakilan negara Indonesia di luar negeri, dalam upaya penanganan pekerja migran di negara tujuan.[45]
Berdasarkan upaya penanggulangan dan pencegahan tindak pidana perdagangan orang yang telah di paparkan sebelumnya, menurut penulis sudah selayakanya pemerintah mengeluarkan peraturan hukum yang tujuannya adalah melindungi masyarakat, menciptakan ketertiban, memberikan keamanan, mewujudkan keadilan, dan akhirnya mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan pembangunan hukum nasional yang dijalankan di Indonesia, yaitu hukum berperan sebagai sarana untuk melakukan dan mengendalikan perubahan dan pembangunan masyarakat. Untuk itu hukum yang akan dan telah diciptakan, harus dapat mengikuti dan mengatur setiap perubahan masyarakat.
Sekalipun upaya-upaya tersebut telah, sedang dan akan dilaksanakan, namun yang  paling utama untuk mewujudannya adalah semangat dari seluruh masyarakat Indonesia untuk selalu berupaya mencegah TPPO, karena merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM, dan disamakan dengan perbudakan modern. Oleh karena itu pencegahan TPPO bukan hanya tugas pemerintah saja, melainkan tugas bersama seluruh komponen masyarakat. Dengan kata lain, upaya pencegahan TPPO merupakan kegiatan dari aparat, pejabat yang terlibat dengan mengikut sertakan masyarakat yang diawali dari pembuatan hukum (law making), maupun penerapan hukum (law enforcement), sesuai dengan peran sertanya.
  
BAB IV
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Berdasarkan perumusan masalah, pembahasan, dan hasil penelitian yang dilakukan penulis, maka dapat disimpulkan antara lain sebagai berikut:
  1. Dalam melaksanakan kebijakan formulasi terhadap tindak pidana perdagangan orang harus juga dipertimbangkan pendekatan-pendekatan yang tidak hanya berdasarkan kebijakan hukum semata, melainkan harus mempertimbangkan nilai-nilai, dan budaya yang hidup dalam masyarakat. Hal ini penting dipertimbangkan, karena dalam menerapkan kebijakan hukum pidana peraturan perundang-undangan yang berlaku akan dapat bekerja dan berjalan secara optimal, apabila sesuai dengan nilai-nilai masyarakat. Hasil kriminalisasi dalam UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dapat terlihat dari adanya perluasan subjek tindak pidana perdagangan orang, seperti terlihat dari rumusan Pasal 1 angka 4, yaitu pelaku tidak hanya berupa perseorangan yang merupakan manusia (natural person), tetapi juga diatur adanya pelaku yang berbentuk korporasi. Berdasarkan kebijakan hukum pidana, upaya ini merupakan hasil formulasi hukum/ kebijakan hukum yang berorientasi ke depan, sebagai antisipasi sebagai wujud dari upaya pencegahan yang merupakan pembaruan hukum pidana dalam tindak pidana perdagangan orang/ kriminalisasi.
  2. Melihat pada beberapa kasus TPPO yang terjadi, maka kendala dalam upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang sangat beragam dan kompleks, karena penyebab dari tindak pidana perdagangan orangpun beragam modusnya, diantaranya adalah:
1)      Masih banyak anggota masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan;
2)      Minimnya kualitas pendidikan dan pelatihan bagi calon TKI yang akan  bekerja ke luar negeri;
3)      Masih minimnya sarana perekrutan tenaga kerja lokal;
4)      Masih adanya pemahaman dalam masyarakat untuk melegalkan perkawinan di usia dini;
5)      Masih maraknya penjeratan utang dalam perkerutan sampai pemulangan tenaga kerja, sehingga berpotensi tejadinya tindak pidana perdagangan orang;
6)      Masih kurangnya kegiatan pendukung di daerah asal bagi korban TPPO, sehingga korban yang sudah dipulangkan rentan untuk diperdagangkan kembali;
7)      Masih ada pemanfaatan fasilitas wisata untuk membuka celah prostitusi;
8)      Belum optimalnya peran serta masyarakat dan tokoh masyarakat dalam upaya penanggulangan TPPO;
9)      Belum ada sistem monitoring dan evaluasi yang terpadu dalam pencegahan TPPO;
10)  Belum adanya pemahaman yang sama dalam penegakan hukum TPPO;
11)  Instrumen hukum yang menyulitkan dalam menghadirkan alat bukti;
12)  Lemahnya keterlibatan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penindakan pelaku;
13)  Kualitas SDM aparat penegak hukum dan sarana serta prasarana yang belum mendukung;
14)  Masih lemahnya bantuan hukum bagi korban, terutama korban yang bekerja di luar negeri;
15)  Terdapat kesulitan dalam teknis penegakan pelaku yang berstatus Warga  Negara Asing (WNA);
16)  Belum optimalnya peran dan fungsi gugus tugas di tingkat nasional, propinsi, dan kabupaten/ kota;
17)  Masih minimnya data akurat korban TPPO, karena korban baru melapor apabila ada kerugian/penderitaan;
18)  Masih ada kendala dalam proses birokrasi dalam penanganan korban, sehingga dapat menghambat pencegahan dan penegakan hukum;
19)  Masih ada kendala dalam penanganan rehabilitasi bagi korban TPPO;
20)  Belum optimalnya penyediaan anggaran dari pemerintah terhadap penanganan korban, terutama pemulangan bagi korban yang ada di luar negeri;
21)  Masih lemahnya landasan hukum bagi perwakilan negara Indonesia di luar negeri, dalam upaya penanganan pekerja migran di negara tujuan.

  1. Saran
Pemerintah Indonesia diharapkan dalam kebijakan politik hukumnya agar segera menetapkan standar minimum pembasmian perdagangan orang. Selain itu, harus segera dilakukan revisi dari beberapa pasal dan ayat dari Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana perdagangan Orang yang pada praktek-praktek perdagangan buruh, dan modus serta bentuk perdagangan orang cendrung luput dari jeratan hukum. Selain itu segera dilakukan perbaikan dari kinerja pengadilan, pendakwaan dan penjatuhan hukuman atas kasus-kasus perdagangan orang, termasuk yang melibatkan agen-agen perekrutan tenaga kerja dan membongkar jaringan cukong perdagangan orang.
Perlu peningkatan upaya untuk mengadili dan mendakwa pejabat publik yang menarik keuntungan dari atau terlibat dalam perdagangan orang dan meningkatkan pendanaan bagi upaya penegakan hukum dalam menyelamatkan, memulihkan, dan mengintegrasikan para korban perdangangan orang (human trafficking). 


DAFTAR PUSTAKA
  1. Buku
Abdussalam, H.R, PolotikHukum, PTK, Jakarta, 2011
Abdusalam, H.R., Penegakkan Hukum Dilapangan oleh Polri, Jakarta: Diskum Polri, 1997.
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan 1, Jakarta: Yarsif Watampone,
2005.
Anton Bakker & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2004.
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Ali, Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011
Ali Mahrus dan Aji Pramono Bayu, Perdagangan Orang, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2011.
Arif, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana, Jakarta, 2010
_____ Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2007.
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Cetakan Ketiga, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000.
Bonger, W.A., Pengantar Tentang Kriminologi Pembangunan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995.
Chaerudin dan Syarif Fadilah, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Grhadhika Press, 2004.
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Kedua, Jakarta: Kencana, 2006.
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta: Rajawali Press, 2007.
Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Harahap, Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Harkristuti Harkrisnowo, Indonesian Court Report: Human Trafficking, Jakarta: Universitas Indonesia Human Right Center, 2003.
Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Irawati Harsono, Penanganan Polri Terhadap Kasus Perdagangan Anak, Jakarta Raya: Universitas Bhayangkara, 2004.
Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Remaja Rosda Karya, 1993.
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Viktimologi, Jakarta: Djambatan, 2004.
---------, Hukum Acara Pidana, Bandung: PT. Alumni, 2007.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Renika Cipta, Jakarta, 2008
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Universitas Diponegoro, 1995.
--------, Hak Asasi Manusia, Bandung: Refika Aditama, 2005.
Nuraeny, Henny, Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya), Sinar Grafika, Jakarta, 2011
Naniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Niken Savitri, HAM Perempuan, Bandung: Refika Aditama, 2008.
Poernomo, Bambang, Orinetasi Hukum Acara Pidana, Amarta Buku, Yogyakarta 1984.
Soekanto, Soerjono, 1986. Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1984.
Rosenberg. Ruth, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, Jakarta: USAID, 2003.
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.
Soedjono Dirjosisworo, Konsepsi Kriminologi dalam usaha penanggulangan kejahatan (Crime Prevention), Bandung: Alumni, 1979.
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, cet. Kelima, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
------------- ,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2010.
Sugandhi, KUHP dengan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1980.
Suhrawardi K. Lunis, Etika Profesi Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum “Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Sutrisno Hadi, Metodologi Research Yogyakarta: Yayasan penelitian Fakultas, UGM, 1988.
Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barakatullah, 2005. Politik Hukum Pidana “Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
  1. Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Diterjemahkan oleh Moeljatno, Cetakan 22, Jakarta: Sinar Grafika, 2003
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia, (LN Tahun 2000 Nomor 208, TLN Nomor 4026).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindun gan Saksi dan Korban.
C.                     Lain-lain
Catur Tulus Setyorini, Tindak Pidana Perdagangan Wanita dan Anak, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta, 2006.
Kanwil Dep. Kehakiman dan HAM DIY, Evaluasi Kebijakan Pemerintah dalam Pencegahan Perdagangan Orang, Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI, 2007.
--------, Pemenuhan Hak untuk Mendapatkan Rehabilitasi Bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, 2009.
Komnas Perempuan, “Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban: Perspektif Perempuan”, Lokakarya tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta, 2006.
Nasution, Metode Research, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Nunun  Sarifah, Perlindungan Hukum Terhadap  Korban Perdagangan Orang Pada Tingkat Penyidikan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2007.
Masyuhuri & M. Zainuddin, Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dan Aplikatif, Bandung: Refika Aditama, 2008.
Soedjono Dirjosisworo kuliah Prof Donald R. Cressey, tentang Kejahatan Mafia, Bandung: Armico, 1985.
Zaky Alkazar Nasution, Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak Korban Perdagangan Manusia, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2008
Http://jimly.com/makalah/namafile/56/penegakan_hukum.pdf. Kajian terhadap upaya polri dalam penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang, diakses 28 Desember 2016, pukul 11.44 Wib
Http://eprints.undip.ac.id/17904/1/Zaky_Alkazar_Nasution.pdf., diakses 27 Desember 2016, pukul 15.27 Wib
Http://elibrary.unisba.ac.id/files/06-1087_Fulltext.pdf., diakses 27 Desember 2016, pukul 10.18 Wib
Http://bangaip.org/2009/08/perdagangan-manusia/#definisi., diakses 27 Desember 2016, pukul 21.07 Wib


[1] Heny Nuraeny, 2011. Tindak Pidana Perdagangan Orang “Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya” Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 27.
[2] Soedjono Dirjosisworo, Konsepsi Kriminologi dalam usaha penanggulangan kejahatan (Crime Prevention), (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 32-33
[3] Ibid, hlm.5
[4] Sugandhi, KUHP dengan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1980), hlm. 314
[5] Irawati Harsono, Penanganan Polri Terhadap Kasus Perdagangan Anak, (Jakarta Raya: Universitas Bhayangkara, 2004), hlm. 10
[6] Ibid, hlm. 11
[7] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,cet. Kelima, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 5
[8] Ibid, hlm. 37
[9] Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 68
[10] Ibid
[11] Ibid, hlm. 24.
[12] L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, cetakan kedua puluh enam, 1996), hlm. 11-12
[13] John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 135.
[14] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, (Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 7.
[15] Suhrawardi K. Lunis, Etika  Profesi Hukum, Cetakan Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 50
[16] Masyuhuri dan M. Zainuddin, Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dan Aplikatif, (Bandung: refika aditama, 2008), hlm. 193
[17] Ibid, hlm. 195
[18] Nana Sudjana, Tuntunan Karya Ilmiah, cet-2 (Bandung: CV Sinar Baru, 1991), hlm 6
[19] Barda Nawawi Arif, 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana”, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, hlm. 24
[20] Abdussalam HR, 2011, Politik Hukum, Jakarta, PTIK, hlm. 18
[21] Barda Nawawi Arif. Pembaharuan Hukum Pidana dan Masalah Kebijakan Delik Aduan, Dalam: Masalah-Masalah Hukum, FH UNDIP, No 4 Tahun 1994, hlm 2.
[22] Heny Nuraeny, 2011. Tindak Pidana Perdagangan Orang “Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya” Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 60
[23] Ibid
[24] Barda Nawawi Arif, op.cit. hlm. 28
[25] Moeljatno, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 60-61
[26] Ibid. hlm. 59
[27] Andi Hamzah, 1994. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. hlm 89
[28] Mahrus Ali, 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 98
[29] Ibid
[30] Ibid
[31] Ibid. hlm. 100
[32] Henny Nuraeny, op.cit. hlm. 98
[33] Ibid
[34] Ibid. hlm. 110
[35] Hamim, Anis dan Agustinanto, 2008. Mencari Solusi Keadilan Bagi Perempuan Korban Perdagangan; Sulistyowati Irianti (ed). Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Yayasan Obor, Jakarta, hlm. 40
[36] W.A. Bonger, 1995. Pengantar tentang Kriminologi Pembangunan, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 167
[37] Hery Firmansyah, “Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia, Mimbar Hukum, Volume 23, Nomor 2, Juni 2011.
[38] Bambang Poernomo, 1984. Orientasi Hukum Acara Pidana, Amarta Buku, Yogyakarta, hlm. 90
[39] Abdussalam, H.R, 2011, PolotikHukum, PTK, Jakarta, hlm. 334
[40] Yahya Harahap, 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 150
[41] Henny Nuraeny, op.cit, hlm. 320
[42] Muladi dan Barda Nawawi Arif, 1998. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 155
[43] Henny Nuraeny, op.cit. hlm. 321
[44] Ibid.hlm. 322-323
[45] Ibid. Hlm. 335-336

Tidak ada komentar:

Posting Komentar