KEBIJAKAN
POLITIK HUKUM DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA
Disusun oleh:
DARIUS
LEKA, SH
(1640060052)
Dosen:
DR.
TETI SAMOSIR, S.H., M.H
MAGISTER HUKUM
UNIVERSITAS TAMA JAGAKARSA-JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat bimbingannya penulis
mampu menyususn makalah Sejarah Hukum dengan judul: “KEBIJAKAN POLITIK HUKUM
DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA”. Makalah
yang penulis susun ini merupakan kutipan dari beberapa sumber buku ataupun di
internet yang dirangkum menjadi sebuah bentuk tulisan yang sistematis, semoga
pembaca dapat memahami bahwa perlunya kita untuk mengungkapkan fakta-fakta
hukum tentang perdagangan manusia yang merupakan realitas yang tidak dapat
dipungkiri sebagai bagian kelam bangsa Indonesia. Namun demikian, persoalan human trafficking belum mendapat
perhatian yang serius untuk diatasi.
Akhir
kata penulis berharap makalah ini menjadi inspirasi baru untuk karya-karya
selanjutnya dan dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkan informasi
mengenai politik hukum yang dilakukan penguasa dalam mengatasi masalah
perdagangan manusia seperti lemahnya penegakan hukum, peraturan perundang-undangan
yang ada, peran pemerintah dalam penaganan maupun minimnya informasi tentang human trafficking.
Mohon
maaf apabila dalam makalah ini terdapat kekurangan-kekurangan, baik materi
maupun teknis, penulis dengan tangan terbuka menerima masukkan dan koreksian
dari para pembaca untuk menjadi lebih baik.
Jakarta, 14 Januari 2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
..............................................................................................
1
DAFTAR ISI
…………………………………………............................................. 2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang ................................................................................................
3
B. Rumusan
Masalah ..........................................................................................
6
C. Tujuan
Penelitian ………………………………………………………...… 6
D. Manfaat
Penelitian ………………………………………………………….. 7
E. Kerangka
Teori dan Konseptual ……………………………………………. 7
F. Metode
Penelitian …………………………………………………………. 15
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Pengertian
dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana .......................... 18
B. Pengertian
dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Perdagangan Orang …..…. 23
C. Upaya
Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang ………….….. 34
BAB III
PEMBAHASAN
A. Upaya
Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
dari
Aspek kebijakan Politik Hukum Pidana ……………………………. 43
B. Kendala
Dalam Melaksanakan Upaya Pencegahan
Tindak
Pidana Perdagangan Orang …………………………….…………. 47
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
...................................................................................................
55
B. Saran
.............................................................................................................
58
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….…….
61
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia dan segala
peradabannya selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Termasuk didalamnya
adalah fenomena adanya praktik-praktik perdagangan orang (human trafficking) yang sangat memprihatinkan, mengingat manusia
sesungguhnya bukan merupakan produk komoditi perdagangan. Sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa yang paling mulia seharusnya manusia saling menjaga harkat dan
martabat sesamanya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya bentuk perbudakan modern
yang terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional harus diberikan perhatian
serius.
Tindak pidana
perdagangan orang semakin menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat
diikuti dengan modus operandi yang semakin beragam dan kompleks, sehingga
dibutuhkan penanganan secara komprehensif dan sinergi selanjutnya pada tanggal
17 April 2007 Pemerintah Indonesia akhirnya mengesahkan dan mengundangkan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang yang mengatur secara khusus tentang tindak pidana
perdagangan orang.
Undang-Undang ini
diharapkan mampu menyediakan landasan hukum formil dan materiil sekaligus untuk
mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara atau semua
bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktek perdagangan manusia baik
yang dilakukan antar wilayah dalam negeri maupun antar negara, baik oleh pelaku
perorangan maupun korporasi, kemudian yang terakhir adalah peraturan yang
berasal dari Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) Tahun 2008
dalam Bab XX Tindak Pidana Pada Kemerdekaan Orang, Bagian Kesatu tentang
Perdagangan Orang.
Namun demikian, sebagus
atau seunggul apapun bentuk produk hukum, apabila tidak dilaksanakan dengan
benar dan ditegakkan dan tidak membuat jera para pelaku untuk berhenti
melakukan perdagangan orang makan produk hukum tersebut menjadi tidak efektif.
Menurut C.S.T. Kansil
bahwa selama ini perdagangan orang dianggap sama dengan perbudakan, yang
diartikan sebagai suatu kondisi seseorang yang berada di bawah kepemilikan
orang lain.[1]
Perbudakan dalam perbuatan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain,
sehingga orang tersebut tidak mampuh menolak suatu pekerjaan yang secara
melawan hukum diperintahkan oleh orang lain kepadanya, walaupun orang tersebut
tidak menghendakinya. Tindak pidana perdagangan orang juga dikatakan sebagai
bentuk modern dari perbudakan manusia, yang merupakan perbuatan terburuk dari
pelanggaran harkat dan martabat manusia. Atas dasar itu, masalah tindak pidana
perdagangan orang menjadi perhatian serius beberapa negara termasuk pemerintah
Indonesia.
Penanggulangan tindak
pidana dapat diawali dengan dengan melakukan upaya pencegahan serta diakhiri
dengan penindakan hukum atas tindak pidana yang terjadi. Sebab itu,
penanggulangan tindak pidana dapat meliputi hukum pidana materiil dan hukum
pidana formil. Hukum pidana materiil, bentuk dan jenisnya dapat berupa tindak
pidana umum yang diatur dala KUHP, dan tindak pidana khusus yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan di luar KUHP. Salah satu tindak pidana khusus
adalah tindak pidana perdagangan orang, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Di sisi
lain sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, perdagangan
orang sudah diatur dalam KUHP, khususnya yang terdapat dalam pasal 297 yang
mengancam hukuman 6 (enam) tahun penjara bagi siapapun yang memperdagangkan perempuan
dan anak laki-laki di bawah umur, pasal ini dianggap tidak efektif untuk dapat
menjerat pelaku tindak pidana terkait.
Selain itu juga, dengan
masih banyaknya praktek-praktek lain dari perdagangan orang yang terjadi, baik
yang menimpa perempuan dan laki-laki dewasa, dengan dirasa masih banyaknya
unsur-unsur yang tidak dapat megakomodir bentuk-bentuk praktek perdagangan
orang yang terjadi kini sehingga menjadi sulit untuk dapat diberantasnya
kejahatan perdagangan orang tersebut. Saat ini di dalam pemberitaan yang
berkaitan dengan perdagangan orang di Indonesia saja kian marak terjadi, dari
berbagai macam kegiatan kejahatan diketahui yang dilakukan oleh orang
perorangan maupun korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang
dilakukan melintasi batas wilayah negara lain yang semakin meningkat.
Pelanggaran-pelanggaran
tersebut ada berbagai macam bentuknya, antara lain eksploitasi sebagai buruh,
menjadi korban pornografi, prostitusi dan narkoba. Kejahatan perdagangan orang
ini, dapat mengancam eksistensi dan martabat kemanusiaan yang membahayakan masa
depan perkembangan diri dari seseorang. Melihat pada kenyataan yang ada dari
korban-korban perdagangan orang, luasnya praktik tersebut khususnya yang
dialami oleh kaum perempuan dan anak-anak, terjadi karena banyak faktor-faktor
yang mendukung dan memungkinkan untuk dapat terus berkembang lebih jauh lagi.
Sehubungan dengan persoalan-persoalan yang terjadi pada penjelasan yang telah
dipaparkan diatas, kini disadari bahwa peran dari seluruh pihak, mulai dari
pemerintah, masyarakat, lembaga-lembaga yang terkait, hingga aparat penegak
hukum khususnya Kepolisian Republik Indonesia, yang dalam hal ini langsung
berhadapan dengan berbagai kasus perdagangan orang, diharapkan dapat mencegah
atau setidaknya mengurangi terjadinya perdagangan orang yang terjadi di dalam
masyarakat.
Oleh sebab itu, peran
Polri sangat dibutuhkan dalam menanggulangi tindak pidana perdagangan orang ini
secara tepat dan cepat, sehingga tidak semakin meresahkan masyarakat. Sesuai
dengan uraian tersebut yang telah dijelaskan diatas, maka penulis melakukan
penelitian mengenai apa kebijakan politik hukum pidana dalam upaya
penanggulangan tindak pidana perdagangan orang di Indonesia.
- Rumusan Masalah
- Bagaimanakah upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan orang dari aspek kebijakan politik hukum pidana di Indonesia?
- Apakah kendala yang menghambat upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan orang?
- Tujuan Penelitian
- Mengetahui upaya penaggulangan tindak pidana perdagangan orang dari aspek kebijakan politik hukum pidana.
- Mengetahui faktor-faktor yang menjadi kendala dalam upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan orang.
- Manfaat Penelitian
Sejalan dengan tujuan
penelitian di atas, diharapkan penelitian ini akan memberikan kegunaan, baik
secara teoritis maupun praktis, yaitu:
- Secara teoritis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan atau masukan bagi pengembangan ilmu hukum pidana di Indonesia, khususnya kajian tentang politik hukum penanggulangan bagi penegak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku khususnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia sehingga melalui penelitian ini dapat diketahui berbagai penyebab timbulnya kejahatan perdagangan manusia, bagaimana penanggulangannya, dan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan kejahatan perdagangan manusia.
- Secara praktis, penelitian ini dapat berguna bagi para pengambil kebijakan (eksekutif dan legislatif) dalam menyusun perangkat perundang-undangan yang lebih memadai berkaitan dengan hukum pidana, termasuk sebagai bahan rujukan/ referensi ilmiah bagi mahasiswa dan setiap orang, siapa saja yang berniat mendalami hukum pidana, khususnya mengenai tindak pidana perdagangan orang.
- Kerangka Teori dan Konseptual
Kejahatan perdagangan
orang (human trafficking) merupakan
kejahatan yang terorganisir, di mana para pelaku kejahatan mempunyai peran yang
berbeda satu dengan yang lainnya. Disamping itu kejahatan trafficking cakupannya mencapai luar negara.
Ada beberapa hal yang
perlu diyakini untuk sebuah jenis kejahatan terorganisir, yaitu:
- Bersifat global dan transnasional
- Melibatkan jaringan yang luas dan sistematik
- Memanfaatkan teknologi tinggi (high tech)
Sementara itu, Cressey,
mengatakan bahwa: Organized Crime
adalah kelompok, gang, gerombolan, pasukan, himpunan, jaringan, sindikat,
kartel, dan konfederasi yang memiliki sebagaitujuan kriminal disebut organisasi
kriminal dan oleh sebab itumerupakan kejahatan yang diorganisir.[2]
- Teori Normatif Perdagangan Manusia
Soerjono Sukanto, menyatakan teori sebagai berikut:[3]
a. Teori
berguna untuk mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki
atau diuji sebenarnya.
b. Teori
biasanya merupakan ikhtisar dari hal yang telah diketahui serta diuji
kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.
c. Teori
memberikan petunjuk terhadap kekurangan pengetahuan yang dimiliki peneliti.
- Teori Penegakan Hukum
Berkaitan dengan
masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini, maka digunakan pula teori
mengenai penegakan hukum yang dikemukakan Soerjono Sukanto, yang menyatakan
bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penegakan hukum, antara lain:
a. Faktor
hukumnya sendiri yang dibatasi undang-undang saja.[4]
Semakin baik suatu
peraturan hukum, akan semakin memungkinkan penegakannya. Sebaliknya semakin
tidak baik suatu peraturan hukum akan semakin sukarlah penegakannya. Secara
umum peraturan yang baik adalah peraturan hukum yang berlaku secara juridis,
sosiologis dan filosofis. Dalam hal ini perlu diperhatikan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini masih merupakan produk warisan
kolonial Belanda, umurnya sudah lebih dari 100 tahun. Seharusnya dewasa ini
sudah perlu dilakukan pembaharuan secara komprehensif agar tidak terjadi paradoks
dalam penegakkan hukum pidana. KUHP tersebut diadopsi dari negara yang menganut
asas liberalisme dan kapitalisme, hal ini bertentangan dengan asas hukum di
Indonesia yang berazaskan Pancasila.[5]
Sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam KUHP mengenai stelsel pidana yang diatur dalam
Pasal 10 Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang hukuman mati, pada hakikatnya
hukuman mati tersebut sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan di Indonesia,
setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945, hukuman mati dianggap bertentangan dengan
Pasal 28 yaitu tentang HAM yang menyatakan: ”Setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”,
yang seharusnya hukuman mati tersebut harus dihapuskan.
Menurut teori stufenbau
dari Hans Kelsen ini, sesuai dengan sumber tertib hukum RI dan tata urutan peraturan
perundangan RI sebagaimana tercantum dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 Jo.
Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 yang berisi setiap peraturan hukum yang berlaku
haruslah bersumber kepada peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Ini berarti
bahwa setiap peraturan hukum yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan
peraturan hukum yang lebih tinggi derajatnya. Tetapi dalam kenyataannya masih
ada ketentuan peraturan hukum yang bertentangan dengan ketentuan peraturan yang
lebih tinggi derajatnya, misalnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Korupsi. Dalam Pasal 4 Undang-Undang tersebut dinyatakan: ”Pengembalian kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan 3”.[6]
b. Faktor
penegak hukumnya, yakni pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum
tersebut.[7]
Penegak hukum yang
terkait langsung dalam proses penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, serta praktisi hukum lainnya yang mempunyai peranan yang
sangat penting dalam keberhasilan penegakan hukum ditengah masyarakat. Penegakan
hukum dapat dilakukan apabila para penegak hukum tersebut adalah seorang yang
profesionalisme, bermental tangguh dan mempunyai integritas moral, etika yang
tinggi. Bahwa jika aparatur penegak hukum melakukan paradoks dalam menegakkan
hukum sehingga merugikan orang lain, sampai saat ini belum ada sanksi hukum
yang tegas terhadap aparatur penegak hukum tersebut, meskipun menurut Pasal 9 ayat
(2) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 Jo.
Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa
setiap pejabat yang melakukan penangkapan, penahanan, penuntutan atau diadili tidak
berdasarkan kepada undang-undang atau terdapat kekeliruan dalam menegakan hukum
dapat dipidana dan menuntut ganti rugi. Tetapi dalam praktek penegakan hukum
pidana di Indonesia ketentuan pasal tersebut jarang dipergunakan.[8]
c. Faktor
sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
Tanpa sarana dan prasarasana
yang memadai tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan sebagaimana mestinya,
sarana tempat dimana akan dilakukan proses penegakan hukum misalnya, kantor
kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan dan juga prasarana didalamnya tidak
memadai mengakibatkan kurang nyamannya proses penegakan hukum karena faktor keamanan
dan lain sebagainya.
Demikian juga tak kalah
pentingnya skill aparat dari segi
hukum dan terampil dalam menjalankan tugasnya, peralatan dan keuangan yang
cukup. Proses pemeriksaan perkara di pengadilan berjalan sangat lamban,
demikian juga pemeriksaan perkara pada tingkat Kasasi di Mahkamah Agung yang sampai
saat ini ribuan perkara masih menumpuk. Hal ini disebabkan karena jumlah Hakim
yang tidak sebanding dengan jumlah perkara yang harus diperiksa dan diputus serta
masih kurangnya sarana atau fasilitas lain untuk menunjang pelaksanaan
peradilan yang baik. Demikian pula pihak kepolisian, kejaksaan belum mempunyai
peralatan yang canggih untuk mendeteksi kriminalitas dalam masyarakat.
Ketiadaan peralatan modern mengakibatkan banyak kejahatan dalam masyarakat yang
belum terungkap misalnya kejahatan perampokan, pembunuhan, dan lain-lain.
d. Faktor
masyarakat, yakni lingkungan dari hukum tersebut berlaku dan diterapkan.
Faktor masyarakat juga
dapat mempengaruhi penegakan hukum itu sendiri, sebab penegakan hukum berasal
dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dimasyarakat. Dalam hal
ini yang penting adalah kesadaran hukum masyarakat, semakin tinggi kesadaran
hukum masyarakat, semakin baik pula penegakan hukum.[9]
Sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka semakin
sulit melaksanakan penegakan hukum yang baik. Yang dimaksud dengan kesadaran
hukum itu, antara lain adalah pengetahuan tentang hukum, penghayatan fungsi
hukum, ketaatan terhadap hukum. Kesadaran hukum merupakan pandangan hukum dalam
masyarakat tentang apa hukum itu.
e. Faktor
kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.[10]
Faktor budaya pada
dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai
mana merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang
dianggap buruk. Hukum adat tersebut merupakan kebiasaan yang berlaku dikalangan
rakyat banyak. Akan tetapi di samping itu berlaku pula hukum tertulis
(perundang-undangan) yang dibentuk oleh pemerintah. Hukum itu harus dapat mencerminkan
nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat agar hukum itu dapat berjalan
secara efektif. Sedangkan kebiasaan mempengaruhi para penegak hukum dalam penegakan
hukum itu sendiri, misalnya adanya kebiasaan yang kurang baik dalam penegakan
hukum pada umumnya berupa pemberian amplop dengan dalih apapun untuk penyelesaian
suatu perkara baik pidana maupun perdata. Kebiasaan tersebut sudah dianggap
budaya ditengah-tengah pencari keadilan yang sudah merupakan suatu penyakit
kronis yang sulit untuk diperbaiki. Padahal kebiasaan yang dianggap budaya
tersebut adalah kebiasaanyang melanggar norma yang ada, baik norma hukum maupun
norma adat yang mengedepankan budaya malu untuk berbuat yang melanggar ketentuan
hukum yang ada.
- Teori-Teori Keadilan
a) Teori
Keadilan Aristoteles
Teori keadilan menjadi
landasan utama yang harus diwujudkan melalui hukum yang ada. Aristoteles
menegaskan bahwa keadilan adalah inti dari hukum.[11]
Baginya, keadilan dipahami dalam pengertian kesamaan, namun bukan kesamarataan.
Membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan proposional
memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi
yang telah dilakukanya. Arietoteles juga membedakan dua macam keadilan, keadilan
distributief dan keadilan commutatief. Keadilan distributief ialah keadilan yang
memberikan kepada tiap orang porsi menurut prestasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya
kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya.[12]
b) Teori
Keadilan John Rawls
John Rawls dengan teori
keadilan sosialnya menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang
berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu Pertama, memberi hak dan kesempatan yang
sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi
setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali
kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang
bersifat timbal balik (reciprocal
benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok
beruntung maupun tidak beruntung.[13]
Menurut John Rawls terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip
persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal,
hakiki dan kompitabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri
masing-masing individu.
c) Teori
Keadilan Hans Kelsen
Hans Kelsen mengemukakan
keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Sebagai aliran
positivisme mengakui juga bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir
dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia, dari penalaran manusia atau
kehendak Tuhan.[14]
Pengertian Keadilan bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah adil
jika ia benar-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah tidak
adil jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang
serupa.
d) Teori
Keadilan dalam Perspektif Hukum Nasional
Keadilan dalam perspektif
hukum nasional tertuju pada keadilan sosial menyangkut kepentingan masyarakat dengan
sendirinya individu yang berkeadilan sosial itu harus menyisihkan kebebasan
individunya untuk kepentingan individu yang lainnya. Keadilan didalam
perspektif hukum nasional ini adalah keadilan yang menselaraskan
keadilan-keadilan yang bersifat umum diantara sebagian dari keadilan-keadilan
individu.[15]
Keadilan ini lebih menitikberatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
- Metode Penelitian
- Sifat Penelitian
Penelitian ini adalah
tipe penelitian Yuridis Normatif yaitu penelitian yang hendak meneliti tentang
asas-asas hukum, sistemaik hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal,
perbandingan hukum dan sejarah hukum. Penelitian normatif ialah penelitan yang
melakukan studi kepustakaan dengan menelaah buku, laporan, penelitian, jurnal,
makalah, artikel dan peraturan perundang-undangan.
- Penelitian
a) Cara
Pengumpulan Data
Cara
pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi
kepustakaan, yaitu pengumpulan data dengan cara membaca, mangkaji dan
mempelajari buku-buku, dokumen-dokumen laporan, literatur-literatur,
tulisan-tulisan pakar hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
berkaitan dengan penelitian penulis.
b) Alat
Pengumpulan Data
Alat
pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam melakukan penelitian ini
dengan menggunakan metode studi dokumen atau bahan pustaka. Studi dokumen atau
bahan pustaka merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data
tertulis dengan mempergunakan “content
analysis”.
- Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan ini, penyusun
menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a) Studi
dokumen atau badan pustaka (Library
Reseach)
Penelitian hukum yang
dilakukan ini dengan cara melakukan studi kepustakaan terhadap undang-undang,
buku, artikel, jurnal serta makalah. Dengan hal ini, kemudian penulis
medapatkan gambaran mengenai tindak pidana perdagangan orang yang terjadi.
Setelah itu kemudian ditinjau mengenai penerapan upaya penaggulangannya dari
aspek kebijakan formulasi hukum pidana. Selanjutnya penulis melakukan kajian
pustaka untuk kemudian dapat mengetahui kendala apa saja yang dihadapi dalam
upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan orang. Selama proses penelitian
ini, penulis tidak menemukan hambatan yang berarti, sebab data-data yang
penulis butuhkan dalam membuat penulisan ini telah tersedia dengan lengkap baik
di Perpustakaan Nasional serta data-data pelengkap melalui internet.
b) Observasi
Observasi adalah pengamatan
secara langsung terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki dengan maksud
untuk meyakinkan kebenaran data yang diperoleh dari pengamatan terhadap kasus
perdagangan orang yang terjadi di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
c) Dokumentasi
Dokumentasi adalah
laporan tertulis dari suatu peristiwa yang isinya terdiri dari penjelasan dan
pemikiran terhadap peristiwa itu, dan ditulis dengan sengaja untuk menyimpan
dan meneruskan kekurangan mengenai suatu peristiwa.[16]
Lebih tegas lagi dikatakan bahwa metode dokumentasi adalah usaha untuk
memperoleh data yang terkait dengan penelitian melalui catatan buku, brosur,
majalah dan sebagainya.[17]
Dokumentasi digunakan untuk melengkapi data yang diperoleh dari interview dan observasi.
d) Metode
Analisis Data
Dalam penelitian ini,
metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis kualitatif. Metode
analisis kualitatif, yaitu dengan analisis data berupa konsep, pendapat, opini
yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan observasi dilapangan yang diolah
dan dianalisis untuk menjawab permasalahan kemudian diambil kesimpulan. Setelah
data yang dibutuhkan terkumpul dengan melalui metode penelitian, data tersebut
perlu diolah dan dianalisa dengan baik agar data tersebut bermakna. Adapun
metode yang peneliti gunakan adalah metode deduktif, yaitu cara berpikir
analitik yang berangkat dari dasar-dasar pernyataan yang bersifat umum menuju
pada pernyataan yang bersifat khusus, dengan penalaran yang bersifat rasional.[18]Kemudian
dianalisis secara komparatif, yaitu mengkaji tindak pidana anak tersebut dengan
cara membandingkan data yang diperoleh dengan hasil penelitian kepustakaan.
BAB
II
KERANGKA
TEORI
- Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
- Pengertian Kebijakan Hukum Pidana
Istilah “kebijakan”
diambil dari istilah “policy”
(Inggris) atau “Politiek” (Belanda).
Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “Kebijakan Hukum Pidana”
dapat pula disebut dengan istilah “Politik Hukum Pidana”. Dalam kepustakaan
asing istilah “Politik Hukum Pidana” ini sering dikenal dengan berbagai
istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau“strafrechtpolitiek”.[19]
Pengertian kebijakan atau politik hukum
pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun politik kriminal.
Menurut Prof. Dr. HR.
Abdussalam, politik hukum adalah semua tujuan yang telah ditetapkan termasuk
penerapan terhadap hak dan kewajiban baik sebagai setiap warga Negara maupun
para penyelenggara Negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Bagi yang
melanggar kewajiban dikenakan tanggungjawab hukum dan sanksi hukum baik sanksi
andminitrasi, sanksi perdata dan saknsi pidana.[20]
Sementara menurut Prof.
Sudarto, politik hukum adalah:
a) Usaha
untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu saat.
b) Kebijakan
dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa
yang dicita-citakan.
Bertolak dari
pengertian Prof. Sudarto selanjutnya menyatakan bahwa melaksanakan hukum pidana
berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana
yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam
kesempatan lain beliau meyatakan, bahwa melaksanakn politik hukum pidana
berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum
pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu
perundang-undangan pidana yang baik. pengertian demikian terlihat pula dalam
defenisi “penal policy” dari Mark
Ancel yang secara singkat dapat dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni
yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara
lebih baik”.
Politik hukum pidana
selain terkait dengan politik hukum juga terkait dengan politik kriminal atau
dikenal dengan kebijakan kriminal dan criminal
policy. Pengertian politik kriminal menurut Sudarto dapat diberi arti
sempit, lebih luas dan paling luas, yaitu:
a) Dalam
arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi
terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
b) Dalam
arti yang lebih luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak jukum,
termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
c) Dalam
arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan dilakukan melalui perundang-undangan
dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk mengakkan norma-norma sentral dari
masyarakat.
Secara singkat Sudarto
memberikan defenisi politik kriminal sebagai usaha yang rasional dari
masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Dalam menanggulangi masalah tindak
pidana, sekiranya hukum pidana yang dipilih sebagai sarana untuk mencapai
tujuan, maka kebijakan hukum pidana tidak boleh lepas dari tujuan kebijakan
yang lebih luas yaitu politik kriminal. Dapat dikatakan kebijakan hukum pidana
merupakan sub sistem dari politik kriminal sehingga wajar kalau tujuan
kebijakan hukum pidana tidak boleh lepas dari tujuan politik kriminal,
sedangkan politik kriminal itu sendiri merupakan sub sistem dari kebijakan yang
lebih luas yaitu usaha penegakan hukum atau dikenal dengan kebijakan penegakan
hukum. Demikian pula dengan kebijakan penegakan hukum khususnya hukum pidana
tidak lepas dari kebijakan sosial yaitu segala usaha yang rasional untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.
Pembaharuan hukum
pidana oleh Barda Nawawi Arif dikatakan bahwa harus dilakukan dengan pendekatan
kebijakan karena memang pada hakikatnya pembaharuan hukum pidana hanya
merupakan bagian saja dari kebijakan atau politik hukum pada umumnya, dan
khususnya bagian dari politik hukum pidana. Lebih luas lagi, politik hukum pidana
itu sendiri pada hakikatnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari politik
penegakan hukum, politik kriminal dan politik sosial. Di dalam setiap kebijakan
dipertimbangkan berbagai nilai, maka jelas pula pembaharuan hukum pidana harus
pula berorientasi pada pendekatan nilai.[21]
Dalam menanggulangi
masalah tindak pidana, sekiranya hukum pidana yang dipilih sebagai sarana untuk
mencapai tujuan, maka kebijakan hukum pidana tidak boleh lepas dari tujuan
kebijakan yang lebih luas yaitu politik kriminal. Dapat dikatakan kebijakan
hukum pidana merupakan subsistem dari politik kriminal sehingga wajar kalau
tujuan kebijakan hukum pidana tidak lepas dari tujuan poltik kriminal,
sedangkan politik kriminal itu sendiri merupakan sub sistem dari kebijakan yang
luas yaitu usaha penegakan hukum atau dikenal dengan kebijakan penegakan hukum
(law inforcement policy). Demikan
juga dengan penegakan hukum khususnya hukum pidana tidak lepas dari kebijakan
sosial (social policy) yaitu segala
usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus mencakup
perlindungan masyarakat (social welfare
dan social defence).
- Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
Pembaharuan hukum
pidana menuntut adanya penelitian dan pemikiran terhadap masalah utama yang
sangat fundamental dan strategis, termasuk juga kebijakan dalam menetapkan
sanksi pidana bagi pelaku agar menimbulkan efek jera. Upaya melakukan kebijakan
hukum pidana dapat dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu tahapan formulasi/
legislasi, aplikasi/ yudikasi, dan tahapan eksekusi. Tahapan-tahapan tersebut
dapat dimulai melalui kebijakan hukum pidana dengan cara menyiapkan tatanan
baru atau gagasan baru pada masyarakat tertentu, yaitu dengan cara membangun
struktur hukum yang jelas dan tegas serta konsisten terhadap batas serta fungsinya.
Dalam hal ini harus ada badan legislatif, dan yudikatif yang terdiri dari
pengadilan, polisi, penjara, dan birokrasi penegak hukum. Semuanya itu harus
dilakukan serba terukur, karena selain hukum dapat dijalankan dengan terukur,
juga lebih keras (violent).[22]
Kebijakan formulasi/ tahapan
legislasi yang merupakan tahapan yang paling strategis dalam keseluruhan proses
kebijakan untuk dapat menerapkan dan mengoperasionalkan sanksi pidana dan
pemidanaan. Pada tahapan ini diawali dengan merumuskan aturan-aturan mengenai
perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diharuskan, sehingga menjadi pedoman dala
menentukan garis kebijakan bagi tahapan berikutnya, yaitu tahapan penerapan
pidana oleh badan peradilan, dan tahapan pelaksanaan pidana oleh aparat
pelaksana pidana. Selain itu, tahapan formulasi/ legislasi dianggap tahapan
yang penting menurut G.P. Hoefnagels, karena merupakan tahapan dalam menentukan
kebijakan dalam hukum penitensier
(hukum pemidanaan) atau sentencing policy.[23]
Namun pada akhirnya,
seluruh tahapan dalam kebijakan hukum pidana/ politik hukum pidana baik tahapan
formulasi/ legislasi, aplikasi/ yudikasi, semuanya merupakan suatu kebijakan
penanggulangan hukum pidana, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan
dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat, akan tercapai apabila proses dan mekanismenya dijalankan sesuai
prosedur. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik
pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.
Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan dari politik kriminal.
Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum
pidana identik dengan pengertian kebijakan penaggulangan kejahatan dengan hukum
pidana. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum khususnya penegakan hukum pidana.
Oleh karena itu, sering
pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari
kebijakan penegakan hukum. Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat
pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral
dari usaha perlindungan masyarakat (social
welfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik
hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau poltik sosial (social policy). Kebijakan sosial dapat
diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi di dalam
pengertian “social policy”, sekaligus
juga tercakup di dalamnya “social welfare
policy” dan “social defence policy”.
Dilihat dalam arti
luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang
hukum pidana materiil, di bidang hukum pidana formal dan di bidang hukum
pelaksanaan pidana.[24]
- Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Perdagangan Orang
- Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana
oleh Prof. Moeljatno adalah istilah lain dari perbuatan pidana yang sering
dipakai dalam perundangan oleh kementerian kehakiman. Selanjutnya menurut
Moeljatno, meskipun kata “tindak” lebih pendek dari pada “perbuatan” tapi
“tindak” tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya
menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan
perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak gerik atau sikap
jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan dan
bertindak dan belakangan juga sering dipakai “bertindak”. Oleh karena tindak
sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang
menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri, maupun
dalam penjelasannya pula selalu dipakai pula kata perbuatan.[25]
Selanjutnya, menurut
beliau bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakn bahwa
perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan
diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan pada
perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan
orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan
kejadian itu.[26]
Marshal mengatakan
bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum
untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur hukum yang
berlaku.[27]
Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai perbuatan pidana, yaitu sebagai
perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang
dilarang.[28]
Dalam konsep KUHP tindak pidana diartikan sebagai perbuatan melakukan atau
tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan
sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.[29]
Dalam konsep juga dikemukakan bahwa untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain
perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan
perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan
kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat
melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.[30]
Ketika dikatakan bahwa
perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
barang siapa melakukannya, maka unsur-unsur perbuatan pidana meliputi beberapa
hal. Pertama, perbuatan itu berujud
suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang berakibat pada timbulnya suatu hal
atau keadaaan yang dilarang oleh hukum. Kedua,
kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik
dalam pengertiannya yang formil maupun yang yang materiil. Ketiga, adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai
terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum. Dalam unsur yang
ketiga, adalah terkait dengan beberapa hal yang wujudnya berbeda-beda sesuai
dengan ketentuan pasal hukum pidana yang ada dalam undang-undang. Misalnya berkaitan
dengan diri pelaku perbuatan pidana, tempat terjadinya perbuatan pidana,
keadaan sebagai syarat tambahan bagi pemidanaan, dan keadaan yang memberatkan pemidanaan.[31]
- Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pengertian perdagangan
orang mempunyai arti yang berbeda-beda bagi setiap orang, meliputi sederatan
masalah dan isu sensitif yang kompleks sehingga ditafsirkan berbeda-beda oleh
setiap orang yang memahaminya tergantung dari sudut pandang pribadi atau
organisasinya. Maka dari itu hingga saat ini salah satu masalah utama
perdagangan orang adalah masalah definisi. Pada masa lalu, masyarakat biasanya
berfikir bahwa perdagangan orang adalah suatu kegiatan yang memindahkan
perempuan melewati perbatasan di luar keinginan mereka dan memaksa mereka untuk
memasuki dunia prostitusi. Seiring berjalannya waktu, masyarakat lebih memahami
mengenai isu perdagangan orang yang kompleks dan sekarang melihat bahwa pada
kenyataan perdagangan orang melibatkan berbagai macam situasi.
Penaggulangan tindak pidana
dapat diawali dari pencegahan dan diakhiri dengan penindakan hukum yang
merupakan bagian dari hukum pidana formal. Karena itu penanggulangan tindak
pidana dapat meliputi hukum pidana materiil dan hukum pidana formal. Dalam
tindak pidana materril, bentuk dan jenisnya dapat berupa tindak pidana umum
yang diatur dalam KUHP, dan tindak pidana khusus yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan diluar KUHP. Salah satu tindak pidana khusus adalah tindak
pidana perdagangan orang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Tindak pidana
perdagangan orang memuat aspek-aspek yang bertentangan dengan kesejahteraan
umum. Lebih-lebih praktek tindak pidana perdagangan orang selalu disertai
dengan berbagai tindakan ancaman dan kekerasan, sehingga menimbulkan
ketersiksaan bagi si korban pada masa depannya, apalagi korban tindak pidana
perdagangan orang pada umumnya adalah pihak yang dalam kondisi tidak berdaya
baik secara fisik, psikis, maupun ekonomi.
Meskipun sebelum
keluarnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 perdagangan orang sudah diatur
dalam KUHP, yaitu Pasal 297 yang mengancam hukuman enam tahun penjara bagi
siapapun yang memperdagangkan perempuan dan anak laki-laki di bawah umur, ini
dianggap tidak efekif untuk menjerat pelaku perdagangan orang atau yang lebih
populer lebih dikenal dengan human
trafficking terorganisasi.
Di Indonesia, peraturan
tentang perdagangan orang sudah diatru dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam undang-undang
terseut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang
adalah “tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan,
atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekerasan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.[32]
Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 juga merumuskan mengenai ruang lingkup tindak pidana perdaganga
orang yaitu:[33]
a) Setiap
tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang
ditentuan dalam undang-undang ini (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007). Selain
itu, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 juga melarang setiap orang yang
memasukkan orang ke wilayah Negara Kesatuan Wilayah Republik Indonesia untuk
dieksploitasi;
b) Membawa
Warga Negara Indonesia (WNI) ke luar wilayah NKRI untuk tujuan eksploitasi;
c) Mengangkat
anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu untuk maksud
eksploitasi;
d) Mengirimkan
anak ke dalam atau luar negeri dengan cara apapun; dan setiap orang yang
menggunakan atau memanfaatkan korban TPPO dengan cara melakukan persetubuhan
atau pencabulan, mempekerjakan korban untuk tujuan eksploitasi atau mengambil
keuntungan;
e) Setiap
orang yang memberikan atau memasukkan keterangan pada dokumen negara ata
dikumen lain untuk mempermudah TPPO;
f) Setiap
orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan bukti palsu atau baran bukti palsu, atau mempengaruhi saksi
secara melawan hukum;
g) Setiap
orang yang menyerang fisik terhadap saksi atau petugas di persidangan perkara
TPPO; setiap orang mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau
tidak langsung penyidikan, penuntutan dan persidangan di sidang pengadilan
terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara TPPO; setiap orang yang
membantu pelarian pelaku TPPO;
h) Setiap
orang yang memberikan identitas saksi atau korban padahal seharusnya
dirahasiakan.
- Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perdagangan Orang
Faktor-faktor yang
paling mendukung adanya perdagangan orang diantaranya karena adanya permintaan
(demand) terhadap pekerjaan di sektor
informal yang tidak memerlukan keahlian khusus, mau dibayar dengan upah relatif
rendah serta tidak memerlukan perjanjian kerja yang rumit, sehingga menyebabkan
para pelaku terdorong untuk melakukan bisnis perdagangan orang. Dari segi
ekonomi kegiatan usaha/ bisnis seperti ini dapat mendatangkan keuntungannya
yang sangat besar serta adanya celah hukum yang menguntungkan para pelaku
perdagangan orang yaitu kurangnya penegakan hukum di Indonesia, terutama dalam
mengadili pelaku perdagangan orang, termasuk pemilik/ penglola/ perusahan
pengerah tenaga kerja, sehingga mereka dapat memanfaatkan korban dan calon
korban perdagangan orang.[34]
Para pelaku perdagangan
orang bekerja sangat rapi dan terorganisasi. Umumnya mereka melakukan pencarian
korban dengan berbagai cara, seperti mengiming-imingi calon korban dengan
berbagai daya upaya.diantara para pelaku tersebut ada yang langsung menghubungi
calon korban, atau menggunakan cara lain dengan modus pengiriman tenaga kerja,
baik antardaerah, antarnegara, pemindahtanganan atau transfer,
pemberangkatan, penerimaan, penampungan
yang dilakuka sangat rapi,dan tidak terdeteksi oleh sistem hukum yang berlaku,
bahkan ada di antaranya yang dilindungi oleh aparat (pemerintah dan penegak
hukum). Cara kerja pelaku ada yang bekerja sendirian ataupun secara
terorganisir yang bekerja dengan jaringan yang menggunakan berbagai cara, dari
yang sederhana dengan cara mencari dan menjebak korban ke daerah-daerah mulai
dari membujuk, menipu dan memanfaatkan kerentanan calon korban dan orang
tuanya, bahkan sampai pada kekerasan, menggunakan teknologi canggih dengan cara
memasang iklan, menghubungi dengan telepon genggam yang dapat diakses di mana
saja, sampai dengan menggunaka internet.
Selain itu salah satu
sumber penyebab dari perdagangan orang adalah adanya diskriminasi gender; praktik budaya yang berkembang
di masyarakat Indonesia, pernikahan dini, kawin siri, konflik dan bencana alam,
putus sekolah, pengaruh globalisasi, sistem hukum dan penegakan hukum yang
lemah, keluarga yang tidak harmonis, rendahnya nilai-nilai moral agama, dan
sebagainya. Tetapi lebih dari itu karena ada faktor eksternal yang secara
terorganisasi dan sistemik memaksa korban menuruti kehendaknya. Mereka ini
adalah para pengasuh hiburan, cukong, lelaki hidung belang, penganut seks bebas,
manusia berkelainan jiwa, perubahan perilaku manusia modern dan sebagainya.
- Bentuk-Bentuk Perdagangan Orang
Ada beberapa bentuk
tindak perdagangan orang yang harus diwaspadai, karena terkadang masyarakat
tidak sadar bahwa dirinya sudah menjadi korban dari perdagangan orang.
Bentuk-bentuk tindak pidana perdagangan orang menurut Agus Hamim dan
Agustinanto,[35]yaitu:
a) Kerja
paksa seks dan eksploitasi seks – baik di luar negeri maupun di wilayah
Indonesia. Dalam banyak kasus, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja
sebagai buruh migran, PRT, pekerja restoran, penjaga toko, atau pekerjaan-
pekerjaan lain tanpa keahlian tetapi kemudian dipaksa bekerja pada industri
seks saat mereka tiba di daerah tujuan.
b) Pembantu
Rumah Tangga (PRT) – baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. PRT baik yang
di luar negeri maupun yang di Indonesia diperdagangkan ke dalam kondisi kerja
yang sewenang-wenang termasuk jam kerja wajib yang sangat panjang, penyekapan
ilegal, upah yang tidak dibayar atau yang dikurangi, kerja karena jeratan
hutang, penyiksaan fisik ataupun psikologis, penyerangan seksual, tidak diberi
makan atau kurang makanan, dan tidak boleh menjalankan agamanya atau diperintah
untuk melanggar agamanya. Beberapa majikan dan agen menyita paspor dan dokumen
lain untuk memastikan para pembantu tersebut tidak mencoba melarikan diri.
c) Bentuk
Lain dari Kerja Migran – baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. Meskipun
banyak orang Indonesia yang bermigrasi sebagai PRT, yang lainnnya dijanjikan
mendapatkan pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian di pabrik, restoran,
industri cottage, atau toko kecil. Beberapa dari buruh migran ini
diperdagangkan ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang dan berbahaya dengan
bayaran sedikit atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Banyak juga yang dijebak
di tempat kerja seperti itu melalui jeratan hutang, paksaan, atau kekerasan.
d) Penari,
Penghibur dan Pertukaran Budaya–terutama di luar negeri. Perempuan dan anak
perempuan dijanjikan bekerja sebagai penari duta budaya, penyanyi, atau
penghibur di negara asing. Pada saat kedatangannya, banyak dari perempuan ini
dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan dengan kondisi mirip
perbudakan.
e) Pengantin
Pesanan–terutama di luar negeri. Beberapa perempuan dan anak perempuan yang
bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing, telah ditipu dengan
perkawinan. Dalam kasus semacam itu, para suami mereka memaksa istri-istri baru
ini untuk bekerja untuk keluarga mereka dengan kondisi mirip perbudakan atau
menjual mereka ke industri seks.
f) Beberapa
Bentuk Buruh/ Pekerja Anak–terutama di Indonesia. Beberapa (tidak semua) anak
yang berada di jalanan untuk mengemis, mencari ikan di lepas pantai seperti
jermal, dan bekerja di perkebunan telah diperdagangkan ke dalam situasi yang
mereka hadapi saat ini. Dan terakhir, Penjualan Bayi–baik di luar negeri
ataupun di Indonesia. Beberapa buruh migran Indonesia (TKI) ditipu dengan
perkawinan palsu saat di luar negeri dan kemudian mereka dipaksa untuk
menyerahkan bayinya untuk diadopsi ilegal. Dalam kasus yang lain, ibu rumah
tangga Indonesia ditipu oleh PRT kepercayaannya yang melarikan bayi ibu
tersebut dan kemudian menjual bayi tersebut ke pasar gelap.
- Modus Operandi Tindak Pidana Perdagangan Orang
Tindak pidana
perdagangan orang (human trafficking)
umumnya dilakukan dengan cara pelanggaran terhadap hak asasi manusia, yaitu
berupa pelanggaran harkat dan martabat manusia yang berupa perlakuan kejam, dan
bahkan perlakuan serupa perbudakan. Perlakuan ini diterima sebagai
ketidakberdayaan korban, yang terjebak dalam jeratan jaringan yang sangat sulit
untuk diidentifikasi, sehingga akan berakibat sulit untuk menemukan solusianya.
Modus perdagangan orang yang paling menonjol diantaranya disebabkan kemiskinan,
pendidikan rendah, keluarga yang tidak harmonis/ perceraian, bencana alam, dan
bisa gender.
Selain itu faktor
geografis Indonesia yang sangat strategis, kondisi keuangan negara, perlindungan
hukum serta penegakan hukum khususnya hukum HAM, rendahnya pemahaman rehadap
moral dan nilai-nilai religius rendah, mengakibatkan adanya permintaan yang
main meningkat untuk bekerjanya di luar negeri, dengan iming-iming gaji yang
sangat besar dan tidak memerlukan keterampilan yang khusus, kurangnya
kesempatan kerja dalam negeri, budaya masyarakat yang konsumtif, dan faktor
lingkungan turut mendukung. Sementara itu, pengguna Tenaga Kerja Indonesia
(TKI) terutama di sektor informal sangat menguntungkan, karena TKI dapat dibayar
dengan upah yang rendah, mempunyai sifat penurut, loyal dan mudah diatur.
Keadaan ini menimbulkan tumbuh suburnya modus-modus yang makin beragam, karena
sistem hukum yang ada di Indonesia masih lemah, khususnya dalam penegakan hukum
TPPO.
Oleh karena itu, untuk
menjamin dan melindungi hukum HAM perlu adanya sosialisasi yang
berkesinambungan tentang bahaya perdagangan orang, dan juga regulasi sistem
hukum baik substansi, struktur dan budaya hukum. Selain itu pemberdayaan
ekonomi masyarakat, tingkat pendidikan, dan pendidikan moral harus terus
menerus disosialisasikan dan diinternalisasikan. Selain beberapa hal tersebut
di atas, modus lain dalam tindak pidana perdagangan adalah kesadaran hukum
masyarakat yang masih rendah, pemahaman moral dan agama yang kurang, gaya hidup
masyarakat yang konsumtif, pemahaman akan persamaan gender dalam keluarga dan masyarakat yang masih bias, rendahnya
pendidikan masyarakat, dan kondisi ekonomi masyarakat yang belum merata.
- Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
- Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Secara Preventif (Pencegahan) Upaya pencegahan
merupakan suatu pencegahan kejahatan, dimana dilakukan sebelum kejahatan itu
terjadi, upaya ini seharusnya lebih diutamakan daripada upaya yang bersifat represif. Ada pendapat yang mengatakan
bahwa mncegah lebih baik daripada mengobati. Demikian pula W.A. Bonger
mengatakan bahwa, dilihat dari efisiensi dan efektifitas upaya pencegahan lebih
baik daripada upaya yang bersifat represif.
Dalam dunia kedokteran kriminal telah disepakati suatu pemikiran mencegah
kejahatan adalah lebih baik daripada mencoba mendidik penjahat menjadi baik
kembali, lebih baik disini jug berarti lebih mudah, lebih murah dan lebih
mencapai tujuannya.[36]
Mengutip pendapat yang
disampaikan oleh Hery Firmansyah, penggunaan sarana non-penal sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan dapat
dilakukan dengan penyantunan dan
pendidikan sosial dala rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga
masyarakat; penggarapan kesehatan jiwa melalui pendidikan formal; agama dan
sebagainya; penigkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, khususnya
yang terkait langsung dengan perdagangan orang yakni dengan melakukan kegiatan
patroli atau dengan melakukan usaha-usaha pengawasan lainnya. Sebab tujuan dari
usaha-usaha non-penal adalah untuk dapat memperbaiki kondisi-kondisi sosial
tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap
kejahatan.
Lebih lanjut Hery
Firmansyah mengatakan dengan mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Soedjono,
bahwa secara umum pencegahan kejahatan dapat dilakukan dengan menggabungkan
beberapa metode. Pertama, cara Moralistic (miring) yang dilaksanakan
dengan penyebarluasan ajaran-ajaran agama dan moral, undang-undang yang baik
dan sarana-sarana lain yang dapat mengekang nafsu untuk berbuat kejahatan. Kedua, adalah dengan cara Abiliosinistik yang berusaha untuk
memberantas sebab-musababnya. Umpamanya kita ketahui bahwa faktor tekanan
ekonomi (kemelaratan) merupakan salah satu faktor penyebab, maka usaha untuk
mencapai kesejahteraan untuk mengurangi kejahatan yang disebabkan oleh faktor
ekonomi merupakan cara Abiliosinistik.
Adapun pencegahan kejahatan melalui pendekatan kemasyarakatan, yang biasa
disebut Community Based Crime Prevention,
melibatkan segala kegiatannya untuk memperbaiki kapasitas masyarakat dalam
mengurangi kejahatan dengan jalan meningkatkan kontrol sosial informal.[37]
Pencegahan sebelum
terjadinya tindak pidana merupakan suatu upaya untuk memberikan dan menghindari
rasa takut masyarakat dari gangguan pihak lain dalam melakukan kejahatan.
Sebab, Polri merupakan alat pengontrol atau pengawas tindak pidana yang
efektif. Jika kembali mengacu berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tugas poko polisi antara lain:
a) Memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat;
b) Menegakkan
hukum;
c) Memberi
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dengan melakukan segala
usaha dan kegiatan di lingkungan kepolisian, yang bertujuan untuk memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, memelihara keselamatan orang, benda dan
barang termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan, khususnya mencegah
terjadinya pelanggaan hukum. Pada kenyataannya kepolisian melakukan razia-razia
ke tempat hiburan, hotel, atau tempat yang dianggap sangat rawan berpotensi
terjadinya perdagangan orang, biasanya baik perempuan maupun anak-anak, jika
perempuan misalnya dengan bentuk eksploitasi seksual seperti mempekrjakan
perempuan di bawah umur ataupun dewan sebagai pekerja seks komersil. Disamping
itu juga melakukan pengawasan secara ketat di tempat lain yang terindikasi
dapat melancarkan lalu lintas perdagangkan orang seperti di pelabuhan laut,
pelabuhan udara, pintu gerbang perbatasan dengan negara lain dan patroli
perairan untuk mengawasi kapal/ perahu yang diduga membawa tenaga kerja dengan
tujuan mencegah lalu lintas manusia yang diperdagangkan secara ilegal dari desa
ke kota maupun dari satu kota ke kota yang lainnya serta dari dalam negeri ke
negara tujuan.
- Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdangan Orang Secara Represif (Penindakan)
Penaggulangan Represif menurut pendapat Bambang
Purnomo, yaitu tindakan dari petugas hukum terhadap perbuatan seseorang yang
dilakukan setelah terjadinya pelanggaran hukum. Penanggulngan tindak pidana ini
dimulai dari tindakan pengusutan dan penyediaan barang bukti oleh polisi,
tindakan penuntutan oleh jaksa, kemudian diteruskan pemeriksaan sidang oleh
hakim yang mengutamakan analisa dari kejadian yang berakibat melanggar dan
aturan hukum yang bersangkutan untuk memperoleh putusan hakim dan berakhir
dengan pelaksanaan putusan.[38]
Dengan kata lain, upaya
ini merupakan upaya-upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum setelah
terjadinya suatu tundak pidana yang meliputi tindakan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan dalam sidang pengadilan, sampai dengan dilaksankannya
putusan pidana. Adapun tugas Polri dalam hal ini, apabila tindak pidana
perdagangan orang, penyidik Polri dapat melakukan kegiatan berupa:
a) Mencari
dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap sebagai tindak pidana yang
dilakukan pelaku,
b) Menetukan
dapat atau tidaknya dilakukan upaya penyidikan terhadap pelaku,
c) Mencari
serta mengumpulkan bukti kejahatan perdagangan orang,
d) Membuat
terang tindak pidana kejahatan perdagangan orang yang terjadi,
e) Menemukan
tersangka pelaku tindak pidana.
Lebih lanjut lagi,
Polri dapat melakukan razia di tempat yang terindikasi adanya praktek
perdagangan orang misalnya panti pijat, lokalisasi, tempat karaoke, penampungan
wanita dan anak, maupun tempat hiburan lainnya.
Di dalam pasal 1 butir
2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana menyatakan bahwa Proses Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan pejabat penyidik sesuai sesuai dengan tata cara yang diatur dalam
undang-undang ini, guna menacari serta mengumpulkan bukti, sebab dengan bukti
membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya. Jadi dalam tahapan penyidikan ini, titik berat tekanannya
diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak
pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agat dapat menemukan dan
menentukan pelakunya.
Mengingat fungsi Polri
dalam struktur kehidupan masyarakat sebagai pengayom masyarakat, penegak hukum
serta mempunyai tanggung jawab khusus untuk memelihara ketertiban masyarakat
dalam menangani kejahatan, termasuk dalam bentuk tindakan terhadap kejahatan
perdagangan orang maupun bentuk pencegahan tindak pidana perdagangan orang,
agar para anggota masyarakat dapat hidup dan bekerja dalam keadaan aman dan
tenteram. Sesuai dengan pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyatakan bahwa Polri adalah salah satu
fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan negara dibidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman
dan pelayanan kepada masyarakat.[39]
Di dalam melakukan
proses penyidikan perkara tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh
pihak kepolisian, harus berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kecuali apabila ditentukan lain
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (human trafficking).
Hal ini tercantum dalam pasal 28 sampai dengan pasal 42. Sedangkan di dalam
pasal 28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 menyatakan bahwa Penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana
perdagangan orang dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku,
kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Dalam penanganan korban
perdagangan orang terutama korban dari eksploitasi seksual, mensyaratkan agar
dilakukannya dengan penanganan khusus. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga menyebutkan
bahwa untuk melindungi saksi-korban, di setiap Propinsi dan Kabupaten/ Kota
wajib untuk dibentuk Ruang Pelayanan Khusus yang saat ini disebut dengan Unit
Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) dalam kantir kepolisian. Lebih lanjut lagi
dalam pengaturannya menurut Pasal 2 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia, unit tersebut bertugas memberikan pelayanan dalam bentuk perlindungan
terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum
terhadap pelakunya. Selain itu, dalam melaksanakan tugasnya, pasal 4 menyatakan
bahwa fungsi Unit Pelayanan Perempuan dan Anak ini, sebagai berikut:
a) Penyelenggaraan
pelayanan dan perlindungan hukum;
b) Penyelenggaraan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana;
c) Penelenggaraan
kerja sama dan koordinasi dengan instansi terkait.
Oleh sebab itu di
setiap kantor polisi seharusnya tersedia sejumlah petugas yang mempunyai
keahlian khusus untuk dapat menangani tindak pidana perdagangan orang ini,
khusunya terhadap korban ekploitasi seksual. Penyidik harus memiliki
keterampilan sosial, pengetahuan tentang posisi dan duduk permasalahan yang
dihadapi oleh korban atau mereka yang diduga sebagai korban tindak pidana.
Sebab dalam penanganan yang dilakukan oleh pihak penyidik, korban hendak menyampaikan
laporan perihal tindak pidana yang dialaminya, disamping itu penyidik telah
terbiasa bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang dapat meyediakan bantuan, pelayanan
dan pendampingan korban, baik dari lembaga swadaya masyarakat maupun dari
instansi pemerintah terkait lainnya.
Keterangan korban yang
diberikan saat tingkat penyidikan adalah merupakan sebagai bukti awal secara
formal untuk dapat memulai suatu proses pemeriksaan perkara. Keterangan
tersebut diproses secara profesional, dengan kehati-hatian dan kecermatan.
Laporan atau aduan yang dilakukan oleh korban perdagangan orang tidak dapat
begitu saja untuk mencabut keterangannya dan menghentikan proses penyidikan
yang sudah berjalan, sebab tindak pidana perdagangan orang merupakan ancaman
bagi kepentingan umum.
Adapun demikian, tidak
menutup kemungkinan untuk dihentikannya proses penyidikan dalam tindak pidana
perdagangan orang ini. Sebab proses penyidikan merupakan kompetensi bagi pihak
penyidik, termasuk untuk menghentikannya, bardasarkan pasal 109 ayat (2) KUHAP
alasan pemberian wewenang penghentian penyidikan ada dua unsur, yaitu:[40]
a) Untuk
menegakkan prinsip penegakan hukum yang cepat, tepat, dan biaya ringan,
sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. Jika
penyidik berkesimpulan bahwa hasil penyelidikan dan penyidikan tidak cukup
bukti atau alasan untuk menuntut tersangka ke persidangan, peniydik secara
resmi menyatakan penghentian pemeriksaan penyidikan, agar dengan demikian
segera tercipta kepastian hukum;
b) Supaya
penyidikan terhindar dari kemungkinan tuntutan ganti kerugian, jika perkaranya
diteruskan ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut ataupun
menghukum, dengan sendirinya memberi hak kepada tersangka/ terdakwa untuk
menuntut ganti kerugian berdasarkan pasal 95 KUHAP.
Selanjutnya secara
singkat mengenai alat bukti menurut pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (human trafficking), selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa:
a) Informasi
yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan
alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b) Data,
rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/ atau didengar, yang
dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di
atas kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada:
1) Tulisan,
suara, atau gambar;
2) Peta,
rancangan, foto, atau sejenisnya; atau
3) Huruf,
tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Dalam ketentuan yang
dinyatakan dalam Pasal 29 huruf (b) tersebut, misalnya data yang tersimpan
dalam komputer, telepon atau peralatan elektronik lainnya atau catatan lainnya
seperti:
a) Catatan
rekening bank, catatan keuangan, catatan kredit atau utang, atau catatan
transaksi yang terkait dengan seseorang atau korporasi yang diduga terlibat di
dalam perkara tindak pidana perdagangan orang;
b) Catatan
pergerakan, perjalanan, atau komunikasi oleh seseorang atau organisasi yang
diduga terlibat di dalam tindak pidana menurut undang-undang ini; atau
c) Dokumen,
pernyataan tersumpah atau bukti-bukti lainnya yang didapat dari negara asing,
yang mana Indonesia memiliki kerja sama dengan pihak-pihak berwenang negara
tersebut sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang yang berkaitan dengan
bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana.
BAB
III
PEMBAHASAN
- Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang dari Aspek Kebijakan Politik Hukum Pidana
Kebijakan formulasi
dapat berupa kriminalisasi/ pembaruan hukum dengan menciptakan aturan baru dan
menambah/ merevisi aturan lama. Secara umum pembaharuan hukum pidana dapat
dilaksanakan untuk seluruh bagian hukum pidana secara global/ menyeluruh,
ataupun secara parsial/bagian baik hukum pidana umum maupun hukum pidana
khusus. Salah satu bagian hukum pidana khusus yang merupakan hasil formulasi di
bidang hukum pidana adalah tindak pidana perdagangan orang. Oleh karena itu,
pembaharuan hukum pidana terhadap tindak pidana perdagangan orang, juga
merupakan salah satu bagian dari upaya mencapai penegakan hukum dalam hukum
pidana. Penegakan hukum merupakan rangkaian proses dalam menjabarkan nilai,
ide, dan cita-cita yang cukup abstrak, dan menjadi realita dalam tujuan hukum.
Pencegahan tindak pidana perdagangan orang (human
trafficking), harus selaras dengan tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita
hukum memuat nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai
tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas nyata. Penegakan hukum adalah
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam wujud hukum
yang berupa peraturan
perundang-undangan.
Kebijakan formulasi
dengan membuat peraturan hukum ditujukan untuk dilaksanakan, pelaksanaan hukum
tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, karena itu penilaian terhadap bekerja
dan berlakunya hukum sangat bergantung pada lingkungan dan struktur sosial
masyarakat dimana hukum tersebut di berlakukan. Dengan demikian, dalam
melaksanakan kebijakan formulasi terhadap tindak pidana perdagangan orang harus
juga dipertimbangkan pendekatan-pendekatan yang tidak hanya berdasarkan
kebijakan hukum semata, melainkan harus mempertimbangkan nilai-nilai, dan
budaya yang hidup dalam masyarakat. Hal ini penting dipertimbangkan, karena
dalam menerapkan kebijakan hukum pidana peraturan perundang-undangan yang
berlaku akan dapat bekerja dan berjalan secara optimal, apabila sesuai dengan
nilai-nilai masyarakat. Perubahan ini didasari oleh kesadaran akan keberadaan
manusia, yang secara kodrati mempunyai beberapa hak yang harus dipertahankan
dan dihormati oleh orang lain dalam melaksanakan hubungan/ interaksi sosial.
Kesadaran untuk mempertahankan dan menghormati hak orang lain inilah kemudian
memunculkan adanya pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Di Indonesia, wacana
pengakuan dan perlindungan HAM tidak hanya terbatas pada perdagangan orang
saja, melainkan terhadap hampir semua perbuatan, sehingga daya berlakunya perlu diaktualisasikan dalam ilmu
hukum sebagai bagian dari formulasi kebijakan hukum pidana. Kebijakan formulasi
melalui tataran kriminalisasi atau pembaharuan hukum merupakan upaya pemerintah
dalam mewujudkan keejahteraan masyarakat. Atas dasar itu dengan dilandasi
penghormatan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, pemerintah
Indonesia mengundangkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, secara materil ruang lingkup tindak pidana
perdagangan orang mengandung unsur objektif dan unsur subjektif sebagai
berikut:
- Unsur Objektif yaitu:
1) Adanya
perbuatan TPPO, yaitu:
a)
Perekrutan;
b)
Pengangkutan;
c)
Penampungan;
d)
Pengiriman;
e)
Pemindahan;
f)
Penerimaan
2) Adanya
akibat yang menjadi syarat mutlak (dilarang) yaitu:
a) Ancaman/
penggunaan kekerasan;
b) Penculikan;
c) Penyekapan;
d) Pemalsuan;
e) Penipuan;
f) Penyalahgunaan
kekuasaan;
g) Posisi
rentan.
3) Adanya
tujuan atau akibat dari perbuatan, yaitu:
a) Penjeratan
utang;
b) Memberi
bayaran/ manfaat
c) Eksploitasi,
terdiri dari:
1. Eksploitasi
seksual
2. Kerja
paksa atau pelayanan paksa
3. Transpalansi
organ tubuh
d) Unsur
tambahan
Dengan atau tanpa persetujuan orang yang memegang
kendali.
- Unsur Subjektif yaitu:
1) Kesengajaan:
a) Sengaja
memberikan kesaksian dan keterangan palsu
b) Sengaja
melakukan penyerangan fisik
2) Rencana
terlebih dahulu:
a) Mempermudah
terjadinya TPPO;
b) Sengaja
mencegah, merintangi, atau menggagalkan proses hukum;
c) Sengaja
membantu pelarian pelaku TPPO;
d) Sengaja
memberitahukan identitas saksi.
Membandingkan
unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, maka
pengaturan tindak pidana perdagangan orang tersebut di atas, jelas terlihat
adanya perubahan, yang merupakan
kriminalisasi/ pembaharuan hukum pidana dalam UU No. 21 Tahun 2007,
dibandingkan dengan pasal 297 KUHP yang mengatur perdagangan orang sebelumnya.
Secara substansi, kriminalisasi/ pembaharuan hukum dalam UU Nomor 21 Tahun
2007, terlihat dari adanya perluasan pengaturan unsur subjektif dan unsur
objektif. Namun demikian, dalam
perjalanannya ternyata masih banyak dirasakan adanya kelemahan dalam substansi
(kebijakan formulasi) dalam UU Nomor 21 Tahun 2007.
Hasil kriminalisasi
dalam UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang, dapat terlihat dari adanya perluasan subjek tindak pidana perdagangan
orang, seperti terlihat dari rumusan Pasal 1 angka 4, yaitu pelaku tidak hanya berupa
perseorangan yang merupakan manusia (natural
person), tetapi juga diatur adanya pelaku yang berbentuk korporasi.
Berdasarkan kebijakan hukum pidana, upaya ini merupakan hasil formulasi hukum/ kebijakan
hukum yang berorientasi ke depan, sebagai antisipasi sebagai wujud dari upaya
pencegahan yang merupakan pembaruan hukum pidana dalam tindak pidana perdagangan
orang/ kriminalisasi.
- Kendala Dalam Melaksanakan Upaya Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Pencegahan tindak
pidana adalah langkah awal dalam penanggulangan tindak pidana, karena itu
membahas pencegahan tindak pidana tidak dapat terlepas dari kebijakan
penanggulangan pidana, yang secara keseluruhan merupakan bagian dari penegakan
hukum (law enforcement), dan
sekaligus memberikan perlindungan pada masyarakat (social defence). Menurut Marc Ancel, setiap masyarakat menentukan
adanya tertib sosial, yaitu adanya seperangkat peraturan-peraturan yang tidak
hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi juga sesuai
dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada umumnya.[41]
Oleh karena itu,
peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat
dielakkan bagi suatu sistem hukum. Perlindungan terhadap individu maupun
masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, dalam
hal ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan masyarakat. Atas dasar itu,
sistem hukum pidana, tindak pidana, penilaian hakim terhadap si pelanggar dalam
hubungannya dengan hukum secara murni, maupun pidana merupakan lembaga-lembaga
(institusi) yangharus dipertahankan.
Kejahatan sebagai “a human and social
problem”, menurut Marc Ancel tidak begitu saja dengan mudah dapat
dirumuskan dalam suatu peraturan perundang-undangan.[42]
Menanggulangi kejahatan
hendaknya tidak hanya mengandalkan pada sistem hukum yang berlaku, melainkan
dengan memadukan berbagai konsep upaya penegakan hukum, yaitu:
1) Hukum
yang merupakan perwujudan dari undang-undang, harus berwawasan ke masa yang
akan datang sebagai bagian dari proses penegakan hukum (criminal justice system) dengan berorientasi pada kebenaran dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
2) Aparatur
yang tertata dengan baik, dengan personal yang profesional di bidangnya,
didukung oleh sarana dan prasarana yang up
to date serta sarat untuk penanggulangan kejahatan modern, dengan modus
operandi yang canggih dan terselubung.
3) Koordinasi
yang serasi antar fungionaris hukum dan aparatur pemerintah terkait yang
berdedikasi dan berorientasi pada upaya mewujudkan keamanan, ketertiban,
keadilan, dan kesejahteraan.
4) Partisipasi
masyarakat yang harus dimodifikasi, agar kondisi potensial dapat terangkat
menjadi kekuatan nyata warga masyarakat yang peduli terhadap kejahatan dan
aktif ambil bagian dalam penaggulangan, dan melakukan sikap yang antisipatif
terhadap kejahatan.[43]
Menurut Koesparmono
Irsan bahwa strategi dan kebijakan penanggulangan kejahatan, terutama
kejahatan, terutama kejahatan terorganisasi tidaklah sederhana. Pencegahan
kejahatan dapat dilakukan melalui pendekatan-pendekatan yang dilakukan melalui
pendekatan filosofi, sosiologis, psikologis, yuridis, kriminologis dan
manajerial. Pendekatan filosofis bertolak dari cermin insan pancasila, yang
selalu menginginkan hidup lebih baik dan berguna bagi orang banyak; pendekatan
sosiologis diperlukan karena kejahatan adalah bagian dari masyarakat, yang akan
diarahkan untuk kembali menjadi anggota masyarakat yang baik; pendekatan
psikologis mengandaikan pelaku kejahatan akan dibimbing menjadi manusia yang
punya kepribadian lebih baik. Adapun pendekatan yuridis mengarahkan pelaku
kejahatan untuk menyadari bahwa perbuatannya telah melanggar undang-undang.
Terakhir pendekatan kriminologis membantu dalam mempelajari kejahatan sebagai
penyebab kejahatan.[44]
Dengan demikian, dalam
pencegahan tindak pidana perdagangan orang yang merupakan pelanggaran harkat
dan martabat manusia atau sebagai salah satu bentuk modern dari perbudakan,
dewasa ini menjadi perbuatan yang sangat memprihatinkan, dapat dilakukan dengan
langkah-langkah persuasif melalui lembaga sosial. Hal ini didasarkan pada
realita yang terjadi, sekalipun sudah ada pengaturan hukum secara tertulis dan
ditambah dengan peraturan-peraturan pelaksana yang berlaku di daerah-daerah,
tidak membuat jera para pelaku perdagangan orang. Dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 siapapun dilarang untuk melakukan TPPO, membantu orang lain
melakukan TPPO, sekalipun kegiatan dari usaha/ bisnis ini dapat mendatangkan
keuntungan ekonomis yang cukup besar. Karena itu, sudah menjadi kewajiban dan
tanggung jawab dari pemerintah untuk berupaya mencegah, menanggulangi, bahkan
memberantas TPPO. Hal ini tidak mungkin apabila hanya dibebankan kepada
pemerintah saja, melainkan harus bekerja sama dengan lembaga lain, unsur
masyarakat, dan seluruh orang untuk peduli terhadap TPPO. Selain itu agar
supaya pencegahan dan penegakan TPPO ini dapat berjalan, maka harus didukung
oleh anggaran dan yang memadai. Selain dukungan dana/ anggaran, guna
mengefektifkan upaya pencegahan dan penegakan TPPO diperlukan adanya sarana
lain yang mendukung, diantaranya informasi.
Informasi diperlukan
oleh setiap orang dalam pencegahan dan penaggulangan TPPO. Untuk menjamin agar
informasi akurat, maka data yang diinformasikan harus oleh Gugus Tugas Nasional
berdasarkan laporan nyata/ realita dari perkembangan dan berita dari
daerah-daerah, yang kemudian dapat dijadikan rujukan informasi bagi siapapun yan
membutuhkannya.
Secara umum, penyebab
TPPO adalah masalah ekonomi (kemiskinan) dengan modus penjeratan utang dan
rendahnya tingkat pendidikan, sehigga upaya pencegahannya juga harus berjalan
dengan upaya penanggulangan kemiskinan dan peningkatan serta perluasan
kesempatan kerja dan lapangan pekerjaan. Namun selain masalah kemiskinan
dan pendidikan rendah, masih banyak
penyebab lainnya dari TPPO yang sangat kompleks, sehingga pencegahan dan
penanggulangannya memerlukan upaya yang menyeluruh, terpadu, berkelanjutan,
serta terkoordinasi dengan baik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah,
organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, media
massa, dan seluruh komponen masyarakat. Dengan kata lain, diperlukan adanya
upaya pencegahan dan penanganan dengan meningkatkan peran serta dan fungsi
berbagai sektor dan elemen dari tingkat pusat sampai ke daerah.
Sekalipun berbagai
rencana strategis dan upaya penanggulangan sudah direncanakan dan dilaksanakan,
namun realita dalam masyarakat masih banyak kedala yang dihadapi dalam
pencegahan TPPO. Atas dasar itu, upaya pencegahan dan penegakan hukum adalah
upaya menyelaraskan dan menserasikan adanya ketidakserasian antar nilai, kaidah
dan pola prilaku dalam penerapan hukum. Ketidakserasian ini terjadi apabila
antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma dalam kaidah-kaidah menjadi
bersimpang siur, dan pola prilaku yang tidak terarah dan mengganggu kedamaian
pergaulan hidup. Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum
bukan semata-mata baerarti pelaksanaan undang-undang, walaupun dalam kenyataan
di Indonesia kecenderungan demikian, sehingga pengertian penegakan hukum (law enforcement) juga dapat berupa
melaksanakan keputusan-keputusan hakim.
Demikian juga dalam
pencegahan TPPO, tidak dapat terlepas dari proses penegakan hukum. Upaya yang
dapat dilakukan tidak hanya berpedoman pada undang-undang saja, tetapi justru
pada implementasi penerapan kebijakan dari pemerintah. Karena itu, dalam
realita upaya penegakan hukum TPPO tidak dapat disamakan antara satu daerah
dengan daerah yang lainnya, tetapi tergantung dari akar penyebabnya. Terlebih
nilai-nilai dan budaya masyarakat indonesia sangat beragam dan beraneka
coraknya.
Melihat pada beberapa
kasus TPPO yang terjadi, maka kendala dalam upaya pencegahan tindak pidana
perdagangan orang sangat beragam dan kompleks, karena penyebab dari tindak
pidana perdagangan orangpun beragam modusnya. Diantara kendala tersebut yang
paling signifikan adalah:
1) Masih
banyak anggota masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan;
2) Minimnya
kualitas pendidikan dan pelatihan bagi calon TKI yang akan bekerja ke luar
negeri;
3) Masih
minimnya sarana perekrutan tenaga kerja lokal;
4) Masih
adanya pemahaman dalam masyarakat untuk melegalkan perkawinan di usia dini;
5) Masih
maraknya penjeratan utang dalam perkerutan sampai pemulangan tenaga kerja,
sehingga berpotensi tejadinya tindak pidana perdagangan orang;
6) Masih
kurangnya kegiatan pendukung di daerah asal bagi korban TPPO, sehingga korban
yang sudah dipulangkan rentan untuk diperdagangkan kembali;
7) Masih
ada pemanfaatan fasilitas wisata untuk membuka celah prostitusi;
8) Belum
optimalnya peran serta masyarakat dan tokoh masyarakat dalam upaya penanggulangan
TPPO;
9) Belum
ada sistem monitoring dan evaluasi
yang terpadu dalam pencegahan TPPO;
10) Belum
adanya pemahaman yang sama dalam penegakan hukum TPPO;
11) Instrumen
hukum yang menyulitkan dalam menghadirkan alat bukti;
12) Lemahnya
keterlibatan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penindakan pelaku;
13) Kualitas
SDM aparat penegak hukum dan sarana serta prasarana yang belum mendukung;
14) Masih
lemahnya bantuan hukum bagi korban, terutama korban yang bekerja di luar
negeri;
15) Terdapat
kesulitan dalam teknis penegakan pelaku yang berstatus Warga Negara Asing
(WNA);
16) Belum
optimalnya peran dan fungsi gugus tugas di tingkat nasional, propinsi, dan
kabupaten/ kota;
17) Masih
minimnya data akurat korban TPPO, karena korban baru melapor apabila ada
kerugian/ penderitaan;
18) Masih
ada kendala dalam proses birokrasi dalam penanganan korban, sehingga dapat
menghambat pencegahan dan penegakan hukum;
19) Masih
ada kendala dalam penanganan rehabilitasi bagi korban TPPO;
20) Belum
optimalnya penyediaan anggaran dari pemerintah terhadap penanganan korban,
terutama pemulangan bagi korban yang ada di luar negeri;
21) Masih
lemahnya landasan hukum bagi perwakilan negara Indonesia di luar negeri, dalam
upaya penanganan pekerja migran di negara tujuan.[45]
Berdasarkan upaya
penanggulangan dan pencegahan tindak pidana perdagangan orang yang telah di
paparkan sebelumnya, menurut penulis sudah selayakanya pemerintah mengeluarkan
peraturan hukum yang tujuannya adalah melindungi masyarakat, menciptakan
ketertiban, memberikan keamanan, mewujudkan keadilan, dan akhirnya mewujudkan
kesejahteraan bagi masyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan pembangunan hukum
nasional yang dijalankan di Indonesia, yaitu hukum berperan sebagai sarana
untuk melakukan dan mengendalikan perubahan dan pembangunan masyarakat. Untuk
itu hukum yang akan dan telah diciptakan, harus dapat mengikuti dan mengatur
setiap perubahan masyarakat.
Sekalipun upaya-upaya
tersebut telah, sedang dan akan dilaksanakan, namun yang paling utama untuk mewujudannya adalah
semangat dari seluruh masyarakat Indonesia untuk selalu berupaya mencegah TPPO,
karena merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM, dan disamakan dengan
perbudakan modern. Oleh karena itu pencegahan TPPO bukan hanya tugas pemerintah
saja, melainkan tugas bersama seluruh komponen masyarakat. Dengan kata lain,
upaya pencegahan TPPO merupakan kegiatan dari aparat, pejabat yang terlibat
dengan mengikut sertakan masyarakat yang diawali dari pembuatan hukum (law making), maupun penerapan hukum (law enforcement), sesuai dengan peran
sertanya.
BAB
IV
PENUTUP
- Kesimpulan
Berdasarkan perumusan
masalah, pembahasan, dan hasil penelitian yang dilakukan penulis, maka dapat
disimpulkan antara lain sebagai berikut:
- Dalam melaksanakan kebijakan formulasi terhadap tindak pidana perdagangan orang harus juga dipertimbangkan pendekatan-pendekatan yang tidak hanya berdasarkan kebijakan hukum semata, melainkan harus mempertimbangkan nilai-nilai, dan budaya yang hidup dalam masyarakat. Hal ini penting dipertimbangkan, karena dalam menerapkan kebijakan hukum pidana peraturan perundang-undangan yang berlaku akan dapat bekerja dan berjalan secara optimal, apabila sesuai dengan nilai-nilai masyarakat. Hasil kriminalisasi dalam UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dapat terlihat dari adanya perluasan subjek tindak pidana perdagangan orang, seperti terlihat dari rumusan Pasal 1 angka 4, yaitu pelaku tidak hanya berupa perseorangan yang merupakan manusia (natural person), tetapi juga diatur adanya pelaku yang berbentuk korporasi. Berdasarkan kebijakan hukum pidana, upaya ini merupakan hasil formulasi hukum/ kebijakan hukum yang berorientasi ke depan, sebagai antisipasi sebagai wujud dari upaya pencegahan yang merupakan pembaruan hukum pidana dalam tindak pidana perdagangan orang/ kriminalisasi.
- Melihat pada beberapa kasus TPPO yang terjadi, maka kendala dalam upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang sangat beragam dan kompleks, karena penyebab dari tindak pidana perdagangan orangpun beragam modusnya, diantaranya adalah:
1) Masih
banyak anggota masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan;
2) Minimnya
kualitas pendidikan dan pelatihan bagi calon TKI yang akan bekerja ke luar negeri;
3) Masih
minimnya sarana perekrutan tenaga kerja lokal;
4) Masih
adanya pemahaman dalam masyarakat untuk melegalkan perkawinan di usia dini;
5) Masih
maraknya penjeratan utang dalam perkerutan sampai pemulangan tenaga kerja,
sehingga berpotensi tejadinya tindak pidana perdagangan orang;
6) Masih
kurangnya kegiatan pendukung di daerah asal bagi korban TPPO, sehingga korban
yang sudah dipulangkan rentan untuk diperdagangkan kembali;
7) Masih
ada pemanfaatan fasilitas wisata untuk membuka celah prostitusi;
8) Belum
optimalnya peran serta masyarakat dan tokoh masyarakat dalam upaya
penanggulangan TPPO;
9) Belum
ada sistem monitoring dan evaluasi
yang terpadu dalam pencegahan TPPO;
10) Belum
adanya pemahaman yang sama dalam penegakan hukum TPPO;
11) Instrumen
hukum yang menyulitkan dalam menghadirkan alat bukti;
12) Lemahnya
keterlibatan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penindakan pelaku;
13) Kualitas
SDM aparat penegak hukum dan sarana serta prasarana yang belum mendukung;
14) Masih
lemahnya bantuan hukum bagi korban, terutama korban yang bekerja di luar
negeri;
15) Terdapat
kesulitan dalam teknis penegakan pelaku yang berstatus Warga Negara Asing (WNA);
16) Belum
optimalnya peran dan fungsi gugus tugas di tingkat nasional, propinsi, dan
kabupaten/ kota;
17) Masih
minimnya data akurat korban TPPO, karena korban baru melapor apabila ada
kerugian/penderitaan;
18) Masih
ada kendala dalam proses birokrasi dalam penanganan korban, sehingga dapat
menghambat pencegahan dan penegakan hukum;
19) Masih
ada kendala dalam penanganan rehabilitasi bagi korban TPPO;
20) Belum
optimalnya penyediaan anggaran dari pemerintah terhadap penanganan korban,
terutama pemulangan bagi korban yang ada di luar negeri;
21) Masih
lemahnya landasan hukum bagi perwakilan negara Indonesia di luar negeri, dalam
upaya penanganan pekerja migran di negara tujuan.
- Saran
Pemerintah Indonesia
diharapkan dalam kebijakan politik hukumnya agar segera menetapkan standar
minimum pembasmian perdagangan orang. Selain itu, harus segera dilakukan revisi
dari beberapa pasal dan ayat dari Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana perdagangan Orang yang pada praktek-praktek
perdagangan buruh, dan modus serta bentuk perdagangan orang cendrung luput dari
jeratan hukum. Selain itu segera dilakukan perbaikan dari kinerja pengadilan,
pendakwaan dan penjatuhan hukuman atas kasus-kasus perdagangan orang, termasuk
yang melibatkan agen-agen perekrutan tenaga kerja dan membongkar jaringan
cukong perdagangan orang.
Perlu peningkatan upaya
untuk mengadili dan mendakwa pejabat publik yang menarik keuntungan dari atau terlibat
dalam perdagangan orang dan meningkatkan pendanaan bagi upaya penegakan hukum dalam
menyelamatkan, memulihkan, dan mengintegrasikan para korban perdangangan orang
(human trafficking).
DAFTAR
PUSTAKA
- Buku
Abdussalam, H.R, PolotikHukum, PTK, Jakarta, 2011
Abdusalam, H.R., Penegakkan Hukum Dilapangan oleh Polri,
Jakarta: Diskum Polri, 1997.
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan 1,
Jakarta: Yarsif Watampone,
2005.
Anton Bakker & Achmad Charris Zubair, Metodologi
Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer, 2004.
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Jakarta:
Sinar Grafika, 2011.
Ali, Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar
Grafika, Jakarta, 2011
Ali Mahrus dan Aji Pramono Bayu, Perdagangan Orang,
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2011.
Arif, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana, Kencana, Jakarta, 2010
_____ Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2007.
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam
Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Cetakan Ketiga, Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 2000.
Bonger, W.A., Pengantar Tentang Kriminologi Pembangunan,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995.
Chaerudin dan Syarif Fadilah, Korban Kejahatan dalam
Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Grhadhika Press, 2004.
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan
Menuju kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Kedua,
Jakarta: Kencana, 2006.
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi
Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta: Rajawali Press, 2007.
Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia,
Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Harahap, Yahya, Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Harkristuti Harkrisnowo, Indonesian Court Report: Human Trafficking,
Jakarta: Universitas Indonesia Human
Right Center, 2003.
Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang,
Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Irawati Harsono, Penanganan Polri Terhadap Kasus
Perdagangan Anak, Jakarta Raya: Universitas Bhayangkara, 2004.
Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek,
Jakarta: Remaja Rosda Karya, 1993.
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana,
Kriminologi dan Viktimologi, Jakarta: Djambatan, 2004.
---------, Hukum Acara Pidana, Bandung: PT. Alumni,
2007.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Renika Cipta,
Jakarta, 2008
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,
Semarang: Universitas Diponegoro, 1995.
--------, Hak Asasi Manusia, Bandung: Refika
Aditama, 2005.
Nuraeny, Henny, Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya), Sinar Grafika, Jakarta, 2011
Naniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem
Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Niken Savitri, HAM Perempuan, Bandung: Refika
Aditama, 2008.
Poernomo, Bambang, Orinetasi Hukum Acara Pidana,
Amarta Buku, Yogyakarta 1984.
Soekanto, Soerjono, 1986. Pengantar Penelitian
Hukum, UI Press, Jakarta, 1984.
Rosenberg. Ruth, Perdagangan Perempuan dan Anak di
Indonesia, Jakarta: USAID, 2003.
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan
Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.
Soedjono Dirjosisworo, Konsepsi Kriminologi dalam
usaha penanggulangan kejahatan (Crime
Prevention), Bandung: Alumni, 1979.
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum, cet. Kelima, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
------------- ,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:
UI Press, 2010.
Sugandhi, KUHP dengan Penjelasannya, Surabaya: Usaha
Nasional, 1980.
Suhrawardi K. Lunis, Etika Profesi Hukum, Cetakan
Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum “Menuju
Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan”, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008.
Sutrisno Hadi, Metodologi Research Yogyakarta:
Yayasan penelitian Fakultas, UGM, 1988.
Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barakatullah, 2005.
Politik Hukum Pidana “Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi”,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
- Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Diterjemahkan oleh
Moeljatno, Cetakan 22, Jakarta: Sinar Grafika, 2003
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi
Manusia, (LN Tahun 2000 Nomor 208, TLN Nomor 4026).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Perlindungan Anak.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindun
gan Saksi dan Korban.
C.
Lain-lain
Catur Tulus Setyorini, Tindak Pidana Perdagangan
Wanita dan Anak, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta,
2006.
Kanwil Dep. Kehakiman dan HAM DIY, Evaluasi
Kebijakan Pemerintah dalam Pencegahan Perdagangan Orang, Jakarta: Departemen
Hukum dan HAM RI, 2007.
--------, Pemenuhan Hak untuk Mendapatkan
Rehabilitasi Bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, 2009.
Komnas Perempuan, “Undang-Undang Perlindungan Saksi dan
Korban: Perspektif Perempuan”, Lokakarya tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
Jakarta, 2006.
Nasution, Metode Research, Jakarta: Bumi Aksara,
1996.
Nunun Sarifah,
Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perdagangan
Orang Pada Tingkat Penyidikan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret, Surakarta, 2007.
Masyuhuri & M. Zainuddin, Metodologi Penelitian
Pendekatan Praktis dan Aplikatif, Bandung: Refika Aditama, 2008.
Soedjono Dirjosisworo kuliah Prof Donald R. Cressey,
tentang Kejahatan Mafia, Bandung: Armico, 1985.
Zaky Alkazar Nasution, Perlindungan Hukum Terhadap
Perempuan dan Anak Korban Perdagangan Manusia, Skripsi Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 2008
Http://jimly.com/makalah/namafile/56/penegakan_hukum.pdf.
Kajian terhadap upaya polri dalam penegakan hukum tindak pidana perdagangan
orang, diakses 28 Desember 2016, pukul 11.44 Wib
Http://eprints.undip.ac.id/17904/1/Zaky_Alkazar_Nasution.pdf.,
diakses 27 Desember 2016, pukul 15.27 Wib
Http://elibrary.unisba.ac.id/files/06-1087_Fulltext.pdf.,
diakses 27 Desember 2016, pukul 10.18 Wib
Http://bangaip.org/2009/08/perdagangan-manusia/#definisi.,
diakses 27 Desember 2016, pukul 21.07 Wib
[1]
Heny Nuraeny, 2011. Tindak Pidana Perdagangan Orang “Kebijakan Hukum Pidana dan
Pencegahannya” Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 27.
[2]
Soedjono Dirjosisworo, Konsepsi Kriminologi dalam usaha penanggulangan
kejahatan (Crime Prevention),
(Bandung: Alumni, 1979), hlm. 32-33
[3]
Ibid, hlm.5
[4]
Sugandhi, KUHP dengan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1980), hlm. 314
[5]
Irawati Harsono, Penanganan Polri Terhadap Kasus Perdagangan Anak, (Jakarta
Raya: Universitas Bhayangkara, 2004), hlm. 10
[6]
Ibid, hlm. 11
[7]
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,cet. Kelima,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 5
[8]
Ibid, hlm. 37
[9]
Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), hlm. 68
[10]
Ibid
[11]
Ibid, hlm. 24.
[12]
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, cetakan
kedua puluh enam, 1996), hlm. 11-12
[13]
John Rawls, A Theory of Justice, London:
Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia
oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), hlm. 135.
[14]
Hans Kelsen, General Theory of Law and
State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, (Bandung: Nusa Media, 2011),
hlm. 7.
[15]
Suhrawardi K. Lunis, Etika Profesi
Hukum, Cetakan Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 50
[16]
Masyuhuri dan M. Zainuddin, Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dan
Aplikatif, (Bandung: refika aditama, 2008), hlm. 193
[17]
Ibid, hlm. 195
[18]
Nana Sudjana, Tuntunan Karya Ilmiah, cet-2 (Bandung: CV Sinar Baru, 1991), hlm
6
[19]
Barda Nawawi Arif, 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana”, Bandung, PT
Citra Aditya Bakti, hlm. 24
[20]
Abdussalam HR, 2011, Politik Hukum, Jakarta, PTIK, hlm. 18
[21]
Barda Nawawi Arif. Pembaharuan Hukum Pidana dan Masalah Kebijakan Delik Aduan,
Dalam: Masalah-Masalah Hukum, FH UNDIP, No 4 Tahun 1994, hlm 2.
[22]
Heny Nuraeny, 2011. Tindak Pidana Perdagangan Orang “Kebijakan Hukum Pidana dan
Pencegahannya” Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 60
[23]
Ibid
[24]
Barda Nawawi Arif, op.cit. hlm. 28
[25]
Moeljatno, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 60-61
[26]
Ibid. hlm. 59
[27]
Andi Hamzah, 1994. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. hlm 89
[28]
Mahrus Ali, 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 98
[29] Ibid
[30]
Ibid
[31]
Ibid. hlm. 100
[32]
Henny Nuraeny, op.cit. hlm. 98
[33]
Ibid
[34]
Ibid. hlm. 110
[35]
Hamim, Anis dan Agustinanto, 2008. Mencari Solusi Keadilan Bagi Perempuan Korban
Perdagangan; Sulistyowati Irianti (ed). Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang
Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Yayasan Obor, Jakarta, hlm. 40
[36]
W.A. Bonger, 1995. Pengantar tentang Kriminologi Pembangunan, Ghalia Indonesia,
Jakarta, hlm. 167
[37]
Hery Firmansyah, “Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia,
Mimbar Hukum, Volume 23, Nomor 2, Juni 2011.
[38]
Bambang Poernomo, 1984. Orientasi Hukum Acara Pidana, Amarta Buku, Yogyakarta,
hlm. 90
[39]
Abdussalam, H.R, 2011, PolotikHukum, PTK, Jakarta, hlm. 334
[40]
Yahya Harahap, 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan
dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 150
[41]
Henny Nuraeny, op.cit, hlm. 320
[42]
Muladi dan Barda Nawawi Arif, 1998. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, hlm. 155
[43]
Henny Nuraeny, op.cit. hlm. 321
[44]
Ibid.hlm. 322-323
[45]
Ibid. Hlm. 335-336
Tidak ada komentar:
Posting Komentar