(Foto ilustrasi: Mercado Libre Venezuela |
Teori
umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting,
yaitu aspek statis (nomostatics) yang
melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum yang
mengatur perbuatan tertentu. Friedmann mengungkapkan dasar-dasar esensial dari
pemikiran Kelsen sebagai berikut:[2]
- Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.
- Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.
- Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.
- Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.
- Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.
Pendekatan
yang dilakukan oleh Kelsen disebut The
Pure Theory of Law, mendapatkan tempat tersendiri karena berbeda dengan dua
kutub pendekatan yang berbeda antara mahzab hukum alam dengan positivisme
empiris. Beberapa ahli menyebut pemikiran Kelsen sebagai “jalan tengah” dari
dua aliran hukum yang telah ada sebelumnya. Hierarki tata urutan
perundang-undangan adalah kumpulan norma-norma.
Norma
atau kaidah (kaedah) merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam
bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran, atau perintah. Baik anjuran
maupun perintah dapat berisi kaidah yang bersifat positif atau negatif sehingga
mencakup norma anjuran untuk mengerjakan atau anjuran untuk tidak mengerjakan
sesuatu, dan norma perintah untuk melakukan atau perintah untuk tidak melakukan
sesuatu. Apabila ditinjau dari segi etimologinya, kata norma itu sendiri
berasal dari bahasa Latin, sedangkan kaidah atau kaedah berasal dari bahasa
Arab. Norma berasal dari kata nomos yang berarti nilai dan kemudian dipersempit
maknanya menjadi norma hukum. Karya Plato yang berjudul Nomoi biasa
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan istilah The Law.[3]
Jika
pengertian norma atau kaidah sebagai pelembagaan nilai itu dirinci, kaidah atau
norma yang dimaksud dapat berisi:
- Kebolehan atau yang dalam bahasa Arab disebut ibahah, mubah (permittere);
- Anjuran positif untuk mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut sunnah;
- Anjuran negatif untuk tidak mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut “makruh”;
- Perintah positif untuk melakukan sesuatu atau kewajiban (obligattere); dan
- Perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatu atau yang dalam bahasa Arab disebut “haram” atau larangan (prohibere).[4]
Berlakunya
suatu norma senantiasa dapat dikembalikan
kepada berlakunya norm yang lebih tinggi, demikian selanjutnya, sehingga
akhirnya sampai pada grundnorm.[5]
Kaidah
hukum dapat pula dibedakan antara yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract norms) dan yang
bersifat konkret dan individual (concrete and individual norms). Kaidah umum
selalu bersifat abstrak karena ditujukan kepada semua subjek yang terkait tanpa
menunjuk atau mengaitkannya dengan subjek konkret, pihak, atau individu
tertentu. Kaidah hukum yang bersifat umum dan abstrak inilah yang biasanya
menjadi materi peraturan hukum yang berlaku bagi setiap orang atau siapa saja
yang dikenai perumusan kaidah hukum yang tertuang dalam peraturan
perundang-undangan yang terkait. Sementara itu, kaidah hukum individuil selalu
bersifat konkret. Kaidah konkret ini ditujukan kepada orang tertentu, pihak,
atau subjek-subjek hukum tertentu, atau peristiwa dan keadaan-keadaan tertentu.
Kelsen
mengemukakan “Pure Theory of Law” yang terjemahannya teori murni tentang hukum
(yang murni bukan hukumnya tetapi teorinya), ajarannya yaitu: dalam membuat
teori hukum haruslah bersih/murni dari pengaruh unsur-unsur lain. Murni di sini
dimaksudkan tidak dipengaruhi oleh ilmu – ilmu lain, unsur/ajaran–ajaran lain
misalnya agama filsafat, sejarah, sosiologi, antropologi, ekonomi dan
sebagainya. Untuk mendukung teori murni tentang hukumnya, Kelsen mengemukakan
teori Stufenbau yaitu mengenai keberlakuan kaidah hukum. Keberadaan kaidah yang
lebih rendah ditentukan oleh kaidah lebih tinggi dengan demikian kaidah konkrit
berlaku berdasarkan kaidah abstrak, sedangkan kaidah abstrak berlaku
berdasarkan kaidah dasar atau grundnorm.[6]
- Norma
- Pengertian Norma
Suatu pernyataan tentang realitas
dikatakan benar, karena pernyataan tersebut berhubungan dengan realitas atau
karena pengalaman kita menunjukkan kesesuaian dengan relitas tersebut. Suatu
norma adalah bukan pernyataan tentang realitas sehingga tidak dapat dikatakan
benar atau salah dengan ukuran realitas. Validitas norma tidak karena
keberlakuannya. Pertanyaan mengapa sesuatu seharusnya terjadi tidak pernah
dapat dijawab dengan penekanan pada akibat bahwa sesuatu harus terjadi, tetapi
hanya oleh penekanan bahwa sesuatu seharusnya terjadi.[7]
Norma adalah suatu ukuran yang harus
dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannnya dengan sesamanya atau dengan
lingkungannya. Istilah norma berasal dari bahsa latin, atau kaidah dalam bahasa
arab, dan sering juga disebut pedoman, patokan, atau aturan dalam bahasa
Indonesia.[8]
Suatu norma itu baru ada apabila terdapat lebih dari satu orang, karena norma
itu pada dasarnya mengatur tatacara bertingkah laku seseorang terhadap orang lain, atau terhadap
lingkungannya. Setiap norma itu mengandung suruhan-suruhan yang didalam bahasa
asingnya disebut dengan das Sollen (ought
to be/ ought to do).[9]
Norma hukum itu dapat dibentuk
secara tertulis ataupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang yang
membentuknya, sedangkan norma moral. adat, agama, dan lainnya terjadi secara
tidak tertulis, tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam
masyarakat.[10]
- Norma Superior Dan Norma Inferior
Analisis hukum, yang menyingkap
karakter dinamis dari sistem normatif dan fungsi norma dasar, juga menunjukan
kekhususan lebih lanjut dari hukum, yaitu: Hukum mengatur kriterianya sendiri
sepanjang suatu norma hukum menentukan cara norma lain dibuat, dan juga isi
dari norma tersebut. Sejak suatu norma hukum adalah valid karena dibuat dengan
cara yang ditentukan oleh norma hukum lain, maka norma terakhir merupakan
alasan validitas yang pertama.[11]
Hubungan antara norma yang mengatur
pembuatan norma lain dan norma lain tersebut dapat disebut sebagai hubungan
super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial. Norma yang menentukan pembuatan
norma lain adalah superior, sedangkan norma yang dibuat adalah inferior. Tata
Hukum, khususnya sebagai personifikasi negara bukan merupakan sistem norma yang
dikoordinasikan satu dengan yang lainnya, tetapi suatu hirarki dari norma-norma
yang memiliki level berbeda. Kesatuan norma ini disusun oleh fakta bahwa
pembuatan norma, yang lebih rendah, ditentukan oleh norma lain, yang lebih
tinggi. Pembuatan yang ditentukan oleh norma yang paling tinggi menjadi alasan
utama validitas keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan.[12]
- Norma Statis Dan Dinamis
Hans Kelsen mengemukakan adanya dua
system norma, yaitu system norma statis (nomostatics)
dan system norma dinamik (nomodynamics).
Norma statis adalah system yang melihat pada isi suatu norma, dimana suatu norma
umum dapat ditarik menjadi norma khusus, atau norma khusus itu dapat ditarik
dari suatu norma yang umum. Sistem norma yang dinamik adalah suatu system norma
yang melihat pada berlakunya suatu norma dari cara pembentukannya dan
penghapusannya.
Menurut hans kelsen, norma itu
berjenjang jenjang dan berlapis-lapis dalam susunan yang hierarkis, dimana
norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi lagi, demikian seterusnya pada akhirnya ‘regressus’ ini berhenti pada
norma yang paling tinggi yang disebut norma dasar (grundnorm) yang tidak dapat lagi ditelusuri siapa pembentuknya
atau dari mana asalnya. Norma dasar atau biasa yang disebut grundnorm,
basicnorm, atau fundamentalnorm ini merupakan norma yang tertinggi yang
berlakunya tidak berdasar dan tidak bersumber pada norma yang lebih tinggi
lagi, tetapi berlaku secara presupposed,
yaitu lebih dahulu ditetapkan oleh masyarakat.[13]
- Norma Hukum Vertikal Dan Horizontal
Dinamika norma hukum dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu
1) Dinamika norma hukum vertikal
Adalah dinamika yang berjenjang dari
atas ke bawah, atau dari bawah ke atas: dalam dinamika yang vertikal ini norma
hukum itu berlaku, berdasar, dan bersumber, pada norma hukum di atasnya, norma
hukum di atasnaya berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma hukum yang
atasnya lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma hukum yang menjadi
dasar norma hukum di bawahnya.
Dinamika norma hukum vertikal ini
dapat dilihat dalam tata susunan norma hukum, yang ada di negara Republik
Indonesia: Pancasila sebagai norma dasar negara merupakan sumber dan dasar bagi
terbentuknya norma-norma hukum dalam
Batang Tubuh Undang – Undang Dasar 1945, dan seterusnya.
2) Dinamika norma hukum horizontal
Suatu norma hukum itu bergeraknya
tidak ke atas atau tidak ke bawah, tetapi ke samping. Dinamika norma horizontal
ini tidak membentuk norma hukum baru akan tetapi tapi bergerak ke samping karena adanya suatu
analogi. Contoh pencurian listrik. Listrik bukanlah suatu benda, tetapi dapat
ditafsirkan secara analogi menjadi benda.[14]
- Norma Hukum Umum dan Individual
Norma hukum dari segi alamat yang
dituju (addressat) dapat dibedakan
antara norma hulkum umum dan individual. Norma hukum umum adalah suatu norma
hukum yang ditujukan untuk orang banyak dan tidak tertentu. Norma hukum
individual adalah norma hukum yang ditujukan atau dialamatkan (addressatnya)
pada seseorang, beberap orang, atau banyak orang yang telah tertentu.[15]
- Norma Hukum Abstrak dan Kongkret
Norma hukum abstrak adalah suatu
norma hukum, yang melihat pada perbauatan seseorang yang tidak ada batasnya
dalam arti tidak kongkret. Norma hukum abstrak mmerumuskan suatu perbuaan
secara abstrak, miusalnya mencuri, membunuh, menebang pohon, dan sebagainya.
Sedangkan norma hukum kongkret adalah melihat perbuatan seseorang lebih nyata.[16]
- Norma Hukum Einmahlig Dan Dauerhaftig
Norma hukum einmahlig adalah norma
hukum yang berlakunya hanya satu kali dan setelah itu selesai, jadi sifatnya
hanya menetapkan saja, sehingga dengan adanya penetapan ini norma hukum
tersebut selesai. Contohnya adalah penetapan seseorang menjadi pegawai. Norma
hukum dauerhaftig adalah norma hukum yang berlaku secara terus-menerus sampai
peraturan itu dicabut atau diganti dengan peraturan yang baru.
- Norma Hukum Tunggal Dan Berpasangan
Norma hukum tunggal adalah suatu
norma hukum yang berdiri sendiri dan
tidak diikuti oleh suatu norma hukum lainnya, jadi isinya hanya merupakan suatu
suruhan (das Sollen) tentang bagaimana kita harus bertindak atau bertingkah
laku. Contohnya: Presiden memberi grasi, amnesty, abolisi, dan rehabilitasi.
Norma hukum berpasangan terdiri dari
norma hukum primer dan sekunder. Norma hukum primer adalah suatu norma hukum
yang berisi aturan/patokan bagaimana cara kita harus berprilaku dalam
masyarakat. Norma hukum primer ini biasa disebut das Sollen atau disebutkan dengan
istilah ‘hendaknya’.
Dari pembatasan norma-norma tersebut
yang membedakan antara norma hukum umum-individual, norma hukum abstrak –
kongkret, serta norma hukum yang satu kali selesai, berlaku terus menerus, maka
norma hukum yang termasuk dalam suatu peraturan perundang-undangan adalah suatu
norma hukum yang bersifat umum-abstrak dan berlaku terus menerus, sedangkan
norma hukum yang bersifat individual kongkret dan sekali selesai merupakan
keputusan yang bersifat penetapan (beschikking). Di samping norma hukum yang
termasuk dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur (regeling), yaitu yang umum-abstrak dan
berlaku terus menerus dan norma hukum yang bersifat menetapkan (beschikking)
yaitu yang individual-kongkret dan berlaku sekali saja.
- Tingkat- tingkat dalam tata hukum
- Konstitusi Dalam Arti Materiil Dan Formal
Struktur hierarkis tata hukum suatu
negara adalah sebagai berikut: Dipresuposisikan sebagai norma dasar, konstitusi
adalah level paling tinggi dalam hukum nasional.[17]
Hans Kelsen mengatakan bahwa konstitusi dalam arti formal adalah suatu dokumen
nyata sebagai seperangkat norma hukum yang mungkin diubahanya menurut ketentuan
khusus yang dimaksudkan agar perubahan norma ini sulit dilakukan. Konstitusi
dalam arti materiil terdiri dari aturan-aturan yang mengatur pembuatan norma
hukum umum, khususnya pembuatan undang-undang.
Konstitusi formal biasanya juga
berisi norma lain, yaitu norma yang bukan merupakan bagian materi konstitusi.[18]
Tetapi hal ini adalah untuk menjaga norma yang menentukan organ dan prosedur
legislasi bahwa suatu dokumen nyata yang khusus dirancang dan bahwa perubahan
aturan-aturannya dibuat secara khusus lebih sulit. Hal ini karena materi
konstitusi adalah dalam bentuk konstitusional yang harus dipisahkan dari hukum
biasa. Terdapat prosedur khusus untuk pembuatan, perubahan, dan pencabutan
hukum konstitusi.[19] Berbeda dengan Hans Kelsen, muridnya
yang berkenamaan juga yaitu Hans Nawiasky melihat norma tertinggi dalam negara
selalu mempunyai kemungkinan mengalami perubahan, baik oleh suatu peristiwa
pemberontakan, coup d’etat.[20]
Konstitusi dalam arti formal,
khususnya ketentuan yang menentukan bahwa perubahan konstitusi lebih sulit
daripada perubahan hukum biasa, adalah mungkin hanya jika terdapat konstitusi
tertulis. Terdapat negara yang tidak memiliki meiliki konstitusi tertulis,
seperti Inggris, yang berarti tidak ada konstitusi formal. Maka konstitusi
memiliki karakter hukum kebiasaan dan tidak ada perbedaan antara konstitusi
dengan hukum biasa. Sedangkan konstitusi dalam arti materiil dapat berupa
konstitusi tertulis atau tidak tertulis.[21]
- Norma Umum Dibuat Berdasarkan Konstitusi: Undang-Undang dan Kebiasaan
Norma umum yang ditetapkan dengan
cara legislasi atau kebiasaan, membentuk suatu tingkatan di bawah konstitusi
dalam hirarki hukum. Norma-norma umum ini diaplikasikan oleh organ yang
kompeten, khususnya pengadilan dan otoritas administratif. Organ pelaksana
hukum harus diinstruksikan sesuai dengan tata hukum, yang juga menentukan
prosedur yang harus diikuti organ pada saat mengaplikasikan hukum. Maka norma
umum hukum undang-undang atau kebiasaaan memiliki dua fungsi besar, yaitu:
1) Menentukan organ pelaksana hukum dan
prosedur yang harus diikuti;
2) Menentukan tindakan yudisial dan
administratif organ tersebut.
Tindakan inilah yang menciptakan
norma individual, yaitu penerapan norma hukum pada kasus nyata.
- Hukum Konstitusi
Karena fungsi pengadilan dalam
kapasitasnya sebagai organ pelaksana hukum adalah mengaplikasikan norma umum
undang-undang atau kebiasaan terhadap kasus konkret, maka pengadilan harus
memutuskan apakah norma umum memberikan sanksi kepada perbuatan yang diklaim
oleh penuntut sebagai delik, atau diklaim oleh penggugat sebagai delik sipil,
dan apakah sanksinya.
Pengadilan harus mampu menjawab
tidak hanya pertanyaan tentang fakta (quaestio
facti) tetapi juga pertanyaan tentang hukum (quaestio Juris), dilakukan dengan menentukan apakah norma umum
tersebut yang diaplikasikan adalah valid yang berarti mempertanyakan apakah
norma tersebut telah dibuat dengan cara yang ditentukan oleh konstitusi. Fungsi
pengadilan ini menonjol khususnya ketika terdapat keraguan apakah perbuatan
tergugat atau terdakwa merupakan suatu delik. Pengadilan harus menentukan
keberadaan suatu norma tersebut seperti halnya menentukan eksistensi delik.
Fungsi menentukan eksisitensi norma umum yang diaplikasikan oleh pengadilan
mengimplikasikan pentingnya fungsi penafsiran norma tersebut, yaitu menentukan
maknanya.
Norma konstitusi yang mengatur
pembuatan norma umum yang diaplikasikan oleh pengadilan dan organ pelaksana
hukum lain adalah bukan norma lengkap yang independen. Norma konstitusi secara
intrinsik adalah bagian dari semua aturan hukum yang harus diaplikasikan oleh pengadilan
dan organ lain. Maka hukum konstitusi tidak dapat dikutip sebagai suatu contoh
norma yang tidak memberikan sanksi. Norma dari materi konstitusi adalah hukum
hanya dalam kaitan organiknya dengan norma yang memberikan sanksi yang dibuat
berdasarkan norma konstitusi tersebut. Dalam pandangan dinamis pembuatan norma
umum ditentukan oleh norma yang lebih tinggi, yaitu konstitusi, diproyeksikan
sebagai bagian dari norma yang lebih rendah.
- Sumber Hukum
Pembuatan hukum dengan kebiasaan dan
Undang-undang sering disebut sebagai dua sumber hukum. Dalam konteks ini, hukum
hanya dipahami sebagai norma umum, mengabaikan norma individual yang
bagaimanapun juga merupakan bagian dari hukum seperti yang lainnya.
Sumber hukum adalah ekspresi yang
figuratif dan ambigu. Istilah tersebut tidak hanya digunakan untuk menyebut
metode pembuatan hukum, yaitu kebiasaan dan legislasi, tetapi juga untuk
mengkarakteristikan alasan validitas hukum khususunya alasan paling akhir.
Maka norma dasar menjadi dasar
hukum. Namun dalam arti yang lebih luas, setiap norma hukum adalah sumber bagi
norma yang lainnya, karena memuat prosedur pembuatan norma atau isi norma yang
akan dibuat. Maka setiap norma hukum yang lebih tinggi adalah sumber hukum bagi
norma yang lebih rendah. Jadi sumber hukum adalah hukum itu sendiri.
- Pembuatan dan Pelaksanaan Hukum
Suatu norma yang mengatur pembuatan
norma lain adalah dilaksanakan dalam pembuatan norma lain tersebut. Pembuatan
hukum (Law Creating) adalah selalu merupakan pelaksanaan hukum (Law applying).[22]
Adalah tidak benar mengklasifikasikan tindakan hukum sebagai tindakan pembuatan
hukum dan tindakan pelaksanaan hukum. Normalnya pembuatan hukum dan pelaksanaan
hukum terjadi dalam waktu yang sama.
Pembuatan norma hukum adalah suatu pelaksanaan
dari norma yang lebih tinggi, dan pelaksanaan norma hukum yang lebih tinggi
normalnya adalah pembuatan suatu norma yang lebih rendah. Legislasi adalah
proses pembuatan hukum menurut konstitusi sehingga juga merupakan pelaksanaan
hukum. Pembuatan konstitusi pertama dapat dilihat sebagai suatu pelaksanaan
norma dasar. Dengan demikian aktivitas hukum selalu melibatkan baik pembuatan
maupun pelaksanaan. Hal ini berlaku baik pada legislatif, pengadilan, maupun
organ administratif dalam suatu negara.
- Konflik Antar Norma
Kesesuaian atau ketidak kesesuaian
antara keputusan pengadilan dengan norma
umum dan antara undang-undang dengan konstitusi serta jaminan konstitusi yang
berkekuatan hukum (res judicata).
Norma yang lebih tinggi, undang-undang, atau norma hukum kebiasaan,
sekurang-kurangnya menetapkan pembentukan dan isi dari norma keputusan
pengadilan, yang kedudukannya lebih rendah. Norma yang lebih rendah,
bersama-sama dengan norma yang lebih tinggi, termasuk ke dalam tata hukum yang
sama hanya jika norma yang lebih rendah bersesuaian dengan norma yang lebih
tinggi.
Tetapi siapa yang harus menetapkan
apakah norma yang lebih rendah sesuai dengan norma yang lebih tinggi, apakah
norma khusus dari keputusan pengadilan
sesuai dengan norma umum dari hukum statusta dan hukum kebiasaan?
Jawabannya adalah adalah harus ada satu pengadilan tingkat terakhir, yang
diberi hak untuk memberikan keputusan akhir tentang perkara tersebut, yakni
suatu otorita yang keputusannya tidak dapat dibatalkan atau diubah lagi. Dengan
keputusan tertinggi ini, maka perkara menjadi res judicata (berkekuatan hukum)
dan konstitusi menghendaki undang-undang sebagai valid hanya selama undang-undang itu belum dibatalkan oleh organ
yang berkompeten atau menurut cara yang biasa.
The
unity of the legal order can never be endangered by any contradiction between a
higher and a lower norm in the hierarchy of law.[23] (Kesatuan tata hukum tidak pernah
bisa terancam oleh suatu pertentangan antar norma yang lebih tinggi dengan
norma yang lebih rendah di dalam hirarkhi hukum).
DAFTAR PUSTAKA
Agustin E. Ferraro, “Book Review-Kelsen’s Highest Moral
Ideal,” German Law Journal No. 10 (1 October 2002). Yang dikutip oleh Jimly
Asshiddiqie, Mochamad Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Mahkamah Konstitusi RI, Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan
Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen tentang Hukum,
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006
Jimly, Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta, Konstitusi
Press
Kelsen, Hans, dalam Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Bandung,
Yapemdo, 2000
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan,
Yogyakarta, Kanisius, 1998
Rommen, Heinrich A., The Natural Law: A Study in Legal And
Social History and Philosophy, Indianapolis, Liberty Fund, 1998 hal.128. dalam
Jimly Asshiddiqie, Teori hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006
Purnadi Purbacaraka dan M Chidir Ali, Disiplin Hukum, Opcit.
Cetakan ke empat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990
Plato, The Laws, translated by: Trevor J. Saunders, (New
York: Penguin Books, 2005). Dalam Jimly, Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta,
Konstitusi Press
W. Friedmann, Teori & Filasafat Hukum: Telaah Kritis
Atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), Judul Asli: Legal Theory, Penerjemah:
Mohamad Arifin, Cetakan Kedua, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993)
[1] Agustin
E. Ferraro, “Book Review-Kelsen’s Highest
Moral Ideal,” German Law Journal No. 10 (1 October 2002). Yang dikutip oleh
Jimly Asshiddiqie, Mochamad Ali Safa’at, Teori
Hans Kelsen tentang Hukum, Mahkamah
Konstitusi RI, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, hlm. 1.
[2] W.
Friedmann, Teori & Filasafat Hukum:
Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), Judul Asli: Legal Theory,
Penerjemah: Mohamad Arifin, Cetakan Kedua, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1993), hal. 170.
[3] Plato,
The Laws, translated by: Trevor J.
Saunders, (New York: Penguin Books, 2005). Dalam Jimly, Asshiddiqie, Perihal
Undang-Undang, Jakarta, Konstitusi Press. Hlm. 1
[4] Jimly,
Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta, Konstitusi Press, hlm. 1-2
[5] Kelsen,
Hans, dalam Astim Riyanto, Teori
Konstitusi, Bandung, Yapemdo, 2000, hlm. 56.
[6] Purnadi
Purbacaraka dan M Chidir Ali, Disiplin
Hukum, Opcit. Cetakan ke empat, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990, hlm. 58
– 71
[7] Kelsen,
Hans, General Theory of Law and State,
New York, Russell & Russell, 1945
[8] Maria
Farida Indrati Soeprapto, Ilmu
Perundang-Undangan, Yogyakarta, Kanisius, 1998, hlm., 6.
[9] Kelsen,
Hans, Op.Cit, hlm. 35
[10] Maria
Farida Indrati Suprapto, Op.Cit. hlm. 6
[11] Kelsen,
Hans, Op.Cit, hlm. 123-124
[12] Kelsen,
Hans, Op.Cit, hlm. 124
[13] Kelsen,
Hans, dalam Maria Farida Indrati Soeprapto, Loc.Cit. hlm. 8
[14] Kelsen,
Hans, dalam Maria Farida Indrati Soeprapto, Loc.Cit. hlm. 10
[15] Kelsen,
Hans, dalam Maria Farida Indrati Soeprapto, Loc.Cit. hlm. 11
[16] Kelsen,
Hans, dalam Maria Farida Indrati Soeprapto, Loc.Cit. hlm. 12
[17] Rommen,
Heinrich A., The Natural Law: A Study in
Legal And Social History and Philosophy, Indianapolis, Liberty Fund, 1998
hal.128. dalam Jimly Asshiddiqie, Teori
hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI,
Jakarta, 2006, Hal.111
[18] Jimly
Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen tentang
Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, Hal.111
[19] Kelsen,
Hans, General Theory..., Op.Cit., Hal. 124-125
[20] Astim
Riyanto, Op.Cit. hlm. 154
[21] Astim,
Riyanto, Ibid, hal.125
[22] Jimly
Assiddiqie, Loc.Cit., hal.118
[23] Ibid,
162
Tidak ada komentar:
Posting Komentar